Lahat ng Kabanata ng Anak Yang Tidur Dengan Perut Lapar: Kabanata 31 - Kabanata 40
45 Kabanata
Kejahatan Ibu
“Itu Kakek Mul, Hay!” seruku pada Haykal saat ia menunjuk Kakek Mul di antara kumpulan supir ojeg.“Kakek Mul?” Haykal mengernyit, aku baru sadar kalau ia belum tahu nama supir ojeg yang kumaksud.“Iya, yang kamu tunjuk itu namanya Kakek Mulyadi. Aku biasa memanggilnya Kakek Mul. Dia ojeg langgananku.”Haykal memandangku heran, “namanya Hendra, Fai. Bukan Mulyadi!” ucap Haykal.Seperti ada yang mengunci tubuhku. Haykal menyebut nama Hendra. Aku perlu memastikan sekali lagi bahwa aku tak salah dengar.“Siapa, Hay?” tanyaku.“Hendra. Yang pakai jaket kulit warna hitam itu namanya Hendra. Dia ayahku, yang memberikan alamat rumahmu sebagai alamat rumahnya. Itu artinya, dia juga ayahmu, Fai!” jawab Haykal.“Be—berarti, dia ayahku?” Aku terbata. “Nama ayahku juga Hendra.”Meli merangkulku, ia tahu aku hampir saja pingsan. “Ayo duduk dulu di sebelah sini, Fai. Kau perlu menenangkan diri. Biar Haykal yang menghampiri ayahmu,” ucapnya sambil menuntunku duduk di depan warung kopi. Meli memesan
Magbasa pa
Uswatun
Bukan kepalang terkejutnya diriku saat Ayah selesai bercerita. Bagaikan petir yang menyambar di siang bolong. Rasanya duniaku berhenti berputar. Terngiang kembali ucapan Ibu. “Fai, ada satu kesalahan Ibu yang akan membuatmu tak bisa memaafkanku. Namun, Ibu tak akan menceritakannya padamu. Andai kau masih punya waktu, dan meski rasanya mustahil, carilah ayahmu. Ibu yakin, dia akan menceritakannya. Biar nanti kau dengar sendiri darinya, apa kesalahanku itu.” Inikah yang dimaksud Ibu? Masa laluku yang pahit itu sungguh sangat kubenci. Jika ada satu-satunya hal yang kusesali di dunia ini, adalah pernah bertemu orang yang mencekikku waktu itu. Tapi, apakah harus Ibu orangnya? Mengapa Alloh memberiku kenyataan ini? Jika pelakunya adalah Ibu, aku lebih baik tak pernah mengetahuinya. Meli mengetahui aku memiliki luka itu, ia pun tampak terkejut dan langsung diam terpaku. Aku yakin Meli tak bisamenerima kentyataan, sama sepertiku. Haykal yang tak tahu apa-apa, melihatku sambil berkata, “ke
Magbasa pa
Surat dari Ibu
Aku merasa Haykal kurang sopan terhadapku. Dia terlalu egois untuk memutuskan sendiri apa yang terbaik bagi Ayah. Tak lama kemudian, Meli datang dari kamarnya, ia meletakkan sebuah kotak persegi panjang di atas meja. “Ini barang yang kumaksud, Fai. Waktu itu Ibu menitipkannya padaku. Katanya, ia tak punya nyali memberikan ini padamu,” katanya sambil duduk di tempatnya semula. Dengan cepat aku meraih kotak dan melihat isinya. Sebuah surat dalam secarik kertas yang cukup panjang. Memegangnya saja membuatku gemetar. Aku melirik Ayah, Haykal, dan Meli. Mereka terlihat ingin tahu apa isi surat ini. Atun, anakku. Apa kau masih ingat, kami selalu memanggilmu Atun saat kamu masih kecil sekali, bahkan mungkin waktu itu kamu belum bisa mengingat. Namamu sebenarnya adalah Uswatun. Kami selalu memanggilmu Atun. Suatu hari, saat hidupmu sangat nyaman dalam buaian ibu kandungmu. Aku bertemu ayahmu di Pantai Batukaras. Waktu itu, baik aku maupun ayahmu masih muda. Ketika aku mendengar bahwa a
Magbasa pa
DM I*******m
“Bisakah kau diam dulu?” Meli mulai kesal pada Haykal. “Anak dan ayah ini baru bertemu setelah puluhan tahu berpisah. Sebaiknya kau bisa menahan mulutmu sebentar saja.”Aku memberi kode pada Meli agar ia pun mau menahan diri. Meli gampang terpancing emosi. Dan aku tak mau itu terjadi di momen kebhagaiaanku bersama Ayah.“Hay, bukankah kau bilang sedang mencari pekerjaan juga di sini? Kenapa buru-buru balik ke Jakarta?” tanyaku pada Haykal.“Ayah sudah ketemu. Jadi aku akan pulang. Niat mencari kerja di sini kuurungkan,” jawabnya.Aku mengambilkan tissue untuk Ayah, sambil tetap bercakap dengan Haykal.“Aku tidak akan mengizinkanmu membawa Ayah,” kataku tegas.“Fai … dia juga ayahku.” Haykal memelas.“Memangnya kau mau apa di Jakarta? Bukankah tidak ada pekerjaan?” tanyaku lagi.“Di sana kan tempat kelahiranku,” jawabnya.“Kalau kau mau tetap bersama Ayah, tinggallah di kampung ini. Kau bisa mencari pekerjaan di sini. Karena aku tak akan mengizinkan Ayah kemana-mana lagi. Akulah yang a
Magbasa pa
Ada Yang Datang Lagi
“E—eh?” Haykal mendadak salah tingkah. Ia membuang muka untuk menghindar dari tatapan Meli yang menudingnya. Aku pun penasaran, apakah tudingan Meli itu benar? Jika diingat, waktu di Pantai Batukaras, Haykal memang mengaku pernah melihat Meli di video.“Kenapa kamu salah tingkah begitu?” cecar Meli pada Haykal. “Kamu ‘merasa’, iya kan? Aku gak lagi nuduh kok. Nih lihat seniri, akun ini atas nama kamu, dan fotonya juga fotomu!” lanjutnya sambil menyodorkan ponselnya pada Haykal. Namun Haykal menolak untuk menerimanya.Aku pun meminta ponsel itu. “Coba kulihat,” kataku.[Halo, Kau dari Indonesia? Bisakah kita bertemu saat kau kembali ke sini, aku akan membayarmu dengan layak]Itu adalah isi DM Haykal pada Meli yang barusan kubaca. Cukup ambigu memang. Di sini Haykal bicara tentang ‘membayar’ Meli. Inilah yang membuat Meli tersinggung.“Mel, jangan langsung marah begitu. Tanyakan dulu pada Haykal, apa maksudnya,” kataku.Haykal angkat bicara. “Maksudku, aku ingin kau jadi modelku dan ak
Magbasa pa
Merawat Orangtua
“Kalau kau masih ragu tentang perasaanmu, cobalah untuk menerima kenyataan. Bahwa masa lalu Dian tak seindah harapanmu, dan bahwa karakter Dian tak semulia yang kau pikirkan.” Meli menambahkan ucapannya yang tadi, sambil memberikan bumbu yang sudah diblender padaku. “Tak semudah mengucapkannya, Mel,” balasku seraya memanaskan bumbu di wajan. Menu buka puasa hari ini adalah capcay kuah dan capcay kering. Aku memasaknya berbeda karena selera kami berbeda. Jika Meli suka dengan capcay kuah, maka kesukaanku adalah capcay kering. Terpikir olehku andai Ayah ada di sini bersama kami. Mungkin salah satu sisi dari hatiku yang kering ini dapat kembali segar dan ditumbuhi semangat hidup yang lengkap. Sejak kepergian Ibu dan sejak terungkapnya masa lalu Dian, sebagian semangat hidupku menghilang. Fokus dan tujuan hidupku tak jelas. Aku hanya mengandalkan kata hati menjalani hari demi hari. Berharap mendapat percikan hikmah dari kenyataan pahit yang harus kuterima ini. Namun, sampai detik ini
Magbasa pa
Pengganti
“Sakit apa, Pak?” Salah seorang diantara mereka berhenti dan bertanya pada Dian. Aku mendengarkan sambil menyirami tanaman. “Sudah seminggu ini badan Ibu mengigil. Tak tahu kenapa. Cuma Ibu cuek, dia rasa baik-baik saja. Puncaknya, tengah malam tadi Ibu tak bisa bangun,” jawab Dian. Seminggu? Berarti ketika Bu Mardiyah menemuiku saat aku hendak pergi ke Batukaras beberapa hari yang lalu, ia sedang sakit? Pantas saja waktu itu aku melihatnya pakai syal yang dililitkan ke leher. Semalam waktu datang ke rumah, syal itu masih terpasang dan Bu Mardiyah juga memakai mantel tebal. Namun, ia terlihat baik-baik saja. “Cepat sembuh untuk ibumu, Pak. Saya salut sama Pak Dian, mau menggantikan pekerjaan ibumu di saat ia sedang sakit.” “Cepat carikan menantu untuk Bu Mardiyah, Pak.” Begitulah kata-kata terakhir mereka sebelum berangkat ke pasar. Dian langsung menoleh ke arahku. Aku mengalihkan pandangan. Dian masih sama seperti yang dulu. Penuh kasih sayang dan berbudi. Kurasa ia memang tid
Magbasa pa
Teman Curhat
Tiba-tiba seseorang menggandeng tanganku di tengah kerumunan, membuatku tersadar. Ternyata Linda. Ia menarikku ke depan toko kue.“Kamu bikin kaget aja. Kukira orang iseng,” kataku.Linda mengernyit dan terlihat khawatir. “Habisnya kamu melamun dan diem di tempat, di tengah-tengah jalan lagi. Gimana kalau kesenggol orang? Aku merhatiin kamu lho, dari tadi aku di sini dan langsung kutarik aja tanganmu. Kamu mikirin apa sih Fai, sampai kayak orang linglung begitu?”Aku mengerjap, pikiranku masih terpaut pada Dian. Aku dan Linda janjian di toko kue yang letaknya di dalam pusat perbelanjaan ini. Hanya saja karena pikiranku tak fokus, aku jadi banyak melamun dan kakiku seakan terkunci.“Kamu mikirin apa?” ulang Linda sambil memilih kue. “Eum, apa soal pernikahanmu yang gagal ya?” Aku mengangguk.“Kalau kamu butuh teman curhat, ngomong aja ke aku. Gak apa-apa kok, sesekali kan kamu perlu sharing, jangan nyimpan semuanya sendiri. Gak baik buat kesehatan mentalmu,” lanjut Linda.Aku pun men
Magbasa pa
Tetangga Baik
“Kena AC mobil,” jawabku. Akhirnya, mau tak mau aku harus menatapnya juga. Dian tersenyum tipis dan sikapnya masih canggung. Mengetahui kedatanganku dan Linda untuk menjenguk Bu Mardiyah, Dian langsung mempersilakan kami masuk. Hampir tak ada perabot yang mengisi rumahnya. Hanya TV yang terpajang di atas rak dan lemari kaca kosong di sebelah pinggir. Ditambah satu set sofa lengkap dengan meja tamu di dekat pintu masuk. Setelah puluhan tahun, ini baru pertama kalinya aku masuk lagi ke rumah Dian. Walau rumahnya besar, tapi isinya kosong. Keadaan yang jauh berbeda dengan puluhan tahun lalu, saat keluarga Bu Mardiyah masih berjaya. Perabotan rumahnya lengkap dan mahal. Bahkan, terkadang ia menyombongkan barang-barang yang dimilikinya. Ternyata seperti inilah gambaran hidup, tak selamanya yang kita miliki kekal dalam genggaman, kalau tidak bijak menggunakan harta maka bisa lenyap kapan saja. Dan melihat kondisi rumah ini sekarang, aku jadi percaya bahwa keuangan Dian sedang tidak baik-
Magbasa pa
Tertawa Bersama
“Sudah, Bu. Tak baik, tak ada sangkut pautnya dengan Fai,” jawab Dian. Aku cukup terkejut dan berkata, “kenapa, Di?” “Benar bahwa kami pindah ke sini karena malu atas utang di desa, namun sebenarnya kepindahan kami ke sini pun adalah keinginan Dian yang ngotot ingin melamarmu, Fai. Dia gadaikan SK-nya untuk pindah ke sini. Kemudian sisa uangnya dipakai untuk biaya lamaran dan persiapan akad nikahmu yang batal itu,” jawab Bu Mardiyah. “Setelah pernikahan kalian batal, rasanya pengorbanan anakku jadi sia-sia.” “Bu—“ Dian menghentikan Bu Mardiyah, terlihat jelas ia merasa tak enak dengan yang diucapkan ibunya barusan. Aku semakin terkejut, namun berusaha sebisa mungkin agar tak terkecoh. Sedikitnya, aku tahu sifat Bu Mardiyah, ia akan membuat seseorang merasa bersalah agar orang itu mau menuruti keinginannya. Dan sepertinya, ia pun sedang melakukan trik itu padaku. “Benarkah itu, Di?” tanyaku pada Dian. Sekedar untuk menghargai cerita Bu Mardiyah, aku pun menanggapinya. “Ah, jangan
Magbasa pa
PREV
12345
DMCA.com Protection Status