บททั้งหมดของ Hakikat Cinta (Kamu Berhak Bahagia): บทที่ 71 - บทที่ 80
111
71. Mengulang Jejak
"Allah tidak menghancurkan kebahagiaanmu, Dia hanya ingin memperlihatkan padamu dunia yang lebih indah agar kamu lebih bahagia." (Salwa Tasnim)***"Kapan ya, kita terakhir ke sini?" tanya Salwa lirih sambil menatap cahaya lampu di kejauhan."Kita ke sini juga cuma dua kali.""Iya lah, karena jaraknya juga lumayan jauh dari Nagara. Kita juga diizinkan cuma siang hari. Padahal aku ingin sekali menikmati malam di pantai." Seketika Salwa merasakan wajahnya memanas. Teringat keinginannya waktu itu. Ia menyembunyikan wajahnya di atas lutut.Aditya menatap heran. "Kamu kenapa?""Tidak apa-apa," sahutnya. "Tapi kenapa wajahnya ditutup? Lihat dong," ucap Aditya sambil berusaha melepaskan dekapan tangan Salwa. "Tidak apa." Salwa bersikeras. "Kalau tidak apa, kenapa bersikeras begini? Mencurigakan nih. Memang apa yang kamu pikirkan waktu itu?" Aditya berusaha mengangkat wajah itu, hingga terlihat pipinya yang memerah. "Pipimu?""Jangan lihat!" Salwa menyembunyikan wajahnya ke jaket Aditya.
Read More
72. Dunia Yang Lebih Indah
"Apa yang terjadi? Kamu tidak apa kan?" tanya Aditya lembut sambil memeluk bahu Salwa. Salwa menggeleng. "Dia …." "Ho, jadi kamu juga merayu dia?!" ejek Jamilah."Merayu? Dia istriku," sahut Aditya. "Sebenarnya ada apa dengan anakmu? Dengarkan, kami tidak pernah bertemu lagi dengan dia. Kenapa menyalahkan kami? Morotin? Dia istriku, aku mempunyai dua kafe, bagaimana mungkin dia tertarik dengan tokomu yang memang sudah hampir kolaps.""KAU!" tunjuk Jamilah, tetapi bibirnya kelu. "Kamu jatuh miskin, Mil?" tanya seorang temannya yang lain. "Kalau memang miskin, ya miskin, kenapa nyalahin orang? Bikin keributan lagi. Heh … malu-maluin. Yuk, kita bubar aja, Guys! Rusak moodku." "Eh, tapi bukan begitu. Aku masih bisa traktir kalian, kok." Jamilah mencegah salah seorang temannya. "Sudahlah, jangan belagu! Yuk, kita pulang, Guys.""Eh, tapi …." Sayangnya, tak ada seorangpun yang menolehnya. "Silakan Anda tinggalkan tempat ini. Jangan mengganggu ketenangan pelanggan lain," pinta salah s
Read More
73. Ancaman
Salwa tertawa. "Eh sewot! Mau dengar tidak? Kalau tidak mau dengar, aku ambilin mushaf nih.""Iya iya. Sudah mulai berani mengancam."Salwa terkekeh. Betapa ia ingin selalu menghujani dengan ciuman. Aditya kembali memejamkan mata. Lantunan surah An-Naba mulai mengalir merdu. Seketika ia teringat Salwa saat belum jadi miliknya. Gamis lebar yang membuat Salwa kelihatan anggun dan bijaksana. Ia tak menyangka kalau Salwa masih menyimpan sifat usil. Salwa terus melantunkan hafalannya dengan lambat. Ia sengaja melambatkan bacaan, berharap masuk ke memori Aditya. Bersama Aditya, entah kenapa ia merasa berarti sebagai hamba Allah. Membimbing Aditya secara perlahan. Uniknya, setiap tingkah laki-laki itu terasa manis di matanya. Ia teringat saat bersama Salman. Salman laki-laki dewasa, paham agama, bijak dan pandai mengayomi. Ia sangat menghormati Salman. Tanpa disuruh, dengan sendirinya ia patuh dan pandai menjalankan kewajiban. Siapa pun tidak ada yang menyangka kalau Salman tergoda denga
Read More
74. Ancaman (2)
“Sangat,” jawabnya singkat. Tiba-tiba matanya tertuju pada seorang perempuan yang baru saja sampai di tempat parkir. Ia bergegas berdiri. “Tunggu sebentar.” *** Tok tok. "Masuk!" ucap Aditya. Seketika ia terkejut melihat siapa yang datang. "Danum? Kenapa ke sini?""Hallo, Dit. Aku tadi ke sini sama teman. Melihatmu nggak ada, jadi iseng aja," ucap Danum sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling kantor Aditya yang kecil itu.Aditya berdiri. "Ya sudah, karena sudah ketemu, saya minta kamu keluar sekarang," ucap Aditya sambil memegang gagang pintu. "Kamu kenapa begitu terus padaku, Dit?" Danum mendekat. "Apa salahku?""Ya …." Aditya tergagap. Ia paling tidak tahan melihat wajah perempuan sedih. "Aku lagi sibuk. Atau gini saja, kita ngobrol keluar, oke?" Saat hendak keluar, langkah terhenti. Dua tangan melingkar di dadanya. "Aku sangat mencintaimu. Kenapa kamu selalu bersikap kasar? Apa kurangnya aku dibanding istrimu?"Aditya berusaha melepaskan, tetapi kedua tangan itu semaki
Read More
75. Mencari Haikal
“Haikal?” ulang gadis yang memakai seragam karyawan tersebut. Aditya baru menyadari, seragam karyawan pun telah berbeda. “Oh, Haikal? Sebentar.” Karyawan itu berbalik, naik ke lantai dua, lalu datang bersama dengan karyawan lainnya yang dikenali oleh Aditya. “Haikal masih di sini?” tanya Aditya. Salwa langsung mendekat. Karyawan itu menggeleng. “Toko ini telah berganti tuannya. Dan aku tidak tahu lagi bagaimana dia sekarang. Terakhir ibunya pernah ke sini, juga tidak bertemu Haikal.”Aditya langsung mengeluarkan ponselnya dari kantong celana. Ia langsung melakukan panggilan, tetapi tidak terjawab. Berkali-kali ia mencoba, tetap tidak terjawab.Aditya menatap wajah istrinya yang dibalut dengan kecemasan. *** Mobil Aditya memasuki halaman minimarket yang cukup luas. Terlihat orang berlalu lalang keluar masuk. Di samping kanan, bertengger beberapa mesin ATM. “Ini punya Salman? Lumayan gede ya?” “Iya. Dia memang orang gigih dalam bekerja, juga hemat.”“Lalu ruko yang kusewa?”“Itu
Read More
76. Mencari Haikal (2)
“Tidak ada perubahan. Hampir tiap hari dia memanggilmu. Kapan-kapan jenguklah dia, barangkali membuatnya perasaannya lebih baik.” “Insya Allah. Kalau begitu, kami pulang dulu. Kalau ada kabar, tolong hubungi kami,” ucap Salwa. “Insya Allah. Oh, iya. Apa kamu tau di mana Haira mondok?”“Kenapa?” “Ibunya dalam keadaan tidak baik. Hampir setiap saat menangis mengingat kedua anaknya.”“Untuk sementara, aku tidak bisa memberitahu. Maaf.”“Kenapa? Dengan mengetahui keberadaan Haira, barangkali membuat Jamilah membaik.”“Aku ngerti. Tapi … setelah pertemuan kami kemarin, berita terlanjur tersebar. Ternyata, tanpa sepengetahuanku Haira dibully oleh seorang anak korban dari broken home bersama teman-temannya. Kamu tahulah, dampak dari perceraian, apalagi bila akibat pihak ketiga."Ucapan Salwa terhenti. Seketika ia merindukan anaknya. "Kebencian terhadap orang ketiga kadang sulit dikendalikan. Orang seperti Haira, rawan jadi pelampiasan balas dendam. Karena itulah, aku suruh Haikal memind
Read More
77. Dua hal yang Tak Terpisahkan
"Manja dan keromantisan adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan." (El Nurien)***Tiba-tiba kening Haira mengerut tajam, Salwa jadi was-was melihatnya. “Bukannya dia masih berhubungan dengan Tante? Dia pernah cerita, Tante bantu usaha dia. Dia cerita banyak. Tante bantu bawa ke koperasi, terus ada yang bantu naikin rating di toko online dia. Banyak pokoknya. Kok tiba-tiba Tante tanya sama aku? Haikal nggak bikin ulah kan, Tante? Seminggu ini dia nggak nelpon aku.”Salwa berusaha mengukir senyum. “Maaf, Tante terlalu sibuk. Jadi memang sudah lama tidak melihat dia.”“Sibuk?” Haira menatap penuh selidik. Salwa tergelak. “Iya iya. Tante ngaku. Tante baru saja menikah, jadi perhatian Tante terkuras ke situ.”Mata Haira membesar. “Tante baru menikah,” pekik Haira.“Ssttt … jangan kencang-kencang! Malu didengarnya,” bisik Salwa.Spontan Haira mengecilkan suara dan memajukan wajah. “Dengan siapa? Pasti Om Aditya. Betulkan dia punya hati sama ustadzah.”Sekali lagi Salwa menjewer hidung Hai
Read More
78. Dua Hal yang Tak Terpisahkan (2)
“Papa mau kemana?” tanya Jamilah dengan wajah cemas. “Papa harus ke rumah Ibu. Sakit ibu bertambah parah. Jaga diri Mama baik-baik,” ucap Salman, lalu mencium kening istrinya. Tangis Jamilah makin kentara. Ia memegang lengan Salman sambil menggelengkan kepala. “Maaf, Ma. Aku tidak bisa meninggalkan Ibu lama-lama atau Mama mau ikut? Barangkali keluar rumah bisa membuat lebih segar.”*** [Aku mau ke minimarket. Mau beli sesuatu, boleh ya] Pesan diimbuhi dengan stiker lucu.Aditya tersenyum haru, menatap pesan tertera di ponselnya. Dulu ia sering berpikir ajaran Islam terlalu kaku. Mengapa harus ini dan itu? Mengapa perempuan harus taat pada suaminya, bukannya manusia itu sama-sama mempunyai hak suara? Mengapa sampai keluar rumah, ke depan gang saja harus meminta izin? Kini ia telah merasakan indahnya. Hampir setiap saat ia tahu di mana keberadaan Salwa. Bahkan hanya keluar jauh, ke minimarket depan gang saja Salwa selalu meminta izin padanya. Ia merasa bangga menjadi seorang laki-
Read More
79. Gangguan
Salwa terlonjak ketika membaca pesan itu. Aditya yang tidur di sampingnya ikut terkejut dengan tingkahnya. “Ada apa sih?” tanya Aditya setengah sadar sambil mengocok matanya. “Nenek Salsa kritis. Kita ke sana yuk!”  sahut Salwa sambil menginjakkan kaki ke lantai. Seketika nyeri menjalari seluruh kakinya. “Baru sadar kan kalau kakinya masih sakit,” gerutu Aditya. “Lagi pula ini baru jam tiga, Wa.”Salwa membalikkan badan. "Ya, please," rengek Salwa mengatupkan kedua tangannya. Aditya membuka mulutnya ingin menolak."Aku khawatir ini kesempatan terakhir kali. Ya?""Iya ya," sahut Aditya pasrah. "Tapi tunggu di situ dulu." "Kruknya mana?" tanya Salwa sambil "Aku jauhin malam tadi," sahut Aditya sambil mengangkat badan Salwa.***Di ruang rawat inap Salman menalkinkan la ilaha illallah di telinga ibunya saat Salwa masuk. "Kakimu
Read More
80. Gangguan (2)
Ia laki-laki normal, salahkah jika memenuhi hasrat laparnya, sekali saja. *** Selama libur dari mengajar, Salwa manfaatkan waktunya untuk mengulang hafalan. Terlebih lagi Aditya tidak ada malam ini, ia tidak akan membuang kesempatan  itu. Tiba-tiba rasa haus menerpanya. Ia menoleh jarum dinding. Pantas saja tenggorokannya kering. Ia telah mengulang sekitar dua jam tanpa berhenti. Ia berdiri dengan menggunakan kruk, melangkah ke dapur untuk mengambil air.Air telah terisi dalam gelas, tetapi tidak mungkin minum dengan berdiri. Minum berdiri gayanya setan dan cara yang dibenci. Ia kesulitan memegang antara gelas dan kruk saat melangkah, mendekati meja. Meski bisa dikatakan darurat, ia memilih berusaha memilih cara sunnah, walaupun dengan sedikit perjuangan. Sayangnya, hanya beberapa langkah, gelas terlepas dari dan bunyi kaca pecah memenuhi ruang dapur. Sunyinya malam membuat bunyi itu semakin ter
Read More
ก่อนหน้า
1
...
678910
...
12
DMCA.com Protection Status