Lahat ng Kabanata ng Kuceraikan Suamiku, Kunikahi Pengacaramu: Kabanata 41 - Kabanata 50
102 Kabanata
Tatapan Lapar Aidan
"I –i –iyaa bude, bude kok di sini?” tanya Dayana gugup. Wanita itu tampak tak nyaman dengan kehadiran wanita paruh baya yang menyapanya. “Bude itu mau ke kota mau menemui kamu, bude ada kabar kurang baik,” sahut wanita itu seraya mengambil kursi di samping Dayana. “Maksudnya Bude?” tanya Dayana bingung mendadak perasaannya tak enak. Ia khawatir dengan keadaan ayah ibunya di kampung. Wanita paruh baya itu tampak menghela napas berat. “Ayahmu koleps Day, ia harus segera diberi tindakan. Kami mencoba menelponmu namun nomormu tak bisa dihubungi.” Dayana tercekat, ia lupa memberikan kabar pada keluarganya di kampung. Sejak menikah dengan Aidan, pria itu sengaja mengganti nomor Dayana dengan alasan ia cemburu jika ada yang menghubungi wanita itu. Alhasil, sudah lima bulan terakhir ia tak bisa berkomunikasi dengan ibu atau keluarga lainnya. “Iya bude, maaf. Nomor Dayana ganti karena kemaren Daya kena musibah.” “Musibah apa nduk?” tanya wanita paruh baya yang dipanggil Bude itu. Dayana
Magbasa pa
Dibilang Enak ya Memang Enak
“Ikut serta? Di Jakarta banyak sekolah yang baik dan disiplin, kita bisa memasukkan Rai ke sana. Lagi pula Rai juga harus fokus dengan sekolahnya, bukan?”“Rumahku tidak layak untuk ditinggali. Aku harus mencari kontrakan baru setelah itu aku akan mengajak mereka pindah.” Sagara mengangguk dan membiarkan wanita itu menentukan pilihannya sendiri.Hari pun semakin sore, Dayana hendak menjaga ayahnya di klinik terdekat. Namun sayang, semua keluarga menolaknya, ia justru meminta wanita berusia 22 tahun itu untuk beristirahat terlebih dahulu. Dengan terpaksa Dayana pun pasrah dan menuruti kemauan keluarganya.“Mba tinggal di Jakarta enak ya? Pasti jabatan mba sudah tinggi?” tanya Rai saat mereka akan bersiap pergi ke surau dekat rumahnya.Dayana mengulas senyum, sebelah tangannya terulur mengusap puncak kepala Rai. “Dibilang enak ya enak, Dek. Dibilang gak enak ya pasti gak enak. Semua bergantung bagaimana kita menjalaninya saja. Yang pasti hidup di kota itu keras, Dek. Kalau kamu berani a
Magbasa pa
Nanti Keburu Dingin
Dayana tampak kikuk, manik matanya menatap ke sekitar seakan ia sedang mencari jawaban atas pertanyaan Diyas. “Em –“ “Kita memang harus berani jika apa yang kita lakukan benar. Jangan karena jabatan lantas lupa bahwa kebenaran itu tidak bisa dibeli,” sahut Sagara membantu Dayana, wanita berumur 22 tahun di depannya menghela napas lega, kehadiran Sagara ternyata memang banyak membantunya. “Iya juga sih Pak,” sahut Diyas, meja tersebut kembali hening. Dayana sibuk dengan Rai yang terus bercerita tentang sekolahnya juga tentang kehidupan sehari-hari. Sedangkan Diyas dan Sagara sibuk dengan ponsel mereka. Sagara harus mengerjakan beberapa pekerjaan tertundanya. Saat asyik mengerjakan tugasnya, ponsel Sagara berdenting singkat. Ia membuka pesan yang dikirimkan tanpa nama itu. Sebuah foto yang menunjukkan kemesraan dua insan di tengah kepadatan cafe sore itu. Sagara pun memberikan pons
Magbasa pa
Hanya Salah Paham?
“Ibu siapa yang bilang calon suami?” tanya Dayana panik. Terlebih di belakangnya ada Diyas yang menatapnya penuh tanya. “Loh bukannya kamu dulu bilang? Akan pulang seraya memperkenalkan calon suami kamu?” tegur Ibu Dayana bingung. Dayana menghela napas berat. “Ibu, Mas Saga ini bukan calon suami Daya. Maksudnya kami hanya berteman saja.” “Masak sih? Sorot mata dan gerak-gerik kalian berbeda, yah mungkin kamu belum siap ngasih tahu ibu. Tetapi ibu akan mendoakan yang terbaik untuk kalian yah, semoga berjodoh. Jangan lupa manggilnya jangan jangkar!” Ibu Dayana pun pergi segera masuk ke dalam rumah karena ia akan bersiap pergi ke klinik menengok Ayah Dayana. Dayana menghela napas berat. “Diyas kamu jangan salah paham ya, aku sama –“ “Ihhh kalau beneran juga gak papa tahu, Mba. Aku senang malah, kalian cocok kok.
Magbasa pa
Sudah Bangun, Kok!
“Penginnya sih kamu, cuman cacing di perutku meminta diisi. Bagaimana jika kita makan dahulu baru melanjutkannya lagi? Tubuhmu sangat nikmat dan membuatku candu. Setibanya di Jakarta aku harap kamu masih mau menemani ranjang dinginku.” Tania tersenyum, ia berdiri dan berjalan mendekati Aidan yang menatapnya lapar. Dengan berani dan tanpa rasa canggung, Tania mengecup bibir Aidan sekilas. “Kenapa sebentar?” protes Aidan membuat Tania tersenyum miring. “Kalau lama nanti ada yang bangun,” balasnya melirik ke arah bawah Aidan. “Sekarang pun sudah bangun,” sahut Aidan seraya menggendong tubuh Tania ke arah kursi yang berada di dekat jendela kamar hotel, jendela yang menunjukkan detail kota ngapak dari lantai atas. Ia mendudukkan wanita itu dengan lembut, Tania tersenyum karena lagi-lagi ia berhasil mengundang hasrat pria itu bangkit dari dalam sana. Tak menu
Magbasa pa
Jalur Damai?
“Kalian ini apa-apaan sih, masih kecil sudah berani ngebully begini. Kalian merasa jago?” tanya Dayana dengan wajah merah padam. Sagara yang berdiri di belakangnya justru mengeluarkan dompet dan mengambil kartu namanya “Saya akan bawa masalah ini ke ranah hukum dan tidak akan ada jalur damai.” Tegas dan lugas Sagara benar-benar mengeluarkan auranya. Ia menunjukkan kartu nama yang ia pegang. “Saya seorang pengacara dan saya akan jadi kuasa hukum korban bullying kalian.” “Ada apa ini?” teriak seorang wanita paruh baya. “Kamu lagi Rai!” pekik wanita itu mengundang kerutan di kening Dayana dan Sagara. “Kenapa sih kamu itu selalu bertengkar dan membuat keributan!” Dayana dan Sagara bersiap memasang badan untuk gadis remaja yang tak lain adiknya sendiri. “Oh begini cara sekolah menghadapi kasus bullying?” sindir Dayana menatap datar dan dingin jajaran pengajar yang berdiri di depannya. “Anda siapa ya? Sekolah ini tidak memperbolehkan orang lain untuk masuk sembarangan,” ujar wanita paruh
Magbasa pa
Bisa Bicara dengan Tunangan Saya
Dayana tampak menimbang permintaan Adiknya, sebenarnya ia tak keberatan namun ia takut jika nantinya tak bisa memberikan yang terbaik bagi Rai dan juga Rara. “Ya sudah, besuk kita urus juga surat kepindahannya.” Bukan itu bukan suara Dayana, melainkan Sagara yang mengatakannya seraya bangkit dari duduknya. Pria itu tampak berjalan menghampiri seorang pria berusia tua dengan kacamata yang bertengger di wajahnya. Sagara tampak berbincang sejenak, ia kelihatan akrab dan saling tertawa tak lama Sagara menyudahi percakapannya dan kembali menghampiri Dayana. “Ada apa?” tanya Dayana menatap Sagara bingung. “Tidak apa-apa, hanya mempermudah urusan saja. Ya sudah, kita tunggu Rara –“ “Kayaknya gak usah ditunggu Kak,” potong Rai membuat Dayana dan Sagara menatapnya bingung. “Soalnya Rara sudah di belakang Kakak.” “Asta
Magbasa pa
Jangan Diangkat atau Dibalas!
"Pak Aidan nekat menanyakan alamat rumah ini!” ujar Diyas dalam satu tarikan napas. Dayana membulatkan mata sempurna sedangkan Sagara justru menatapnya tenang. “Aku sudah menduga pria itu akan mencari kita jika kegiatannya sudah selesai,” ujar Sagara meminta ponsel Diyas yang masih berdering menunjukkan panggilan masuk dari Aidan. “Hallo,” ujar Sagara setelah menggeser tombol hijau di layar ponsel milik DIyas “Kalian di mana? Tunggu ini Sagara ‘kan? Kau juga ikut ke kampung Dayana?” tanya Aidan yang terdengar seluruh isi rumah karena Sagara menekan tombol loudspeaker. “Memangnya kenapa? Kembalilah ke Jakarta kami juga akan segera pulang.” “Tunggu kau belum menjawab pertanyaanku,” protes Aidan namun, Sagara mematikan sambungan teleponnya dan memberikan kembali ponsel Diyas pada  sang
Magbasa pa
Timbul Masalah Baru?
Sagara mendongak dan mengangguk, Ratih mengajak Sagara ke teras rumah. “Ibu tidak tahu umur ibu sampai kapan, boleh ibu meminta sesuatu?” ujar Ratih secara tiba-tiba. “Jika Saga bisa tentu Saga akan turuti bu,” balas Sagara seraya mengambil sepatunya. Wanita berusia 50 tahun itu menghela napas dan menatap Sagara penuh harap. “Ibu tidak tahu seperti apa kehidupan Dayana di Jakarta. Namun, firasat ibu mengatakan jika ada hal buruk yang sedang terjadi. Ibu harap kamu mau membantu ibu menjaga putri sulung ibu, bagaimana pun dia sudah hidup merana selama ini. Saya harap kamu berkenan menjaga Dayana di sana.” Sagara menghela napas, feeling seorang ibu memang tak pernah salah, hanya itu yang terlintas di benak Sagara. “Bisa ‘kan Nak?” tanya Ratih karena Sagara tak kunjung menjawab pertanyaannya. “Insya allah, Bu. Saga akan berusaha menjaga Dayana.&
Magbasa pa
Memintanya?
“Maaf pak kami baru datang,” ujar Dayana membuka pintu di belakangnya berdiri Sagara dan Diyas yang mendampingi Dayana. “Nah ini nih, orang yanggak profesional,” celetuk Aidan bangkit dari duduknya seraya menunjuk Dayana dengan ibu jarinya. “Anda‼” geram Bella seraya mengepalkan taangan. Dayana tersenyum tipis ia lantas berjalan menuju ke manager hotel yang duduk di depan meja. “Maaf Pak, saya baru kembali. Ayah saya masuk ke rumah sakit, ini ada surat sekaligus buktinya.” Sagara hanya diam, di balik punggung Dayana ia menggenggam erat jemari Dayana seakan memberi wanita itu kekuatan, beruntung tangan mereka terhalang oleh meja dan kursi meeting namun sayangnya mereka melupakan fakta keberadaan Diyas yang berada di belakangnya. “Baiklah, karena hari sudah malam. Mba Dayana silakan kembali ke rumah. Saya anggap ini hanya salah
Magbasa pa
PREV
1
...
34567
...
11
DMCA.com Protection Status