All Chapters of Calon Istri Tuan Muda: Chapter 21 - Chapter 30
103 Chapters
21. Tak Biasa
Kepala pria itu bergerak maju lalu berbisik tepat di sisi telinga Vana yang masih diam di tempatnya. Sepertinya dia shock.   “Bernapaslah,” bisiknya pada gadis itu yang membeku kaku di dekapan satu tangan Fandra sementara satu tangannya berpegangan pada besi di sisi tangga.   Menelan ludahnya, Vana menurut dan mulai bernapas pelan. Embusan napas dari Fandra yang mengenai tengkuknya membuat gadis itu bergidik geli sekaligus menyadarkan.   Seulas senyum miring tiba-tiba hadir di wajah Fandra. Dia melangkah, menggeser Vana di depannya tanpa melepaskan pelukan. Rupanya mereka sudah sampai di dasar tangga dan dengan mudah Fandra menggeser tubuh kecil Vana.   “Kelihatannya kau menikmatinya, Nona?” sindirnya tepat di telinga Vana.   Mata indah Vana membulat sempurna, beringsut dia melepaskan tangan besar Fandra, tapi entah bagaimana pria itu justru menarik tangan Vana sehingga tubuh gad
Read more
22. Julukan
Semua mata tertuju pada Vana yang seketika itu ingin sekali menghilang. Dalam hatinya dia merutuki Fandra, tuan muda menyebalkan itu membuat semua orang pasti salah paham. Sampai-sampai Vana tak punya tenaga untuk mengangkat wajahnya. Sungguh memalukan sekali, bukan?“Lihat saja. Aku akan membalasmu nanti. Dasar Tuan Muda Tak Berwajah,” rutuknya kembali menciptakan julukan yang kesekiannya untuk pria itu.Mudah sekali membuat julukan untuk Fandra karena memang cocok dengan semua panggilan yang Vana ciptakan, tak berhati, tak berwajah, dingin, arogan, angkuh dan lain sebagainya. Julukan itu tercipta lagi saat Vana kesal. Namun, mengapa dia tak terima ketika Fandra menyebutkan julukan untuknya.Sebenarnya, Vana bisa saja pergi keluar untuk melakukan aktivitas hariannya seperti sebelum dia memutuskan untuk pindah ke Mansion Alatas dan menukar janjinya untuk janji lain. Sayangnya, salah satu aturan mengatakan, Vana harus tetap di rumah dan menjalani latihan selama satu bulan minimal dan d
Read more
23. Menjadi Dirimu?
Sebenarnya ada banyak yang ingin Vana lakukan, banyak sekali. Sebagian dirinya merasa tak nyaman karena sejak kecil sudah terbiasa mandiri. Jadi saat nenek mengatakan itu langsung saja terpikirkan olehnya beberapa hal.“Kalau begitu Nenek, bolehkah aku menjadi diriku?” tanya Vana hati-hati.Nenek menolehkan wajahnya pada Vana yang tengah menatpnya, menunggu reaksi wanita tua yang berkuasa atas jalan yang dipijaknya.“Menjadi dirimu?” ulang nenek sedikit tidak paham maksud Vana.Vana mengangguk kecil. “Ya.” Dia menarik napas panjang dan dalam sebelum memulai menjelaskan maksud keinginannya itu. “Aku,” ekor mata Vana melirik nenek kemudian melanjutkan, “sejak kecil sudah biasa melakukan banyak hal sendiri bahkan sampai besar. Jadi, kalau Nenek tidak keberatan, bisakah aku menjadi diriku sendiri, dengan kata lain, aku ingin bebas,” ungkapnya masih dengan hati-hati.Tidak ada tanggapan untuk beberapa saat. Nenek masih melangkah sambil memikirkan permintaan Vana itu. Sementara Vana menungg
Read more
24. Pondok Ketenangan
“Ayo lanjut jalan, ada yang ingin Nenek tunjukan padamu,” ujar nenek setelah beberapa saat mereka diam beristirahat.Vana menatap nenek ingin tahu dengan apa yang dimaksudnya. Tapi nenek tak mengatakan apa pun, hanya tersenyum dan mengajak Vana untuk melanjutkan jalan di bebatuan jalan setapak itu.“Tamannya luas, bukan? Melelahkan,” komentar nenek begitu kembali melangkahkan kakinya menyusuri jalan setapak yang di kanan kirinya terdapat hiasan bunga- bunga.“Sepertinya bangunan itu di kelilingi taman. Lahannya luas sekali, persis seperti lapangan golf,” papar Vana ikut berkomentar.Sepanjang mata memandang tempat itu menang hanya berupa lahan dengan rumput hijau dan taman bersama kawanan tumbuhan yang hiasi tempat itu. Luasnya tak terkira sampai- sampai ada mobil khusus di lapangan golf itu tapi tidak akan mungkin menjejakan rodanya di jalan setapak berbahan baru granit itu. Vana meragukan kalau ada yang menjelajahi tempat itu.Nenek tak mengatakan apa pun lagi setelahnya, diam sambi
Read more
25. Kenyamanan Dari Ruangan
Kendaraan taman itu akhirnya sampai di halaman bangunan arah barat yang Vana ketahui sebagai kediaman sang ratu. Sepanjang jalan itu nenek tak lagi bercerita hanya larut dalam pikiran dan kenangannya. Vana tak ingin menganggu maka dari itu ikut diam mengawasi kalau- kalau terjadi sesuatu pada nenek tapi syukurlah tidak.   Seorang pria paruh baya yang merupakan penjaga di sana mengulurkan tangannya untuk membantu nenek turun dari kendaraan. Vana ikut turun di sisi lain tanpa bantuan. Perasaannya sedikit tidak enak, ada sesuatu yang mengganjalnya tapi entah apa itu.   “Kamu pasti lelah, istirahatlah Vana. Terima kasih sudah menemani Nenek jalan- jalan setelah sekian lama,” katanya begitu Vana kembali mengapit lengan nenek.   “Terima kasih kembali karena Nenek mengajakku jalan dan melihat pondok itu. Sesungguhnya aku jadi penasaran bagaimana dalamnya,” aku Vana.   Nenek terkekeh. “Nanti kamu akan tahu e
Read more
26. Nona Ahli Dapur
Matanya terbuka perlahan ketika mimpi menyentaknya. Vana terbangun dan dia menyesuaikan pengihatannya dengan sekitar kemudian tersadar kalau tertidur di ruangan milik Fandra.“Aku tidur berapa lama?” gumamnya sembari duduk lalu menguap. Dia menutup mulutnya dengan punggung tangan.Jam menunjukan pukul sebelas siang. Dahinya mengerut.“Ini waktu berjalan lambat atau cepat? Aku sama sekali tidak ingat,” katanya pada dirinya. Dia menurunkan kedua kaki dan menjejak karpet bulu sambil mengusap wajahnya.Setelah beberapa saat dia akhirnya bangun dari duduknya berjalan mendekati tangga untuk sampai di kamarnya. Wajahnya tampak kuyu karena baru bangun dari tidur. Begitu Vana berada di lantai atas dan melewati ruang perpustakaan dan melintasi ruang santai di lantai itu barulah dia mendapati para pelayannya tengah menunggu di salah satu sofa.“Nona,” seru Pelayan Mega sigap berdiri menyambut.Vana hanya mengangkat tangan sambil terus berjalan menghampiri mereka.“Duduk saja. Kalian pasti bosan
Read more
28. Bermain Dansa
Sore akhirnya tiba. Vana sudah berada di ballroom untuk melanjutkan latihannya. Dia selalu memegang janjinya sendiri. Dia harus bisa menjadi seorang putri agar bisa menjadi dirinya di luar sana, bebas menggapai impiannya lagi dan lagi. Sudah mendapatkan izin dari nenek dan ibu Fandra itu sudah cukup. Vana juga sudah menyusun jadwal. Dia berjanji untuk tidak terlalu sibuk di luar sana dan akan lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah.“Apakah harus ini? Yang kemarin aja belum,” kata Vana begitu melihat sepatu hak tinggi yang dia pegang.Sepatu itu model baru. Vana sudah sering melihatnya tapi tidak pernah memakainya. Dia begidik membayangkannya.“Nona sudah bisa yang kemarin, hanya tinggal menyeimbangkannya saja, itu tidak akan lama, kok,” kata Pelayan Diara yang bertanggung jawab atas pelatihan Vana.“Ugh. Kakiku bisa lecet kalau mengenakan ini,” keluhnya menyipitkan mata menatap sepasang sepatu hak tinggi yang haknya itu kira- kira setipis gagang sapu, kecil sekali dan bertali, Va
Read more
29. Mendekap Rindu
Untuk beberapa saat keduanya diam di posisi yang begitu dekat. Kedua tangan Fandra melingkar di pinggang Vana yang nyaris terjatuh karena tak sengaja bertabrakan dengan pria tinggi itu.“Ah, maaf,” ucap Vana ketika dia tersadar tak lama kemudian dan berusaha untuk melepaskan dirinya dari Fandra.Namun, satu tangan pria itu menolak untuk melepaskannya. Entah apa yang ada di pikiran Fandra tapi tatapan kosong itu jelas sekali sekarang sampai membuat Vana bingung karenanya.Kedua bola mata Vana membulat karena terkejut dengan apa yang Fandra lakukan. Satu tangan Fandra yang masih di pinggang gadis itu menariknya semakin dekat. Tak hanya Vana yang terkejut tapi juga para pelayan yang seketika memalingkan muka atau menundukan pandangan agar tak menyaksiksan apa yang terjadi. Itu sudah menjadi aturan yang Fandra tetapkan.Ada yang aneh dari Fandra. Kening Vana mengerut, dia merasakannya. Napas teratur yang sedikit berat itu seolah menahan bongkahan perasaan yang menghantam pria itu. Namun V
Read more
30. Cedera
“Astaga!” seru pelayan Vana yang berdiri di belakang.Kaki Vana sedikit bengkak, sepertinya dia terkilir tadi. Gadis itu juga meringis kecil.Tanpa kata atau aba- aba, Fandra meraih tangan Vana yang dipegang Pelayan Diara lalu membopongnya begitu saja yang membuat Vana menjerit tertahan.“Apa yang kau lakukan? Lepaskan aku,” katanya memukul lengan Fandra.Tapi pria itu tampak tak peduli dan terus membawanya. Tapi Vana terus bergerak agar Fandra menurunkannya, bahkan menjerit- jerit di depan wajahnya yang hanya berjarak beberapa centi.“Diamlah atau aku turunkan dengan cara yang kasar?” kata Fandra mengancam saat Vana masih saja bergerak minta diturunkan.Membayangkan Fandra menurunkan tubuhnya dengan tak berperasaan dan membentur marmer, membuat Vana akhirnya diam. Fandra menurunkan tubuhnya di sofa yang berada dekat dengan tangga. Dia menatap gadis itu beberapa saat sebelum berjongkok di sisinya untuk melepaskan sepatu yang masih membelit kaki Vana.“Aw. Ssssssh.” Vana meringis terta
Read more
31. Perasaan Aneh
Fandra menggendong Vana untuk membawanya ke kamar. Dari ballroom, menaiki anak tangga yang tak sedikit, melintasi ruang dan lorong, dari ballroom ke gedung selatan itu cukup jauh jaraknya tapi Fandra tampak santai saja seolah dia tak sedang membopong tubuh Vana yang sebenarnya berat.Vana sendiri masih diam, tangannya melingkari leher Fandra yang pandangannya lurus ke depan. Kedekatan itu membuat Vana menahan napasnya, apalagi ketika dia mendapati kesempurnaan pahatan wajah Fandra yang rupawan. Garis rahangnya terlihat begitu tegas bila di lihat dekat seperti itu, kelopak mata dan bulunya membuat tangan Vana kembali mengepal, gatal sekali ingin menyentuh mata itu yang sorotnya sesekali menunjukan kekosongan.“Kau harus bernapas,” kata Fandra tiba- tiba sambil melirik Vana di gendongannya. Dia cukup menundukan wajah.“Ya? Ah!” Vana salah tingkah dibuatnya dan mulai mengambil napasnya.Wangi maskulin dari Fandra menyeruak ke hidungnya membuat Vana terbatuk tapi itu otomatis membuatnya
Read more
PREV
123456
...
11
DMCA.com Protection Status