All Chapters of Titip: Chapter 31 - Chapter 40
65 Chapters
New Hope
Aku menimang hape di tangan dan menimbang, lalu menekan tombol power off untuk mematikan. Biar saja. Sepertinya aku harus menghilang sementara. Aku memutuskan mengistirahatkan jiwa dan raga. Belum genap empat bulan menyandang gelar sebagai istri Bang Sam, aku sudah lelah lahir batin.Aku tidak akan pulang sebelum lelaki itu juga pulang dan menjelaskan dengan gamblang ke mana dia pergi tanpa pamit dan kabar. Penjelasan yang bisa diterima akal.Sungguh mengherankan, teringat Ayuk Fatma yang begitu ceria dan penuh rona bahagia. Tidak pernah sekali pun ia mengeluh atas pernikahannya. Meski tali yang terikat di atas ranjang dan bercak darah itu memberikan penjelasan sebaliknya.“Istirahat, Rin. Kamar sudah ibu siapkan." Ibu tiba-tiba nongol dan berdiri di sampingku.“Bentar, Bu. Pengen selonjoran dulu di sini”"Jangan dipikirkan nian. Dak baek ibu hamil pikirannya kosong.""Iya, Buk. Tenang bae lah."Ibu kembali masuk ke ruang tengah setelah memberitahu dan menasehatiku. Sudah menjadi kebi
Read more
Indekost
Selepas makan malam, Bapak memanggilku. Menanyakan banyak hal sekaligus memberi wejangan ada sebagian yang bisa kujawab meski selebihnya banyak yang aku sembunyikan. Tidak ingin kedua orang tua ini mencemaskan keadaan anaknya. Sulung yang diharapkan menjadi suluh dan lanjaran buat adiknya, justru terjebak dalam pernikahan yang luar biasa … absurd.“Jadi, belum ada kabar dari laki kau itu, Rin?”“Belum, Pak.”Bagaimana mau dapat kabar jika hape saja aku matikan. Aku hanya berusaha untuk tidak berharap banyak, sebab harapan yang terlalu tinggi kemudian terhempas, hanya akan menimbulkan luka menyakitkan“Kalau macam itu, istirahat kau dulu di rumah.”“Rin pulang ke kost bae, Pak. Sayang tinggal satu semester dan lagi nyusun skripsi. Lulus nantik, Rin bisa balek kerja.”“Siapa yang nak ngurus kau di sana?”“Tenang. Kost tu dak cuma satu kamarlah. Banyak orang. Cewek galo. Dak mungkin mereka tutup mata kalau Rin minta tolong. Nantik kalau sudah melahirkan lah payah pula nak lanjut kuliah.
Read more
Bertubi-tubi
Kuletakkan sebiji buah naga itu di meja dan menatapnya dengan linangan air mata. Seleraku menguap lagi. Aku hanya bisa duduk dan tergugu. Barangkali, sebaiknya aku menghilang dari kehidupan laki-laki beranak tiga itu. Lalu kepala dipenuhi wajah Amanda, Zain, dan Zidan. Mereka yang terkena imbas, bocah-bocah piatu yang kehilangan ibu. Juga bayi di dalam garbaku. Menjauh berarti anak yang kukandung juga akan kehilangan ayah dan ketiga bocah itu akan kehilangan seorang ibu, sekali lagi.Aku masih termenung ketika pintu kamar ibu terbuka dan membuatu aku terlonjak. Beliau keluar sambil menggelung rambut dan heran saat menyadari aku masih duduk sendiri di ruang tamu.“Belum tidur, Rin?”“Gerah, Bu. Belum bisa tidur.”“Iya. Di rumah ni mana lah ada AC macam di rumah mertuamu.”Aku tergagap mendengar jawaban ibu. Perlakuan dan keanehan Bang Sam berdampak pada sikap ibu yang menjadi sedikit sinis.“Bukan macam itu. Kipas angin kan ada. Rin memang memang belum mengantuk.”“Rasa-rasa ada mobil
Read more
Boleh, Rin?
Aku mendorong motor dari pinggir jalan dan memarkirkan ke halaman samping agat tidak mengagetkan. Aku melangkah masuk dari pintu dapur saat kulihat Ayuk Siti yang biasa membantu di dapur melihatku dengan sedikit terkejut.“Balek, Rin?” tanyanya dengan sedikit terkesiap.Aku mengangguk dan menempelkan jari di bibir memintanya jangan berisik. Namun, ia menahanku saat kaki hendak melangkah ke kamar utama.“Kenapa?” tanyaku heran.“Nantik bae masuknya. Ada amak dan bapak Yuk Fatma di depan.”“Ngapain?”Yuk Siti menggeleng cemas dan tidak menjawab.Baru sesaat kami sama-sama terdiam, terdengar obrolan penuh tekanan dari ruang depan.“Macam mana jadi ni? Anak aku mati, lakinya menghilang, bini barunya minggat. Apa jadinya cucu aku nantik?!”Aku menggigit bibir bawah dan saling pandang dengan Yuk Siti. Lelaki itu datang kembali untuk meradang. Dia selalu ada di saat yang tidak tepat, kemudian menyelesaikan segala sesuatu dengan kemarahan. “Dia lagi?” tanyakku pada Yuk Siti. Heran. Perempuan
Read more
Lanjut Kuliah
“Sudah ada kabar tentang Sam?” lanjutnya sambil melangkah ke dapur. Aku mengikutinya.“Belum.”Amak mendesah resah. Ia duduk di dipan dekat kolam dan water wall yang setia mengalir, ditingkahi bunyi gemericik yang menenangkan. Meski hatiku tetap gundah.“Kau macam santai nian Sam dak balek.” Tatapan Amak tajam menghujam jantungku.“Rin dak tahu harus gimana, Amak. Abang banyak menimpan rahasia.” Aku menghela napas. “Orang yang bantu Abang waktu ditangkap polisi tempo hari, ada Amak kenal? Barangkali kita bisa mencari informasi dari orang itu.”Amak berdehem cepat dan bangkit. Pura-pura tidak mendengar pertanyaanku.“Cabe yang hijau sudah direbus, Ti?”Ayuk Siti yang sedang sibuk memcuci sesuatu di sink menoleh dan tergopoh mengaduk sesuatu di panci.“Sedang di rebus, Mak.”“Lekaslah. Sebentar lagi Abak balek dari kantor.”Aku memerhatikan kejanggalan laku perempuan itu. Ia terlihat sibuk yang dibuat-buat. Bagaimana dia menyingsingkan lengan baju dan bersiap menggiling cabai yang Ayuk
Read more
Abaang!
Canda dan gelak tawa itu terdengar lagi. Membuatku rindu akan suasana sebelum tragedi kematian seniorku itu. Aku adalah bagian dari anak-anak kost yang bebas, menjalani hidup seringan kapas, tanpa tanggung jawab dan beban berlebihan. Lima hari kerja, dua hari kuliah. Jika mendapat jatah jaga malam, siangnya aku balas dendam. Tidur sepanjang hari seperti kelelawar.Jika perut meminta haknya, tinggal berjalan ke warung nasi depan, atau janjian makan di tempat lain jika bosan, menyesuaikan gaji yang kuterima setiap bulan. Selebihnya disisihkan untuk keperluan kuliah.Jika ada senior yang memiliki tempat praktik dan kekurangan tenaga, aku akan dengan suka rela membantu dan mendapat upah lelah.Just that simple.Lalu sekarang, inikah pernikahan yang orang-orang katakan indah itu?Aku keluar setelah melipat mukena dan sajadah. Dua orang penghuni kamar lain seketika histeris mengetahui aku sudah pulang.“Ayuk Airiiin!” jerit mereka bersamaan.Keduanya lantas bangkit dan berlari menyongsongku
Read more
Teka-teki
Hape di tangan kutatap dengan nanar dan memencet nomor Bang Sam sekali lagi dan lagi, tetapi tidak ada respon kali ini.Siapa perempuan itu? Si rambut pirang? Apa mungkin? Ah, tidak. Aku menggeleng-gelengkan kepala. Dia, toh, datang ke rumah untuk mencari setelah Bang Sam saat laki-laki itu sudah menghilang beberapa hari.Otakku kembali riuh oleh pertanyaan-pertanyaan yang menyerang dengan masif. Tangisku tumpah sudah. Mengumpat dan mengutuki diri, menyesali diri kenapa tadi harus menghidupkan hape dan berinisiatif meneleponnya. Bang Sam memang masih hidup, tetapi teka-teki dan rahasia yang dia simpan semakin membingungkan dan berputar-putar menyesaki kepala.Kutatap nanar hape yang masih berpendar dengan air mata yang memburam, lalu memencet tombol blokir.Cukup. Cukup sudah aku berhubungan dengan laki-laki sialan itu.**Tiap hari, Ibu menelepon, mengirim pesan, dan melakukan panggilan video. Beliau pasti mengkhawatirkan keadaanku. Ada beberapa pesan juga dari Amak, betapa beliau m
Read more
Mantan
Aku mengulurkan tangan pada perempuan yang terlihat tidak senang saat laki-laki di depannya memanggilku dengan panggilan yang mungkin terdengar istimewa.“Saya mahasiswa yang dulu pernah praktik di Bangsal Anak.” Aku sodorkan tangan dan dia seperti segan untuk meraihnya. Wajahnya terlihat kurang percaya.“Kita pernah ketemu kok, Mbak. Pas Mbak Indira awal masuk ke Bangsal.”Ia mengangguk-angguk saat aku menerangkan lebih lanjut.“Kuliah di sini juga, Mbak?” tanyaku heran. Setahuku, dia baru datang saat penempatan pegawai negeri, jadi rasanya sangat mustahil kalau dia mahasiswa juga di sini.“Bukan. Jemput suami.”“Suami?” Suaraku sedikit meninggi dengan keterkejutan luar biasa. Semudah itu saja ternyata. “Sejak kapan? Dak bilang-bilang Abang.”Aku melirik Bang Idam yang blingsatan.“Sudah tiga bulan.”“Tiga bulan? Wah, selamaat!” Aku bertepuk tangan sambil melirik laki-laki yang sekarang tertunduk. Jelas sudah semua kini, kenapa dia begitu mudah melepaskan tanpa sedikit pun bargaining
Read more
Menyerah
Di terbelalak sesaat sebeliLaki-laki yang tampak rapuh setiap kali tersudut itu tertunduk dengan posisium akhirnya menunduk, masih mencangkung di depanku.“Bukan begitu ceritanya, Sayang. Nanti Abang jelaskan di rumah. Please. Abang malu kalau teman-teman Adek mendengar masalah rumah tangga kita.”Betapapun kami berusaha memelankan suara, bocah-bocah perempuan di dalam pasti ingin tahu dengan apa yang terjadi. Kenapa aku pindah dan Bang Sam menjemput kemudian hari. Bagaimana pun aku berusaha menutupi, keretakan itu sudah terjadi. Siapa saja akan mudah melihatnya.Reni cs beberapa kali terdengar kasak-kusuk dan mondar-mandir mengintip. Bayangan mereka sesekali tertangkap ekor mata meski pintu yang tertutup korden posisinya ada di sampingku duduk.“Masalah rumah tangga kita? Abang yang bermasalah. Bukan kita.”“Adeek.”Dia kembali menumpukan kedua tangannya pada sofa di sisi kiri kananku. Mengunciku sekali lagi.“Toloong. Ayo, kita pulang. ”Aku menggeleng dan balik menatapnya.“Lalu, p
Read more
Hujan dan Demam
Berarti sudah dua jam laki-laki keras kepala itu ada di sana. Teras yang dilingkup beberapa rumah warga dan menyisakan jalan setapak yang hanya muat dilewati satu motor, membuat tempat itu terlindung dari pandangan orang-orang yang melintas hanya sesekali.Bagi keluarga yang datang berkunjung dengan kendaraan roda empat, mereka hanya bisa memarkirkan kendaraan di tepi jalan, menumpang pada pemilik warung makan langganan anak-anak kost atau masjid yang ada di seberang jalan.Aku mendengkus kesal. Amarah yang baru saja lerai kembali terpantik, bersama sedikit rasa iba yang lindap begitu saja. Tampias hujan yang membasahi lantai teras pasti membuat celana Bang Sam lembab. Udara dingin, menjadikan semuanya menjadi lengkap.Entah kenapa kekhawatiran itu datang begitu saja.Meski demikian, aku menguatkan hati untuk tidak goyah. Bang Sam harus belajar menyelesaikan masalah bukan dengan memasang tampang memelas.Keberadaannya kini jadi sangat mengganggu pikiranku, mengganggu kenyamanan penghu
Read more
PREV
1234567
DMCA.com Protection Status