"Titip suamiku ya, Rin!" Kesalahan prosedur tindakan demi rencana operasi kembali perawan, membuatku kehilangan senior sekaligus sahabat. Ayuk Fatma memaksakan diri menjalani vaginoplasty demi sang suami. Sayang, sebelum tindakan dilakukan, ajal keburu menjemputnya karena perdarahan pasca lahir. Ia juga menitipkan pesan agar aku menggantikan posisi sebagai istri untuk suaminya, laki-laki yang pernah kutaksir diam-diam. Kematian Ayuk Fatma membawa luka dan tanggung jawab besar di pundakku, saat mengetahui mantan suami sahabatku itu hanya terlihat elok di kejauhan, karena ternyata Bang Sam adalah laki-laki misterius yang banyak menyimpan rahasia. Akan sekuat apa aku menjalani hari-hari sebagai istri sebab rasa bersalah yang dalam?
View MoreKetika tekad seseorang sudah sekuat baja, seribu nasehat, pengalaman, hingga alasan ilmiah pun akan patah oleh opini pribadi dan keyakinan.
"Yuk!" kugenggam tangan perempuan yang tergolek di meja ginekologi dengan keringat yang membasahi baju. Dia menoleh sambil mendesis ketika dinding perutnya kembali mengeras karena kontraksi. Seulas senyum dia sunggingkan dengan susah payah."Sudah bukaan berapa?""Masih yang tadi, Yuk, enam. Tanpa indikasi, jadwal periksa dalam masih dua jam lagi.""Maksimal berapa jam lagi?""Secara normal dua jam lagi, Yuk. Tapi ... harusnya sudah pada fase bertindak sejak subuh tadi. Apa dak sebaiknya kita ikuti saran dokter Ramlan?"Kukuatkan genggaman tangan. Berharap perempuan di depan itu akan luluh dan mengubah keputusannya."Tapi semua baik-baik saja, kan? Denyut jantung janin juga normal. Aku masih kuat, santai aja," ulasnya dan susah payah melarikkan senyum.Kupaksakan nyengir meski hati kebat-kebit memandangi partograf di atas meja. Sebuah lembar pemantauan kemajuan persalinan normal. Pada kondisi tertentu, jika garis melewati batas waspada, tim sudah harus bersiap untuk tindakan selanjutnya. Pada garis bertindak, semua tindakan harus sudah dilakukan. Ada beberapa item penilaian, denyut jantung janin, pembukaan mulut rahim, kontraksi, tanda vital ibu, dan lain-lain.Pada kasus Ayuk Fatma, semua normal. Hanya pembukaan mulut rahimnya yang bergerak lambat seperti kura-kura patah kaki menggendong gajah, lelet atau nyaris tak bergerak. Pemeriksaan dalam tiap empat jam tidak menunjukkan peningkatan pembukaan yang signifikan. Naik setengah senti atau stagnan sejak tiga puluh jam yang lalu.Rona lelah dan mungkin putus asa tercetak jelas di wajahnya."Batalkan bae yo, Yuk?"Seperti teguhnya batu karang di lautan, pendiriannya kokoh tak bergeming.Cinta kadang memang mengaburkan logika. Ibarat menerka kedalaman Palung Mariana, tak ada yang tahu berapa pastinya.Masih terekam dengan jelas, bagaimana ia bercerita dengan semangat, saat kami duduk di lobi depan kampus, ngobrol tentang banyak hal. Karya tulis ilmiah yang tak juga di acc oleh dosen pembimbing yang killer-nya setengah mati, tentang uang kontrakan yang menunggak, atau membicarakan kehamilan ketiganya.Kami bertemu di kelas ekstensi, kelas khusus untuk tenaga kesehatan yang sudah bekerja, di universitas negeri awal ajaran baru. Kuliah hanya bertatap muka dengan dosen tiap Sabtu dan Minggu. Sebenarnya, kuliah nyata kami ada di lapangan, di lahan praktek masing-masing langsung dengan kasus riil. Bukankah alam terkembang adalah guru?"Cewek, Rin. Lengkap sudah, ke dua abangnya pasti senang nian punya adik perempuan. Setelah ini aku mau rekontruksi, biar abang makin sayang ke aku." Tangannya lembut mengelus perutnya yang makin membesar."Seriusan, Yuk?""Iyo lah. Itu bukti kalau aku cintai nian, akan kulakukan apa saja untuk membahagiakannya.""Dia yang minta?""Aku yang mau." Dia terkekeh."Sinting! Cinta itu tanpa syarat, Ayuk Sayang. Bukankah pepatah bilang 'mencintailah bukan karena', sebab kalau cinta ya memang cinta, tanpa embel-embel ini itu."Kekehnya berubah tawa membahana yang panjang."Hust!" Kupasang tampang cemberut sambil menutup mulutnya dengan buku."Menurut Serat Centini, laki-laki itu akan diam di rumah karena tiga hal, kan?" Manjakan matanya dengan tampilan yang enak dilihat, kenyangkan perutnya dan penuhi hasratnya.""Wah, lah terbawa kuliahnya Bu Hasnah ini."Kali ini dia cekikikan."Apa yang salah dengan kuliah beliau?" kilahnya."Ya, memang ndak ada, sih,Yuk. Tapi, masak iya harus sampai vaginoplasti nian? Kan, rusak juga karena ulahnya. Itu ... egois namanya.""Itu mauku, Airin Sayang dan dia mengizinkan.""Rin!" erangnya memanggilku. Suara itu mengembalikan lamunanku tentang masa lalu.Selang infus berisi perangsang kontraksi yang terpasang di tangan kiri membuat geraknya terbatas.Sungkup oksigen bertengger di hidung dengan kapasitas dua liter per menit, membantu janin mendapat pasokan oksigen murni sejak lima belas menit yang lalu. Denyut jantung janin yang tadinya di atas seratus lima puluh kali per menit kini berangsur normal kembali.Sudah sejak tadi juga kurapalkan doa, membaca ayat Ibunda Siti Maryam ketika melahirkan Isa, tapi sepertinya doaku tertahan, menggantung di langit, dan belum dikabulkan. Sementara Ayuk Fatma, terlelap di antara jeda dua kontraksi. Tenaganya seperti hampir habis.Surat penolakan operasi sesar dia tandatangani tanpa keraguan sedikit pun. Tak ada sesiapa yang mampu mengubah tekadnya, bak nahkoda kapal piawai yang tahu di depan ada badai, sang kapten tak hendak mengubah arah haluan. Ia maju tak gentar karena yakin akan kemampuan."Keknya aku udah pengen ngejan ini." Suaranya tertahan, seperti bunyi seseorang yang memaksa diri berbicara sambil mendorong lemari besi.Sigap kukenakan sarung tangan steril, mengambil beberapa kapas desinfektan dan tergopoh mendekatinya. Menyibak kain yang menutupi pinggang ke bawah. Melakukan periksa dalam dengan hati-hati. Benar!Pembukaan lengkap dan kepala janin sudah turun di dasar panggul meski masih agak tinggi.Kutekan sebuah nomor aiphone yang standbye di ruang bersalin."Dok! Ayuk Fatma sudah lengkap!”Seperti dikomando, semua tim sudah berada di ruang persalinan dua menit kemudian, siap dengan posisi dan alat masing-masing. Dokter Ramlan, Dokter Anak dan dua orang perawat siap di tempat."Kau, bantu saya mengejan kalau saya beri komando ya, Fat. Udah hapal di luar kepala, kan? Anak ke tiga, biasa nolong persalinan juga." Dokter Ramlan mencoba mencairkan ketegangan yang tiba-tiba muncul.Pimpinan persalinan di mulai. Ayuk Fatma berusaha sekuat tenaga mengejan dengan mengikuti aba-aba dokter. Tapi tenaga yang dia keluarkan dengan sungguh-sungguh untuk mendorong anaknya keluar, seperti asap yang menguap tanpa bekas, kepala janin tetap bertahan di tempat. Klem pengatur tetesan infus dibuka, cairan elektrolit bercampur obat perangsang kontraksi menggelontor memasuki pembuluh darahnya.Tiga puluh menit berlalu tanpa hasil.“Kita vakum aja. Ini sudah terlalu lama.” Dokter Ramlan memutuskan. Ayuk Fatma dan suami setuju.Sigap Ibu Kepala Ruang mengambil vakum ekstraktor set di lemari dan merangkainya sedemikian rupa.Anestesi dilakukan di bagian perineum medio lateral agar pasien tidak merasakan sakit saat dilakukan pengguntingan jalan lahir.Dokter Ramlan kemudian sigap memasang mangkuk vakum dan menempelkan ke kepala janin di jalan lahir. Kemudian pompa vakum diaktifkan pada tekanan tertentu.Matahari sudah tergelincir turun dari puncak kepala ketika Ayuk Fatma bertanya masa. Aku yang berdiri kaku disamping sambil merangkul sebelah kiri kakinya, dengan sarung tangan berlumur lendir darah di kedua tanganku, menjawab. Sudah tiga puluh lima menit sejak pimpinan persalinan dimulai."Sekali lagi yo, Yuk. Harus kuat, harus semangat! Tunggu aba-aba Dokter Ramlan. Dorong sekuat tenaga ke bawah, yo?" Kuangsurkan minum untuk membasahi tenggorokannya.Dadaku berdebar semakin kuat. membantu pertolongan persalinan sahabat dengan penyulit sungguh membuatku senam jantung.**Sepulang dari kampus, aku kembali ke ruko setelah mampir sebentar ke cabang laundry ke dua di dekat tempat kerja. Aku duduk termenung di lantai dua. Mengingat dan meresapi lagi apa yang tadi pagi Bu Suji katakan.“Kita tidak bisa selalu menjadi malaikat bagi orang lain. Berikan pada ahlinya. Biar mereka yang menyelesaikannya. Cerita sama mertua Bu Airin. Ini bukan perkara aib, tetapi Ibu harus tetap waras, apalagi dalam kondisi hamil seperti ini.”“Tapi, Bu ….”“Saya belum terlalu yakin sebab menegakkan diagnosa memang tidak hanya mengambil dari sumber kedua. Tetapi saran saya, cari pertolongan, jangan dipendam sendirian. Ini bukan lagi perkara menutup aib, tetapi menjaga kewarasan.”Aku menarik napas berat. Perpisahan, apapun namanya, bukanlah cita-cita bagi setiap perempuan. Tetapi mengingat kelakuan Bang Sam dan Amak, tak urung membuatku bergidik. Benar kata Bu Suji, mengerikan jika harus bertahan lebih lama lagi.Kuedarkan pandangan sekali lagi. Aku putuskan untuk tinggal di sini,
Kalau tidak ingat sedang di kampus, ingin rasanya aku menjerit. Dada rasanya sakit sekali. Sehingga aku hanya tergugu dan meratapi diri, kenapa dipertemukan dan harus menikah dengan laki-laki model begini.Bu Suji segera mendekat dan mendekapku yang terus mengigil sambil menangis.“Saya udah dak kuat lagi, Ibuu. Toloong. Saya udah dak kuat.” Aku merintih seperti anak kecil. Sementara, Bu Suji diam dan hanya membiarkanku terus menumpahkan air mata di bahunya.Cukup lama aku terisak, namun rasanya belum juga hilang rasa sakit yang mengoyak harga diriku begitu dalam.Bu Suji segera bangkit dan aku berpaling ke arah tembok saat seseorang terdengar mengetuk pintu. Aku berusaha menyembunyikan wajah dari siapa pun yang berdiri di depan situ.“Assalamualaikum, Ibu. Sekarang jam kebidanan psikologi sama Bu Suji di ruang 3B lantai tiga.” Seorang mahasiswa terdengar menjemput beliau untuk mengajar. Ternyata sudah satu jam kami mengobrol dan tidak terasa waktu beranjak begitu cepat.“Waalaikumuss
Pagi-pagi sekali, indekost gempar. Sebab ada seorang ibu hamil yang kabur dari rumah suaminya dan kembali terdampar, di kontrakan mereka.“Maaf, ngrepotin kalian lagi,” ujarku penuh sesal. Tetapi bukannya marah, mereka justru excited. berceloteh tentang kebahagiaan bahwa nanti bakal ada bayi yang bisa jadi hiburan. “Senanglah kami, Yuk. Ada yang bisa dimainin balek kami dari kuliah.”Andai saja Bang Sam bisa seperti mereka ini, yang memberi tanpa perhitungan dan meminta ganti rugi.Makanan segera terhidang, meski mereka beli dari lapak pagi sarapan di depan gang. Nasi kuning dengan telur balado dan teh hangat. Bungkusan sejumlah kepala yang sekarang menghuni kost. Rame dan riuhnya mereka sedikit melipur lara hati.Panggilan telepon dari Bang Sam terhitung belasan kali sampai jam satu malam tadi. Aku menghapusnya tanpa ada keinginan untuk menelepon balik. Buat apa. Baginya, aku hanyalah perempuan hina. Setelah Amak menuduh dengan tuduhan keji, sekarang anaknya setali tiga uang. Sama s
Reaksi Bang Sam sungguh membuatku geram. Bisa-bisanya dia berpikir senaif itu. Apa dia kira semua orang seperti dirinya yang dengan mudah bermain mata?Perang mulut tidak lagi terhindarkan. Ini adalah keributan kedua meski belum genap satu tahun umur pernikahan kami. Bagaimana bisa dia berpikir, aku akan macam-macam dengan perut sebesar ini? Usahaku membantunya, mengurus rumah, melunasi hutang, mencukupi kebutuhan, justru dibalas dengan kecurigaan yang tidak masuk akal.Meski tidak ada lagi rasa hormatku, aku tetap melayani semua kebutuhannya. Mengurus anaknya, menyiapkan pakaian, makan, dapur dan lain sebagainya. Lalu ini balasannya? Bagaimana pun aku menjelaskan, Bang Sam tetap kukuh menuduh, bahwa aku masih mencintai Bang Idham. Sengaja tidak mengganti judul proposal demi bertemu dengan mantan. padahal proposal itu sudah di acc pembimbing sebelum tragedi kematian Ayuk Fatma.Dia lalu mengotak-atik ponselku dan duduk diam terpaku di sofa, membiarkan gemuruh di dadaku semakin bertal
Seperti tidak punya daya, Bang Sam duduk dan mulai makan, ditingkahi anak-anaknya yang sibuk berebut mainan. "Maem dulu, Bang, Dek. Nanti lagi mainnya." Dengan lembut, Bang Sam menegur anak-anaknya. Barangkali sedang mode kalem, dia melayani kedua anak bujang dengan telaten dan sabar. Ekor matanya sesekali melirikku yang duduk di seberang meja. Aku sibuk mengaduk susu hangat yag sudah larut semenjak tadi. Sibuk dengan pikiranku sendiriMembiarkannya makan sambil melayani Zain dan Zidan."Papa, ada tulangnya." Zidan menyodorkan piringnya. Sepotong pesmol ikan mas memang harus hati-hati disiangi, sebab durinya banyak dan kecil-kecil sekali. Belum selesai Bang Sam membersihkan duri lauk milik Zidan, si sulung pun tidak tinggal diam. "Punya Abang juga."Bang Sam menghela napas, lalu menarik piring Zain juga ke hadapannya. Sementara aku pura-pura tidak peduli. Cepat-cepat kuhabiskan susu dan berdiri."Dak makan dulu, Adek?""Sudah tadi," jawabku cepat, meski aku belum makan malam, mel
Wajah tampan itu kini berubah menyeramkan. Pongah. Arogan. Menyebalkan. Aku sampai tidak bisa berkata-kata untuk beberapa lama. Sepertinya, ada yang salah dengan otaknya.“Kenapa? Laki-laki boleh menikah lebih dari satu, Dek.”“Tau. Tapi bukan seperti itu konsepnya. Bukan begitu cara mencari dan menyelami sifat seorang perempuan.”“Jadi, cari istri macam dapetin Adek? Perempuan macam Adek? Yang keras kepala, kerja dak izin suami. Lancang buka-buka hape suami? Istri yang suudzon bae sama suami? Gitu?”Astaghfirullah. Kenapa sekarang justru aku yang salah? Bukannya kemarin dia bilang menikah karena cinta sama aku.“Asal Adek tau, Abang kenal mereka sebelum kita menikah. Abang niat berhenti karena punya Amanda. Tapi, kan dak secepat itu.”“Kan, tinggal bilang putus, apa susahnya?”“Kasian, Dek. Mereka manusia, punya perasaan.”“Dan, Abang? Dak merasa bersalah Ayuk sampai nekat melakukan vaginolpasty demi Abang? Karena sudah merasa dak sempurna sampai lakinya sibuk cari gebetan? Dak pedul
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments