Anak Yang Tidur Dengan Perut Lapar

Anak Yang Tidur Dengan Perut Lapar

By:  Widanish  Completed
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
Not enough ratings
45Chapters
6.1Kviews
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
Leave your review on App

"Ibu pun dengan sabar telah merawatku, dari aku kecil hingga saat ini. Meski aku bukan anak kandungmu, tapi kasih sayangmu benar-benar tulus," balasnya seraya mengusap-usap pundaku. "Aku menyayangimu, Bu." Semakin ia bicara, semakin keras aku menangis. Andai dia tahu apa saja yang pernah kulakukan padanya, apakah ia masih akan tetap menyayangiku?

View More
Anak Yang Tidur Dengan Perut Lapar Novels Online Free PDF Download

Latest chapter

Interesting books of the same period

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments
No Comments
45 Chapters
Ramadhan Tahun Lalu-Ramadhan Tahun Ini
"Tidurlah, nanti laparmu akan hilang."Kuusap kelopak mata anak tiriku, dengan tangan gemetar. Betapa tidak, hati ini pilu karena hampir setiap hari perutnya tidak terisi banyak nasi."Aku masih lapar, Bu," begitulah lirihnya setiap menjelang tidur.Anak itu selalu menurut. Setelah ia tertidur, aku selalu memasak secangkir beras hingga pada saat Subuh tiba, beras itu berubah menjadi tiga centong nasi.Waktu itu sahur pertama di bulan Ramadhan 1998, anak tiriku baru berusia tujuh tahun. Ia kubangungkan dengan perasaan was-was di hati, takut kalau-kalau sudah meninggal dalam tidurnya karena kelaparan."Faihatun ... bangun, Nak," kucolek tubuhnya menggunakan jari telunjuk, hati ini sungguh khawatir ketakutan itu akan terjadi.Alhamdulillah akhirnya ia membuka mata, walau dengan pelan dan tampak lemas."Ayo sahur," kata itu kubisikkan di telinganya.Fai mengangguk, kuminumkan segelas air putih untuk menambah tenaganya. Kemudian menuntunnya ke meja makan."Duduk yang benar, Ibu akan ambilk
Read more
Ramadhàn yang Berbeda
"Fai suapi Ibu, ya," ucapnya, menyendok nasi dengan sesuwir daging ayam. "Kalau lauknya mau ganti, bilang aja ya, Bu," lanjutnya.Buka puasa di hari ke dua Ramadhan 2021. Aku disuapi Faihatun karena anak itu yang meminta. Di matanya, aku ini sudah renta ... padahal sebenarnya untuk sekedar menyuap nasi aku masih mampu."Alhamdulillah tadi Fai dapat uang insentif dari kantor, jadi pulangnya bisa beli lauk yang banyak untuk menu buka puasa. Ini semua kesukaan Ibu, Fai sengaja belikan. Maaf ya, Fai gak masak karena lelah habis bekerja," katanya, sambil menyuap sendokan kedua."Sudah cukup menyuapiku. Sekarang giliranmu yang buka puasa. Ibu bisa makan sendiri," balasku seraya mengambil sendok dari tangan Fai. "Makanan ini sangat banyak. Bagaimana kalau tidak habis? Lain kali kalau masak atau beli, secukupnya saja," lanjutku.Meja makan penuh dengan hidangan. Terlalu banyak untuk ukuran berdua. Mubazir kalau tidak habis, kami tak mungkin memakan semuanya."Kan bisa dikasihkan, Bu," jawab F
Read more
Kata-Kata Penyelamat
"Kamu pulang saja dulu, saya lagi repot ngurusin tamu," paksa Nyonya Guntur ketika aku kukuh ingin mendapatkan upah sore itu juga. Akhirnya aku pun pulang, karena Nyonya Guntur sudah mulai terlihat jengkel. Sepanjang perjalanan pulang, pikiranku terus berputar-putar mengakali harus masak apa untuk buka hari itu. Di rumah tinggal segenggam beras dan sebuah wortel yang kupunya. Terdengar suara azan maghrib, sekaligus pertanda waktu buka puasa. Aku berjalan sangat lambat hingga tidak bisa mengejar waktu untuk sampai di rumah sebelum magrib. Teringat Faihatun yang seharian kutinggalkan bekerja, sedang apakah dia di rumah sendirian? Perasaanku khawatir, takut terjadi apa-apa dengan anak itu. Apalagi di rumah tidak ada makanan, dengan apa dia akan berbuka?Teganya Juragan dan Nyonya Guntur kepadaku. Sudah dua hari bekerja hingga lelah, namun tak sepeser pun uang yang dibayarkan mereka. Padahal, makanan begitu banyak tergeletak di meja makannya. Tak bisakah mereka memberiku sedikit untuk k
Read more
Kenapa Mereka Kaya, Kita Miskin?
Fai menganggukkan kepala pada Bu Mardiyah sebagai salam hormat. "Itu Fai, ya? Wah ... Fai tumbuh jadi gadis yang cantik," ujar Bu Mardiyah."Iya, Bu." Faihatun tersipu mendapat pujian dari Bu Mardiyah.Aku mendengarkan percakapan mereka berdua yang terlihat sangat asyik. Bu Mardiyah berpindah tempat duduk mendekati Fai."Fai masih ingat sama Dian?" tanya Bu Mardiyah."Iya, Bu. Dian teman Fai waktu masih kecil," jawab Fai."Sekarang Dian sudah jadi PNS. Berkat kamu, Fai ....""Lho? Kok berkat saya, Bu?" Fai terlihat heran. Aku menepuk pundaknya."Di desa, kami hidup sulit. Selepas diwisuda, Dian selalu termenung di teras rumah. Kupikir karena ia frustasi belum mendapatkan pekerjaan. Setelah kutanya ... rupanya ia sedang mengingatmu. Sebagai seorang ibu, tentu saya tahu apa yang sedang dialaminya. Akhirnya saya jadikan kerinduannya padamu sebagai motivasi untuk membuatnya bangkit," jelas Bu Mardiyah.Fai masih tampak kebingungan, atau pura-pura bingung? Entahlah, yang pasti ia sangat t
Read more
Kaya dan Miskin Saling Bergantung
"Lho, kok malah nanya ... ya suruh masuk, atuh. Kan kasihan," jawabku."Hihi, Fai gugup, Bu ...," kata Fai."Bersikap sewajarnya saja." Aku menasihati FaiSelama ini, Fai tak pernah berpacaran atau sekedar memiliki teman lelaki. Aku cukup mengkhawatirkan hal itu karena usia Fai sudah tiga puluh tahun, usia yang cukup untuk berumahtangga. Sementara aku pun mulai lemah dimakan usia yang menginjak lima puluh delapan tahun. Aku ingin, Fai segera bertemu jodohnya.Tak lama kemudian, Fai mengajak Dian masuk ke rumah dan duduk di sampingku. Mereka tampak serasi walaupun masih malu-malu, karena lama tak bertemu. Seandainya mereka berjodoh, aku sangat senang. Insyaalloh, mereka sama-sama shaleh. Dulu, keduanya tumbuh bersama dan harus terpisah saat menginjak remaja."Bu, apa kabar?" sapa Dian seraya memberikanku beberapa bingkisan buah tangan yang dibungkus hiasan indah."Alhamdulillah," jawabku. "Kudengar, keluargamu kembali pindah ke sini. Saya senang tetanggaan dengan kalian lagi.""Iya, Bu
Read more
Reseki Datang dari Amal Baik
"Ibu mau nyuci lagi? Di mana, Bu?" tanya Fai."Belum tahu, Fai. Belum ada yang nyuruh Ibu," jawabku.Fai mengangguk. Aku mengajaknya tidur agar dia tidak mengantuk ketika bangun sahur nanti. Tempat tidur kami hanyalah selembar kasur lepek yang sudah usang, diletakkan di lantai karena ranjang satu-satunya yang kami punya sudah dijual untuk membeli beras dan membayar kebutuhan.Rumah yang kutinggali bersama Fai waktu itu adalah peninggalan ayahku. Sebelumnya, kami tinggal bersama Mas Hendra di rumah gedong. Namun, dijual beserta isinya karena harus menutupi utang dagang. Ketiga toko yang dimiliki Mas Hendra juga dijual. Kami bangkrut, dan Mas Hendra kabur. Alhasil, aku dan Fai harus kembali ke rumah gubuk peninggalan ayahku."Bu, Fai lapar," katanya ketika mata hendak terlelap."Masih ada nasi dan goreng telur sisa buka puasa tadi maghrib. Sebentar, Ibu ambilkan ya," kataku.Fai menggeleng. "Bukan, Bu. Fai ingin makan cemilan, bukan makan nasi," lirihnya, memelas."Tak ada Fai. Tidurla
Read more
Karakter Dunia
"Bu, saya kan mau beli, bukan mau mengemis. Kenapa menyiram saya dengan kopi hitam?" lirihku. "Rasakan itu, perebut suami orang! Dulu kau merebut Hendra dari Lisna, karena kau matre! Sekarang kau jatuh miskin! Rasakanlah! Sana kau pergi, jangan belanja di tokoku! Tak sudi aku menerima uang darimu!" hardik Bu Beni.Aku menahan air mata agar tak mengalir lebih deras. Kekesalannya padaku adalah hal wajar, aku dulu memang orang sombong yang membanggakan kecantikanku. Aku juga telah merebut suami orang, hingga semua orang membenciku. Kini setelah miskin, aku sadari semua kesalahanku dan bertaubat. Namun, rupanya beberapa orang memang belum bisa melupakan masa laluku. Dan masih mencapku sebagai pelakor.Langkah kaki membawaku pulang ke rumah, bajuku kotor terkena siraman air kopi. Sesampai di rumah, Fai berlari ke arahku, ia baru saja pulang sekolah, masih mengenakan seragamnya yang mulai kekecilan."Kenapa baju Ibu kotor?" Fai bertanya."Ibu terjatuh," jawabku singkat lalu bergegas masuk
Read more
Jalan dari Alloh
"Dih, bicaramu udah kayak ustad aja," seloroh Pak Handoko."Aku mengutip kata-kata seorang bijak, Pak," jawab Dian.Kami semua tertawa. Bu Mardiyah menepuk lengan suaminya, "biarkan Dian 'beraksi' di hadapan calon mertuanya, Pak!" katanya sambil mengedipkan mata, membuat suasana semakin hangat karena kami tertawa lagi."Memang bener, kok. Kita juga pernah mengalaminya waktu usaha Bapak bangkrut dan harus pindah ke desa. Segala macam kesulitan datang bertubi-bertubi," lanjut Dian."Iya betul, Bu. Di dunia ini bukan hanya kalian saja yang pernah mengalami kemiskinan dan hinaan, kami juga pernah!" ucap Bu Mardiyah padaku. "Saya juga kaget ketika mendengar toko kain Pak Handoko bangkrut, jadi ikut sedih. Apalagi kalian langsung pindah dari kampung ini, hilang tetangga baik saya satu-satunya," responku. "Bu Mardiyah tahu sendiri kan, waktu itu semua orang menjauhi saya. Hanya kalian yang masih mau kenal dengan saya.""Ternyata, tidak ada yang kekal di dunia ini. Kekayaan kami harus sirna,
Read more
Fai dan Meli
"Justru, itu akan membantumu. Setelah Fai pulang sekolah, kamu bisa mengantarnya ke pondok dan menjemputnya kembali saat pulang kerja. Dengan begitu, kamu bisa tenang meninggalkannya mencari nafkah," kata Pak RT."Pekerjaan saya juga gak tetap, Pak," keluhku."Saya dengar, Juragan Guntur membeli dua mesin cuci. Dia hendak membuka usaha cuci baju, dan membutuhkan pegawai. Sepulang dari sini, cepat-cepatlah kamu melamar ke rumahnya. Siapa tahu jadi rezekimu bekerja di tempatnya. Juragan Guntur tak pernah pelit dalam memberi, gajimu nanti pasti lumayan." Pak RT memberiku arahan.Mendengar kabar itu, aku sangat senang. Kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan kini terbuka lebar. Aku pun pulang dengan melangkahkan kaki sedikit berlari, agar sampai di rumah Juragan Guntur dengan segera, untuk meminta pekerjaan padanya.*"Untung kamu datang tepat waktu, Nis. Sudah banyak yang datang minta pekerjaan. Tapi saya hanya butuh tiga orang, yang dua orang sudah saya tetapkan. Tinggal satu orang lagi,
Read more
Meli
Di malam takbir tahun 1998, Nyonya Guntur mengalami kecelakaan sepulang membagi THR kepada fakir miskin yang hidup di jalanan. Ia ditabrak orang tak dikenal dan langsung meninggal di lokasi kejadian.Empat bulan setelahnya, aku diperistri Juragan Guntur setelah mendapat keputusan perceraian dari pengadilan agama, dan selesai masa iddah.Pernikahan itu bukan tanpa pertimbangan. Dahulu, Nyonya Guntur menerimaku bekerja di rumahnya bukan hanya untuk menjadi buruh cuci saja, melainkan sekaligus untuk mengasuh Meli. Sehingga ketika Nyonya meninggal, Meli sangat terpukul. Ia tak mau jauh dariku. Aku pulang ke rumah pun, ia selalu memaksa ikut. Karena itulah akhirnya Juragan Guntur menikahiku demi Meli, agar aku setiap hari bisa tinggal di rumahnya.Aku pun menikah dengan Juragan demi Fai. Karena Juragan menjanjikan hidup yang layak untuk kami. Namun, pernikahanku bukanlah pernikahan yang indah. Walaupun orang mengenalku sebagai Nyonya Guntur yang baru, kenyataannya aku tetaplah Anisa Si Bur
Read more
DMCA.com Protection Status