All Chapters of Titip: Chapter 11 - Chapter 20
65 Chapters
Malam Pertama
Waktu merambat perlahan hingga masing-masing pamit undur diri ke peraduan. Zain dan Zidan juga sudah beberapa waktu lalu diantar papanya. Mendongeng dulu, begitu kebiasaan mereka, cerita Si Pahit lidah atau Malin Kundang. Jika bosan papanya diminta membacakan buku cerita favorit mereka. The Little Prince. Kisah petualangan seorang pilot yang terdampar di padang gurun dan bertemu pangeran kecil dari planet lain. Bang Sam menceritakan ini padaku kemarin malam.Aku masih terpaku di tempat dengan bayi yang terlelap dalam pangkuan. Kamar mana yang harus kutuju? Kamarku dan Amanda atau kamar utama?Ada debar yang makin meningkat di dalam dada. Sejujurnya, aku belum siap untuk satu ruang semalaman dengan laki-laki penuh pesona itu.“Dek?” panggilnya.Aku terhenyak kaget karena sedang membayangkan sesuatu yang menggoda. Bahasa gaulnya, sesuatu yang iya iya. Bang Sam pasti telah selesai menidurkan buah hatinya“Kok masih di sini?” Bang Sam mengambil posisi duduk di sampingku.“Belum bisa tidur
Read more
Dibunuh
Bang Sam seperti tidak peduli. Dia menangis dalam sedu sedang yang panjang dan menyayat. Membuat suasana pagi semakin mendung.Bang Sam lalu meletakkan kepalanya di pangkuanku yang terduduk di sisinya. Dia yang selama ini mencoba tegar, akhirnya tumbang juga dihajar kepahitan.“Menangislah, Abang. Menangislah. Tumpahkan saja semua yang mengganjal,” ucapku sambil membelai kepalanya. Hatiku pilu melihat kondisinya.Tidak lama kemudian tangis itu reda. Aku lalu membimbingnya ke kamar untuk mandi, memutar shower unuk menyiapkan air mandi hangat, dan Bang Sam menurut masuk untuk membersihkan diri.Aku tutup pintu itu, mencarikan ganti baju, dan keluar kamar. Secepat kilat menyiapkan sarapan dan teh panas. Sejujurnya aku tidak pandai memasak. Ayuk yang bantu-bantu di rumahlah yang mengerjakan.“Kenapa Abang kau, Rin?” Amak bertanya penasaran.“Airin juga belum tahu, Amak. Abang sedang mandi,” jawabku dengan kegusaran yang sama.Bang Sam sudah bergelung di atas tempat tidur saat aku kembali
Read more
Prasangka
Bergegas aku masuk dan menuju kamar utama, sekalian melarikan diri dari rasa malu ditegur Abah barusan.Abah adalah orang berpengaruh dan pengusaha sukses di daerah ini. Sikapnya keras, tegas tetapi bijak. Menurutku. Beliau hanya berbicara jika perlu saja. Tapi kalau sedang menyampaikan nasihat, bahasanya meresap ke dalam dada.Teringat kembali marah dan murkanya Abah saat Ayuk Fatma meninggal di tangan kami waktu itu. Kupikir, Abah adalah seorang laki-laki yang arogan dan pemarah. Nyatanya, terkadang manusia menjadi panik pada kondisi yang menekan mental. Abah baru megetahui menantunya meninggal swsaat sebelum akad, ketika Bapak Ayuk Fatma.mengabari dan meminta izin lewat telepon.Praktis, pernikahan mendadak antara aku dan Bang Sam tanpa kehadiran dua mertua di depanku itu.Kini, aku tidak bisa membayangkan jikalau apa yang kami khawatirkan benar-benar menjadi kenyataan. Bahwa putra kesayangan Abah telah menjadi seorang pembunuh.Perlahan kutekan handel pintu dan melongok. Tampak Ba
Read more
Mantan
Aku masuk mengikuti langkah-langkah kecil Zain, meletakkan Amanda di boks, dan menitipkannya pada ayuk di dapur.Kemudian, aku membawa dua jagoan Bang Sam membelah aspal jalanan dengan motor kesayangan. Menikmati pagi yang masih sedikit lengang.Kali pertama mengantarkan Zain dan Zidan ke sekolah mereka, tak urung beberapa pasang mata ibu-ibu yang sedang berkerumun di depan gerbang, menatapku dengan pandangan penuh keingintahuan.Mereka berbisik-bisik setelah menatap kami sesaat. Aku mengangguk dan tersenyum tipis. Mengabaikan gumaman perempuan-perempuan itu. Terserah! Masalahku jauh lebih berat daripada mengurusi mulut usil dan rasa ingin tahu mereka.Menggantikan posisi menjadi istri seorang duda ketika jasad istrinya pun belum dimakamkan dan tersangka pembunuhan, adalah gosip yang empuk untuk diperbincangkan. Aku menggeleng dan berlalu, menarik gas kendaraan pelan. Setelah Zain mengjilang dari pandangan. Kemudian berputar mengantar Zidan di gedung TK yang terletak di sebelah gedun
Read more
Pingsan
Hari-hari berikutnya, Bang Sam lebih banyak diam. Dia sering menghindar dan tidur di lantai atas, di kamar Zain dan Zidan.Kehangatan lelaki tampan beberapa hari belakangan kepadaku itu, sirna seiring kepulangannya dari kantor polisi.Aku kecewa tentu saja. Seakan-akan, istri barunya ini berkorban hanya sekedar untuk menjadi baby sitter gratisan.Pernikahan kami memang tanpa cinta, terjadi begitu saja, dan karena terpaksa. Dia juga masih berkabung karena kehilangan istrinya. Namun, tidakkah Bang Sam bisa sedikit menimbang perasaan dan harga diriku? Perasaan menjadi istri yang tidak diinginkan ternyata memang sesakit ini.Jika saja bukan karena permintaan Ayuk Fatma dan rasa bersalah yang berkelindan dalam dada, aku pun tidak menginginkan pernikahan ini.Tatapan penghakiman para pelayat waktu itu yang menjadi penentu segala. Meski sebenarnya diri bisa mengatakan tidak jika memang terpaksa. Sayang, aku tidak setegas itu.Nyaliku ciut melihat hujan tatapan para pelayat, juga permohonan
Read more
Siapa?
Satu, dua, sepuluh menit suasana sepi. Laki-laki itu pasti masih duduk di kursi samping ranjang.Kemudian, suara dering telepon merobek kesunyian. Ada panggilan di ponsel Bang Sam.Meski terpejam, sebenarnya aku masih terjaga sepenuhnya, sehingga bisa mendengarkan apa yang dibicarakannya di telepon meski bersuara pelan.Bang Sam sedang merayu seseorang untuk sabar menunggu. Meski lamat-lamat dan nyaris tak terdengar, aku yakin lawan bicaranya adalah perempuan.Sepertinya orang di seberang sambungan mendadak berteriak saat Bang Sam masih berusaha merayunya. Suara dari ponsel itu lebih nyaring meski tak jelas bicara apa.“Iya! Iya abang ke sana sebentar lagi. Airin baru saja pingsan.”Suara itu terdengar lagi, masih berteriak.“Ok. Ok! Abang ke sana sekarang. Please dong, Sayang. Jangan lakukan itu.”Sayang katanya? Siapa yang dipanggilnya sayang? Telingaku serupa kucing yang sedang mendengar pergerakan mangsa meski mata terpejam. Mencoba merangkai mozaik-mozaik yang berserakan, menyus
Read more
Rencana Menyelidiki
Bang Sam menggeliat sebelum akhirnya membuka mata.Dalam temaram lampu teras, aku tahu ada ekspresi keterkejutan di wajahnya.Cekatan tangannya menarik handel pintu dan membukanya.“Adek, kenapa bangun?”“Terbangun. Lihat Abang belum pulang, makanya adek keluar rumah.”Dibimbingnya aku masuk. “Maaf, ya.” Singkat saja kalimatnya. Pun begitu mampu sedikit meredakan bara dalam dada.“Kenapa nggak masuk?”“Kasihan harus membangunkan kalian tengah malam.” Begitu alasannya. Tapi tidak. Jangan harap aku akan berhenti menyelidiki setelah ini, tekadku dalam hati. Laki-laki itu tetap menggandengku ke kamar dengan mulut terkunci. Sepatah kata maaf itu saja yang diucapkannya. Ya. Sepatah kata itu saja.“Abang dari mana tadi?” Tak urung, pertanyaan itu meluncur juga melihat reaksi diamnya.“Maaf. Abang ada urusan mendesak. Adek udah sehat?”Ah, dia bertanya sekedar mengalihkan pembicaraan.“Alhamdulillah.”Laki-laki itu bergegas ke kamar mandi, sementara aku duduk seperti orang gagu di sisi ranj
Read more
Abang Ke mana?
Selanjutnya, kuliah yang berlangsung beberapa jam itu tidak ada yang masuk dalam ingatan. “Kapan kau masuk kerja, Rin?” Ayuk Indah bertanya saat kuliah usai dan kami berjalan beriringan di koridor kampus.Kuhela napas sekali lagi. Berpikir beberapa kali belakangan ini tentang sebuah keputusan besar yang harus kuambil.“Rin resign aja, Yuk. Manda ndak ada yang jaga di rumah. Cuma ada Amak yang sudah tua, sama pembantu yang sibuk dengan kerjaan.”“Aih, sayang nian.”Apa boleh buat. Aku melanjutkan kuliah sebenarnya agar bisa setara dan dapat membuka rumah bersalin sendiri. Namun, nasib terkadang membelokkan ke arah yang berlainan dengan kehendak hati.Abah dan Amak yang sedianya hanya menjenguk pun, akhirnya memutuskan tinggal. Mereka tidak ingin aku kerepotan sendirian. Aku tidak mampu menolak. Toh, rumah itu milik mereka juga.Untuk masalah resign ini, aku sudah diskusi sama Bapak dan ibu di rumah, Bang Sam, dan Amak tempo hari. Justru laki-laki bermata teduh itu yang memintaku mengu
Read more
Menjaga Jarak
Aku yang tak tahu menahu ujung pangkal, bergeming. Kedua alisku bertaut. Bingung melihat situasi yang terjadi.Laki-laki yang wajahnya tiba-tiba demikian layu itu lalu berdiri, meraih lenganku, dan cepat-cepat menghelanya hengkang dari tempat itu. Menghindari berpasang-pasang mata yang menatap kami dengan sorot ingin tahu.Perempuan itu barangkali yang selama ini menjadi biang keladi. Mungkin dia adalah rahasia yang Bang Sam sembunyikan selama ini.Aku diam dan mengikuti langkah-langkah panjangnya meski agak tersaruk-saruk. Kutundukkan kepala, menghindari mata-mata yang melihat ke arah kami. Sementara, ujung belati seakan masih menancap di ulu hati, nyerinya semakin tak terkendali.Cepat-cepat Bang Sam membawaku ke mobil, menerjang rinai yang masih setia menyirami bumi.Dia lantas duduk dan mengatur napas, sementara air mataku pun mulai menderas, dibakar api cemburu yang menyerbu dada hingga panas.“Dia siapa, Abang?” tanyaku di antara isak tangis. “Pacar Abang?”Mata lembutnya seket
Read more
Kabur
Terkadang, senyum adalah kamuflase untuk menyembunyikan kepedihan. Semacam kebohongan yang dilakukan dengan sengaja.Perempuan itu masih memindaiku dengan mata penuh tanya.“Hujan tadi lebat, Amak. Pedih mata Rin terkena tampias. Nggak sempat pakai helm karena buru-buru.” Mengelak terkadang menjadi pilihan untuk menyelamatkan diri. Toh, aku tidak berbohong.Aku lantas memilih duduk di samping perempuan itu, memeluknya, menyerap kehangatan yang selama ini dia berikan tulus kepadaku.Obrolan lantas menjadi panjang lebar, juga tentang kerinduan Amak Saidah dan suami kepada cucu-cucunya. Kerinduan yang mengantar mereka menyambangi rumah besannya.Ayuk Fatma memang tinggal di rumah mertua sejak menikah, “Lebih dekat ke tempat kerja dan kampus.” Begitu alasannya ketika itu.Setiap pulang ke rumah amaknya, dia sering mengajakku, tapi tidak jika ke rumah mertuanya. Segan, katanya.Namun setelah aku dinikahi Bang Sam, kami memilih tinggal di rumah yang abah berikan kepada anak lelaki satu-satu
Read more
PREV
1234567
DMCA.com Protection Status