Semua Bab Kutunggu Jandamu: Bab 41 - Bab 50
75 Bab
Bab. 41. Menagih Jawaban
Mulai sekarang aku menandai kalender dengan tanda silang. Setiap berlalu satu hari aku langsung mengambil spidol warna merah lalu menyilang pada tanggal yang tertera di sana. Ini salah satu cara agar aku benar-benar mempersiapkan diri saat waktunya sudah mulai dekat.Salah satu yang membuat tim medis di rumah sakit sangat sibuk yakni ketika bencana alam berganti-ganti antar wilayah. Belum lagi, kasus diare, typus, cedera, patah tulang, dan ibu-ibu yang melahirkan dalam kondisi darurat membuat kami harus benar-benar sigap.Saat-saat seperti ini dibutuhkan stamina dan konsentrasi tingkat tinggi. Jika dalam kondisi darurat, penanganannya tidak kenal waktu. Saat itu juga harus segera dieksekusi.Aku hanya pulang ke rumah saat ingin berganti pakaian. Terkadang untuk istirahat pun hanya sempat setelah salat lima waktu, sekadar berbaring sekitar sepuluh menit atau lebih sedikit. Selanjutnya langsung bekerja lagi.Berkali-kali aku menghubungi nomor Berlian, tetapi tidak pernah aktif. Mungkin
Baca selengkapnya
Bab. 42. Aku Diterima!
Mereka bertiga saling berpandangan, lalu Berlian meraih tangan Ahmad, putera semata wayangnya."Hasyim, aku ingin menyampaikan sesuatu sebelum memberikan jawaban.""Iya. Aku siap mendengarkan."Berlian lalu menarik napas dalam-dalam kemudian memulai sesuatu yang hendak ia sampaikan."Syim, dulu sebelum aku menerima pinangan ayah Ahmad, rasa yang ada dalam hatiku murni karena Ahmad. Bayi kecil yang masih merah bahkan masih bau darah ditinggal meninggal oleh ibunya. Persis dengan kondisiku. Aku ingin menjadi ibunya yang siap merawat dan mendidiknya dengan penuh kasih sayang dan satu-satunya cara hanyalah menikah dengan ayahnya. Seiring berjalannya waktu, orang-orang bilang kami mirip. Bisa jadi karena cinta yang sudah melekat, aku tak pernah menganggap Ahmad sebagai anak sambung meski aku sendiri sampai sekarang belum bisa punya anak. Tanganku merawatnya dan lisanku mendoakannya hingga ia berlimpah kasih sayang hingga detik ini. Sekarang, saat Allah mengambil ayahnya kembali, cintaku se
Baca selengkapnya
Bab. 43. Meminta restu
Bangkit aku dari sujud lalu duduk kembali di kursi, tak hentinya tangan ini menyapu mata yang terus berair. Aku terharu, bahagia, campur aduk rasanya di dalam dada ini."M-makasih, Lian.""Iya, Syim. Aku yang seharusnya berterima kasih, kamu datang di saat yang tepat.""Begitu juga denganmu.""Pak, terima kasih banyak." Aku menoleh ke Ayah Berlian."Keputusan ini sepenuhnya mutlak Berlian yang tentukan. Bapak hanya sekadar memberi saran saja. Ternyata ia memutuskan untuk menerimamu. Alhamdulillah.""Insya Allah aku akan pulang mengabarkan pada orang tua, kemungkinannya hari ini juga. Ada speedboat yang bisa disewa untuk balik nanti, tidak mesti menunggu jadwal perahu besok.""Oh, iya. Speedboat milik juragan ikan di sini, kapasitasnya hanya empat orang.""Iya, Pak. Waktu kunjungan kedua aku naik itu karena sudah ketinggalan perahu dompengnya.""Syim, sampaikan salamku sama Mamak dan Bapak.""Iya. Salam dari calon mantu. Begitu?" Berlian langsung menunduk. Mungkin malu. Tapi, mengapa p
Baca selengkapnya
Bab. 44. Sekarang Saja!
Iya, Mak. Setiap kali Mamak dan Bapak memintaku menikah, Hasyim tak pernah bisa jawab sebab keinginan berumah tangga hanya dengan Berlian saja. Sekarang Allah sudah membukakan jalan itu. Hasyim datang mengajukan diri sebagai suami keduanya. Bagaimana menurut Mamak dan Bapak? Tidak keberatan, kan punya menantu seorang janda?"Mamak dan Bapak saling menatap lantas tertawa bersamaan."Tentu saja tidak keberatan. Apa yang menjadi pilihanmu, jalani, dan bertanggung jawablah. Menikahi janda bukanlah aib karena tak seorang pun wanita di dunia ini yang mau menyandang status itu." Bapak memberikan jawaban yang meneduhkan. "Justeru Mamak dan Bapak bersyukur kamu akhirnya mau menikah, kami sempat khawatir kalau kamu ini tidak nor—mal." Mamak cepat mengatup mulutnya setelah kena teguran dari Bapak."Astaghfirullah, Mak." Aku geleng-geleng kepala mendengar pengakuan beliau. Ini akibat ulahku sampai Mamak punya pemikiran seperti itu. "Jadi rencanamu bagaimana?" Bapak menatap serius diikuti oleh M
Baca selengkapnya
Bab. 45. Surat Cinta Berlian
Alhamdulillah acara lamaran berlangsung lancar dan khidmat. Bibirku terus komat kamit melontarkan tahmid. Ratusan atau bahkan ribuan kali aku menyebutnya. Keluargaku juga sudah kembali ke kampung. Mulai hari ini akan dipersiapkan segala sesuatu untuk hari H-nya. Sedangkan aku langsung menuju ke kota mengantar Bu Siah yang juga turut serta."Pak, ini ada titipan dari Mbak Berlian." Bu Siah mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya saat aku sudah tiba di rumah."Apa ini?""Kurang tahu, Pak. Tadi waktu di rumahnya, Ibu, kan bantu-bantuin di dalam sekalian kenalan dengan Mbak Berlian, pas tahu kalau Ibu ini asistennya Pak Dokter, Mbak Berlian langsung kasi amplop buat Dokter Hasyim, katanya." Bu Siah menunjuk amplop yang sudah ada dalam genggamanku."Oh. Terima kasih, ya, Bu." Aku langsung melangkah ke kamar. Padahal rencananya ingin segera ke rumah sakit. Penasaran apa sih isinya.Kusandarkan punggung pada sandaran tempat tidur sembari membuka amplop yang tadi Bu Siah berikan. Selembar sur
Baca selengkapnya
Bab. 46. Akhirnya Bisa!
"Beberapa hari ini sepertinya Dokter Hasyim sibuk sekali." Seperti biasa, Dokter Farid orang yang paling 'perhatian' dengan hidupku. Ia langsung masuk ke ruangan karena melihatku seolah berubah jadi pendiam. Ia tidak tahu saja kalau aku bukan berubah melainkan karena sedang sibuk belajar mengaji sampai ke rumah sakit pun aku tak pernah menyia-nyiakan waktu istirahat. Selalu saja kumanfaatkan untuk belajar."Iya. Aku banyak target hidup yang harus dituntaskan dalam waktu dekat.""Contohnya?""Menikah." Spontan ia tertawa terbahak-bahak. "Bicara terus, gak ada bukti!" Ia mencebik."Kalau tidak percaya, nih buktinya!" Kusodorkan undangan pernikahan dengan Berlian. Ia masih terlihat santai sebelum undangan itu dibukanya. Tapi, setelah ia membaca undangan itu, mulutnya menganga dengan bola mata yang membulat sempurna."I-ini serius, Dok?""Masa' iya main-main. Di situ kan tertulis namaku dengan jelas dan terang."Ia membaca ulang lagi undangan di tangannya, "Oooh, pantesan beberapa kali n
Baca selengkapnya
Bab. 47. Sah!
Seperti niatku akan cuti empat hari sebelum akad nikah. Hari ini aku sudah mulai berkemas. Bu Siah sudah mempersiapkan segala sesuatunya. Asisten rumah tangga yang patut diacungi jempol. Selalu bisa diandalkan dalam setiap kondisi. Aku terima beres saja. Teman-teman yang lain pun ikut membantu, terutama Dokter Farid yang sangat sibuk mengurus semuanya. Anggap saja sebagai tebusan karena selama bartahun-tahun aku menjadi 'korban' bully-nya."Pak, semua sudah siap, barang-barang sudah di masukkan ke bagasi." Bu Siah memberitahu dengan sopan. Jika sudah beres, itu artinya tinggal tancap gas lalu berangkat ke kampung. "Iya, Bu. Pastikan semua jendela dan pintu terkunci rapat.""Sudah semuanya.""Oke. Kita berangkat!" sahutku dengan semangat. Bu Siah tak kalah semangat dan gembira. Sebentar lagi ia akan punya nyonya di rumah ini, jadi tidak merasa sepi. Sebelum berangkat kami mampir ke bengkel tempat suami Bu Siah bekerja, bukan hendak pamit, tetapi suami Bu Siah ingin turut serta ke kam
Baca selengkapnya
Bab. 48. Mulai Tak Fokus
Di umur seperti sekarang baru merasakan cubitan mesra perempuan. Tak apa terlambat menikah yang penting dengan orang yang tepat. Ini pendapat pribadiku saja, tidak untuk ditiru orang lain.Berlian meraih tanganku lalu menciumi punggungnya. Ada tetesan hangat yang membasahi kulitku"Kamu menangis?"Lian mengangguk. Kemudian air matanya semakin deras. Segera kuraih tissue dan menyapu lembut cairan bening itu."Ada apa?" "Nggak ada apa-apa. Aku hanya terharu dengan apa yang sudah kita lewati sampai di titik ini." Ia menunduk dengan suara yang lirih.Aku mengusap dada lega. Kirain ada apa? Bukan hanya Lian yang terharu, aku juga sama."Sudah. Jangan nangis, nanti riasan kamu berantakan." Sembari menenangkan, pelan kukecup keningnya dengan lembut. Oh, ya Allah. Rasanya mau pingsan. Begini ternyata sensasinya menjadi pengantin baru.Selanjutnya kuletakkan tanganku di atas ubun-ubunnya lalu melafazkan doa seperti yang diajarkan Ustaz Faqih. "Yuk, kita temui Mamak dan Bapak." Ajaknya sembar
Baca selengkapnya
Bab. 49. Malam Pertama
Selepas salat Isya berjamaah, ayah mertua mengajak duduk sebentar mendengarkan ceramah. Karena tak enak hati, aku menurut. Padahal aku sudah terbayang-bayang dengan wanita yang sudah sah menjadi istriku beberapa jam yang lalu.Pikiranku sulit fokus menangkap penyampaian Pak Ustaz. Sesekali melihat ke arah jam digital yang terpasang di atas mimbar. Katanya cuma kultum, tapi kok sudah setengah jam belum selesai-selesai juga. Pertahananku mulai oleng. Duduk layaknya orang gelisah. Pandanganku mengarah ke sembarang tempat. Ayah mertua yang mungkin menyadari tingkahku langsung paham dan meminta izin untuk pamit lebih dulu sebelum majelis dibubarkan. Dalam hati bersorak girang. Mertuaku memang tak ada duanya, selalu paham kode-kode abstrak pengantin baru sepertiku.Jarak masjid lumayan dekat. Cukup berjalan kaki saja. Tidak ada obrolan yang mewarnai langkah kami. Ayah mertua cuma senyum-senyum saja, membuatku sedikit salah tingkah. Saat tiba di gerbang penginapan, barulah ayah mertua membu
Baca selengkapnya
Bab. 50. Panggil Aku, Papah!
"Apanya yang diteruskan?" Ia sedikit memiringkan wajah melihat ke arahku"Soal yang tadi, jendela di penginapan ini yang sengaja di desain bisa buka tutup manual." Aku menirukan kalimatnya."Owh. Iya, supaya setiap pengunjung bisa melempar pandangan ke laut lepas di depan sana tanpa penghalang apapun. Terkadang dengan melihat samudera luas pikiran menjadi lebih rileks, meneduhkan. Meski kadang-kadang gemuruh ombak terdengar ganas?""Maksudnya bagaimana? Meneduhkan tapi kadang-kadang terdengar ganas?" Begini beristrikan penulis. Bahasanya sering membuat bingung."Maksudnya. Laut itu meneduhkan jika dipandang. Kita menoleh ke kiri, tetap sama. Ke kanan pun begitu. Sama-sama air laut. Tak ada warna lain yang terlihat selain biru yang membentang hingga ke kaki langit. Kadang-kadang terdengar ganas sebab gemuruhnya bisa menjadi pertanda bahwa cuaca sedang tak bersahabat. Jangan sekali-kali melaut karena resikonya sangat besar. Di laut ada kehidupan juga ada kematian.""Oh, ya?" Kuberanikan
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
345678
DMCA.com Protection Status