Semua Bab Hakikat Cinta (Kamu Berhak Bahagia): Bab 81 - Bab 90
111 Bab
81. Surga Untukmu
[Kau pasti tau apa yang harus kau lakukan, jika tidak ingin istrimu melihat ini.]***Jamilah merenung dalam kamarnya. Di dapur terdengar Salman sedang memasak. Setelah Munajah meninggal, perhatian Salman kini terfokus padanya. Namun, di balik itu ia tetap tidak bersemangat. Sekarang, barulah ia menyadari, kedua anaknya lebih berharga dari segalanya. "Ma," seru Salman ketika melihat istrinya duduk di kursi meja makan. Ia mengambil mangkuk dan mengisi bubur di dalamnya. "Tunggu ya. Untuk sementara, kamu harus makan bubur dulu. Dokter bilang pencernaanmu sudah lumayan parah."Salman meletakkan bubur di atas meja, lalu mengaduk pelan. Menguarkan aroma dan uap dari bubur itu. "Pa, Salwa pasti tahu kan di mana Haikal dan Haira."Gerakan Salman terhenti sesaat. Ia mengambil sesendok, hendak meniup, tetapi mengurungkannya ketika teringat sebuah hadis larangan meniup makanan. Ia kembali mengaduk. "Salwa ada cerita, kalau ia dan suaminya pergi ke pondok Haira. Setelah ditelusuri, ternyata H
Baca selengkapnya
82. Surga Untukmu (2)
Aditya menempelkan telapak tangan Salwa di pipinya. “Telapak tanganmu hangat dan lembut. Begini saja membuat hatiku nyaman. Aku selalu bersemangat, jika teringat kamu pasti senantiasa mendoakanku. Oh iya, apa kamu mau ikut ke kafe, mungkin di sana bisa menghilangkan jenuh. Di sini kamu sendirian ….”Salwa menggeleng. “Aku tidak ingin mengganggumu. Lagi pula aku bisa memanfaatkan momen kesempatan ini untuk menguatkan hafalanku. Siapa tahu semester awal ini aku bisa ikutan tes.”“Aamiin. Aku selalu support kamu. Kira-kira apa yang bisa aku bantu. Menyediakan konsumsi, supaya kamu lebih semangat?”Salwa tertawa. “Nanti malah sibuk makan, nggak konsen lagi murojaahnya.”“Kalau begitu aku sediakan multivitamin, susu atau ….” “Tidak perlu,” potong Salwa.“Terus?” Salwa memajukan sebelah pipinya, lalu meletakkan jarinya. Aditya terkekeh. Ia memajukan wajah, tetapi tidak disangka Aditya malah
Baca selengkapnya
83. Sihir Pemisah
"Salwa, kalau kami boleh tau di mana Haira?" tanya Salman. Sesaat Salwa dan Aditya saling bersitatap. "Aku hanya ingin mendengar suaranya langsung. Aku janji tidak akan mendatanginya." Jamilah memelas. Kembali Salwa minta pendapat Aditya. Aditya mengangguk.*** Di sebuah kantor pertambangan batubara seorang anak remaja memakai seragam satpam sedang menyambut kedatangan sebuah mobil. Ia mulai mahir menginstruksikan  melalui bunyi peluit. Mobil berhenti sempurna. Seorang keluar lebih dulu, lalu membuka pintu untuk tuannya. Remaja itu mendekat. "Selamat pagi, Pak.""Pagi." Sesaat tuan menatap remaja rupawan yang sekarang berubah warna kulitnya. "Yakin kamu terus akan sembunyi di sini?" Remaja itu mengangguk. "Untuk sementara seperti ini dulu, Pak. Selain itu, aku juga menikmati tempat dan pekerjaan ini. Jangan khawatir.""Ya s
Baca selengkapnya
84. Firasat Wanita
"Bangunlah dulu, nanti keburu azan. Insya Allah, aku pijat setelah pulang dari masjid."*** Setelah dipijat, Aditya tidak merasa membaik, malah moodnya ikut-ikutan memburuk. Bosan mulai menyergap, senyum Salwa tak lagi menyenangkan, bahkan ingin sekali keluar rumah, pergi ke kafenya. “Aku makan di luar saja, ya. Aku buru-buru nih,” ucap Aditya setengah berteriak. Salwa di dapur mengernyit. Ia bergegas keluar, dengan langkah terbatas disebabkan kakinya tidak sepenuhnya pulih. “Dit!” teriaknya. Sayangnya, Aditya telah keluar. Mesin mobil telah menyala, ketika ia berhasil sampai ke pintu. “Hati-hati di jalan. Jangan lupa doa keluar rumah,” serunya. Tidak mungkin lagi baginya untuk bertanya banyak hal. “IYA,” teriak Aditya. Kening Salwa semakin mengerut tajam saat mendengar nada dari teriakan Aditya. Ia berbalik, menoleh ke arah jam di dinding. Jarum pendeknya baru menunjukkan pukul tujuh. Ada apa dengan Aditya? Ia menarik napasnya dalam, mengingat upayanya saat ini ingin ikutan te
Baca selengkapnya
85. Firasat Wanita (2)
Silmi memiringkan badannya. "Anti mempunyai firasat? Baik apa buruk?" Salwa mengangguk. "Buruk. Tapi ana tak yakin apakah ini firasat atau curiga," ucapnya sambil teringat sikap Aditya berapa hari terakhir. Pergi lebih cepat dan pulang lebih malam. Datang mudah marah, minimal diam, atau langsung tidur.Silmi menatapnya penuh tanya, tetapi sahabatnya urung bersuara. "Inti dari masalah, anti ingin melakukan sesuatu karena firasat itu?"Salwa mengangguk. "Ini sangat di luar kebiasaan ana. Setiap ingin berbuat diam-diam untuk memastikan, ana merasa bersalah karena memata-matai."Ini sangat jauh dari dunianya yang selama ini memegang kejujuran dan kepercayaan. "Setiap ingin berbuat diam-diam, ana teringat wamakaru, wamakarallah.**""Tapi dia bukan musuhkan?"Salwa menggeleng. Ingin rasanya bercerita siapa yang dicurigai kepada Silmi. Curiga pada suami sendiri, rasanya memalukan buatnya. Selama bersama Salman, tidak pernah sedikitpun ia menyimpan curiga."Tapi anti harus bisa membedakan
Baca selengkapnya
86. Campur Tangan Allah
Ia mengambil ponsel untuk mengabari Aditya, tetapi urung ketika melihat jam di dinding yang sudah menunjukkan jam sembilan. Jika perjalanan sejam, jam sepuluh baru sampai ke rumahnya. Ia memutuskan mengambil air wudu dan salat sunnah. Dalam doanya yang panjang hanya dua nama yang ia sebut, Aditya dan Salsabila. Dua nama itu telah membuatnya lupa sakit yang tadi mendera. Mintalah campur tangan Allah, insya Allah,  Dia akan selalu melindungimu. Setelah berdoa, ia mengambil mushaf. Terus membaca sekuat dia mampu.*** Setelah berdoa, ia mengambil mushaf. Terus membaca sekuat dia mampu.*** Hasrat sudah di ubun-ubun, Aditya pun kali ini tidak ingin mengendalikan diri. Danum semakin di atas awan. Namun, ia ingin melakukan permainan tarik ulur, menyaksikan Aditya setengah gila. "Kita makan dulu ya. Perutku lapar." Danum menarik tangan Aditya, tetapi malah dirinya terpe
Baca selengkapnya
86. Campur Tangan Allah (2)
Salwa melepaskan pelukannya. Ia menatap wajah Aditya. Mengapa Aditya berubah lagi?*** Di Jakarta. Cahya mendapatkan laporan dari ketua kamar santriwatinya kalau Salsabila berapa hari ini selalu menangis di malam hari tanpa tau sebabnya. Bertepatan Setya sedang keluar kota, ia memutuskan malam ini tidur di kamar santriwati, Di sebuah paviliun di belakang rumah orang tua Setya. Jadwal menghafal setelah salat Isya. Setiap santriwati telah mengambil posisinya masing-masing, mencari tempat yang nyaman untuk menghafal. Beberapa orang sengaja menghafal di taman belakang. Cahya mencari Salsabila yang tidak kelihatan di ruang tengah. Ia masuk ke kamar, terlihat Salsabila menangis, meringkuk di samping ranjang, dekat lemarinya. "Salsa, kenapa?" tanya Cahya dengan sedikit panik. Salsabila tidak menjawab, ia hanya menangis dan memeluk Cahya. "Ustadzah.""Kenapa? Kangen Umi ya?" tanya Cahya sambil mengelus jilbab yang membungkus kepala Salsabila. Salsabila mengangguk. Cahya melepaskan pe
Baca selengkapnya
88. Salah Sasaran
Hanya super sekian detik pesan sudah terbalas dengan stiker jempol.**Danum menyewa sebuah kamar di hotel mewah yang berdampingan dengan sebuah mall. Sengaja memilih dekat mall, karena ia ingin menghabiskan seharian bersama Aditya. Jika ingin menonton bioskop, mencoba makanan berbagai menu, atau sekadar shopping, mereka tinggal menyeberang ke mall. Dari restoran di lantai dua, ia bisa melihat taman di depan mall juga orang  berlalu lalang keluar masuk mall. Selain itu, restoran ini selalu terlihat sepi, dapat membuatnya lebih leluasa Kenangan masa kecil kembali mengulang dalam memori. Cintanya pada Aditya bukanlah cinta sekejap. Aditya teman sekelas kakaknya waktu SMA. Aditya sering main ke rumah, untuk mengerjakan pr atau sekadar nongkrong bareng di halaman rumahnya. Aditya sangat baik padanya yang waktu itu masih SMP. Memperlakukannya seperti adik sendiri. Namun berbeda dengan Danum, baginya i
Baca selengkapnya
89. Bulan Madu Dadakan
"Minuman itu?" lirih Salwa. Suaranya terdengar sengau. Sensai panas mulai mencekik tenggorokannya.Aditya tersentak. Ia baru menyadari, Salwa telah menghabiskan minumannya. Danum tidak disadari sejak kapan ia menghilang.Ia segera memegang bahu Salwa. "Kita ke rumah sakit!"Salwa menggeleng. Ia duduk di kursi. Napas mulai tidak beraturan. "Andaipun ini racun, tentu sudah terlambat. Kita pulang ya.""Tapi …." Aditya semakin panik."Dit!" ucap Salwa lemas. Sensasi panas makin menggerayangi badannya. Ia meletakkan kepalanya ke atas meja. "Sewa kamar di sini saja. Di luar macet. Pandangan Aditya tertuju pada selembar kartu kunci kamar. Ia mengambil kartu itu."Bertahanlah! Kumohon," ucapnya bergetar. Sambil mengangkat badan Salwa. Salwa hanya menjawab dengan senyuman tipis, mata terpejam. Badan Salwa sudah terkulai lemas. Aditya membopongnya dengan setengah berlari. 
Baca selengkapnya
90. Bulan Madu Dadakan (2)
Salwa tersentak. "Kamu juga membenciku?!"Aditya mengangguk. "Aku … aku sendiri merasa gila jika memikirkan hal itu." Aditya meraih kedua tangan Salwa. "Aku tidak bisa berjanji padamu. Aku takut, perasaanku tiba-tiba berubah lagi. Aku minta satu hal padamu."Salwa mengerutkan keningnya."Kau harus melindungiku. Demi Allah, aku sangat takut berpisah denganmu. Setiap aku bertemu dengannya, ada sesal di hati, tetapi aku tidak bisa mengendalikannya." Hening. Salwa menarik napas, setelah beberapa lama terdiam. "Kamu mengakui telah bermain dengannya. Lalu …." Tiba-tiba ia merasa takut mengucapkannya. "Lalu?""Apa kamu … pernah … melakukan itu dengannya?""Itu? Ooh. Tidak. Tidak pernah.""Kenapa kalian bertemu di sini? Siapapun pasti membayangkan ke arah situ jika melakukan pertemuan di sini.""Kuakui … kami hampir melakukannya, tapi Alhamdulillah selalu gagal."Kening Salwa mengerut tajam. "Seperti yang sudah kukatakan padamu, tiba-tiba saja aku memiliki perasaan yang gila. Namun, tiba-
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
789101112
DMCA.com Protection Status