All Chapters of Tertawan Pesona Bos Duda: Chapter 31 - Chapter 40
75 Chapters
Bab 31: Saat yang Tepat untuk Melenyapkan Seruni
Pria bertopi tengkorak itu berdiri dengan posisi menghadap ke jendela bus, menatap kendaraan yang sesekali menyalip. Seperti biasa, pagi itu Trans Jogja dipenuhi penumpang, tetapi tidak terasa pengap karena suhu rendah dari mesin pendingin. Dirirupnya udara beraroma parfum dan bedak dengan wangi beragam, mengingatkan lelaki itu pada permen Nano-Nano yang pernah tren.Satu dua kali lirikan pria bertopi tengkorak itu bertemu pandang dengan Seruni. Ia bisa merasakan jejak curiga pada mata gadis itu sehingga akhirnya memutuskan turun di halte kedua dan mengubah rute perjalanan.Membiarkan Seruni berganti bus, laki-laki bertopi tengkorak itu memilih ojek online sebagai pengganti Trans Jogja. Ia tiba di halte terdekat dengan La Luna jauh lebih cepat ketimbang Seruni. Ia masih punya waktu untuk menghubungi salah satu temannya agar membawakan baju kemudian berganti kostum. Seruni tidak akan curiga karena ia menambahkan kumis dan cambang lebat.Pria bertopi tengkorak, kini ia menggunakan topi
Read more
Bab 32: Habisi Dia!
Menghabisi Seruni? Tuan Besar mendengkus. Aku memang akan merencanakannya, tapi nanti, setelah mencicipi tubuhnya. Jangan sampai dia mati sebelum aku sempat melakukan apa pun. “Sekarang Seruni bukan ancaman utama bisnis kita, Gou,” ujarnya dingin. “Justru masalahnya ada di kamu karena identitas lengkap kamu sudah di tangan polisi. Aku bisa pastikan, polisi juga pasti sudah mengendus markas kita.”“Sesuai perintah, markas sudah pindah, Tuan. Anak-anak semua tiarap. Tuan tidak perlu khawatir.” Si tato kalajengking mencoba berkelit. “Sebelum Seruni kembali membuat ulah, lebih baik dia kita habisi dulu, Tuan. Serahkan pada saya. Semua akan beres dalam hitungan jam.”Si Tuan Besar tersenyum sinis. Dasar tak tahu diri. Masih sempat-sempatnya dia membual!“Kenapa tidak kau pikirikan kemarin, waktu Seruni lepas, hah?” Kepalan tangan Tuan Besar membentur meja kayu jati hingga pulpen dan asbak di atasnya berlompatan. “Harusnya, kamu segera cari dan tangkap dia! Bukan membiarkannya bebas dan s
Read more
Bab 33: Kemarahan Aditya
Honda Accord yang dikemudikan Bram memasuki area parkir Hotel La Luna. Pria itu melihat tablet kemudian mengecek pesan WhatsApp. Lalu, tanpa berkata apa pun pada Seruni, Bram turun dari mobil.“Terima kasih, Pak.” Seruni mengangguk sopan pada Bram. Hatinya mulai tidak enak karena melihat resepsionis yang menggosip tentangnya kemarin lewat di depannya. Karyawan itu menatap sinis Seruni setelah tersenyum pada Bram.“Hemm.” Bram melirik Seruni sekilas dan meneruskan langkah dengan cepat seolah ia akan tertinggal sesuatu jika tidak bergegas.Seruni menghela napas. Dilihatnya tubuh Bram seraya berjalan di belakangnya. Setelah ini, hidupnya di La Luna akan semakin berat. Semakin banyak karyawan tahu dia terhubung dengan Bram. Tadi, ia terpaksa menerima tumpangan Bram karena takut terlambat presensi kedatangan. Ia sedang menjalani masa percobaan. Satu kesalahan akan menggagalkan semua usahanya. Menerima tawaran Bram untuk bareng sampai La Luna adalah satu-satunya pilihan agar tidak telat mes
Read more
Bab 34: Perseteruan Dua Generasi
“Silakan duduk, Om. Kita sudah separuh jalan.” Bram mengabaikan protes Aditya. Ia berkata dengan santai meski dadanya disesaki gumpalan rasa kesal. Terlambat satu dua menit masih bisa ditolelir, tetapi hampir setengah jam, Bram seperti ingin menerkam dan membanting sang paman. “Kenapa tidak menunggu aku? Semua kebijakan dan keputusan perusahaan harus atas sepengetahuan aku.” “Duduk dulu, Om, biar enak ngomongnya.” Bram menarik kursi di samping Kai. “Rapat kita masih lama dan kita tidak punya waktu untuk berdebat.” Bola mata Aditya memindai semua peserta rapat pagi itu. Aditya bisa membaca keinginan mereka agar tidak memperpanjang masalah. Perseteruannya dengan Bram memang seperti akar pohon beringin berusia ratusan tahun. Setelah menimbang sejenak, Aditya memenuhi perintah Bram. Masih dengan menahan kesal di hati, pria dengan rambut klimis itu mendekati kursi di samping Kai. Sesaat, wajah Bram berkerut. Hidungnya bisa menghidu aroma anggur dan parfum perempuan dari baju Aditya. T
Read more
Bab 35: Pertemuan Tak Terduga
Ruang rapat sejenak hening. Deru mesin pendingin dan detak jarum jam meningkahi ketukan pulpen Bram di atas meja, mengisi sunyi yang menjeda. Semua mata tertuju pada Bram, menantinya memberi klarifikasi. Rumor tentang Bram dan Seruni memang sudah beredar luas di tengah karyawan La Luna. Jika dibiarkan, akan menjadi api yang bisa jadi akan membakar jerih payah membesarkan La Luna selama ini. “Saya setuju dengan Bos Kai.’ Suara Nina menghentikan ketukan pulpen Bram. Bola mata hitamnya bertemu pandang dengan paras cantik kepala HRD itu. Di depan staf lain, Nina berusaha profesional, sangat kontras dengan sikapnya jika hanya berdua dengan Bram. Dia akan berbicara dengan lembut dan kadang sedikit menggoda. “Tempo hari Pak Bram sudah melanggar SOP penerimaan pegawai dengan memasukkan Seruni tanpa melalui program rekruiitmen resmi.” Nina ikut menambahkan. Ia jadi punya kesempatan untuk meluapkan kekesalannya karena Bram terkesan melindungi dan memberi ruang lebih pada Seruni. Padahal selam
Read more
Bab 36: Mommy Jangan Pergi
“Ada anak baru di dapur, Kai?” Aditya sengaja berdiri di tengah sehingga Seruni tidak bisa lewat. Meski wajahnya menghadap Kai, tetapi lirikan matanya tetap tertuju pada gadis itu.Dalam hati, Aditya sibuk mengumpat si tato kalajengking yang mungkin saat ini sudah mati. Gou dan anak buahnya benar-benar bodoh karena tidak mampu menangkap Seruni padahal gadis itu sudah ada di depan mata.Aditya sebenarnya bisa mengerahkan tukang pukul lainnya untuk menangkap Seruni, tetapi sekarang ia sedang tiarap karena jejaknya mulai terendus polisi. Sedikit saja operasinya bocor atau gagal, dia bisa diseret ke penjara dengan pasal berlapis karena memiliki bisnis judi dan prostitusi online. Si kepala botak yang selama ini meliindunginya mulai kewalahan karena jajaran reskrim saat ini jauh lebih berani.Satu-satunya cara menghindari dari radar polisi adalah menahan diri dan tidak terlalu agresif. Ia tidak ingin kehilangan sumber utama pundi-pundi kekayaannya. La Luna memang memberikan penghasilan cuku
Read more
Bab 37: Keributan Pagi
Melihat Rain menangis, Bram mempercepat ayunan kakinya menuruni tangga. Tangis Rain seperti lonceng tanda bahaya di telinga Bram.“Kenapa bisa sampai nangis?” tegur Bram ketika sudah berada di depan Seruni. Diambilnya Rain dari gendongan Wulan kemudian diciumnya kepala dan kening anak itu.“Mommy.” Tangan Rain terulur hendak meraih Seruni.“Ka-kak mau kerja, Rain,” ujar Seruni dengan tampang memelas. Duh, kenapa juga pakai acara nangis? Ia tidak tega mendengar tangis gadis kecil itu, tetapi juga tidak ingin kehilangan kesempatan. Kai sudah mewanti-wanti agar datang tepat waktu kalau tidak ingin tereliminasi sebelum tes.“Non, Mommy biar kerja dulu, ya?” Wulan mengelus punggung Rain kemudian mengangkat kedua tangannya untuk meraih tubuh gadis itu. Alih-alih diam, tangis Rain justru makin keras.‘Ran mana, Mbak?”“Sudah nunggu di depan, Mas, ditemani Mbak Naya.”Bram melihat jam dinding. “Kalau gitu ajak Rain ke La Luna.” Pria itu memberikan Rain pada Seruni.Refleks kedua mata Seruni m
Read more
Bab 38: Ulah Buaya Darat
Sesaat, ucapan Aditya menghentikan gerakan tangan para calon asisten chef. Sementara penghuni dapur lainnya tampak tidak terganggu dengan keberadaan pria berkumis tipis itu. Mereka sudah terbiasa melihat perseteruan Aditya versus Bram dan Kai. Kadang, mereka malah sedikit menikmati lalu sesekali menjadi bahan ghibah di grup karyawan. Sampai saat ini skor tertinggi ada di pihak Bram dan Kai. Keduanya selalu berhasil mengalahkan adu mulut dengan Aditya.Kai mendekati ujung meja. “Lanjutkan pekerjaan kalian. Fokus! Waktu kalian tidak banyak,” seru Kai melihat kelima orang di hadapannya sempat berhenti bekerja. Kemudian, ia kembali memangkas jarak dengan Aditya. Saraf-saraf otak di kepala Kai sibuk mencari cara untuk menyingkirkan Aditya dari dapur. “Kita bicara di ruang kerja saya saja, Om,” lanjutnya kemudian. Walaupun ia belum tahu topik pembicaraan yang akan dipilih, tetapi setidaknya sang paman tidak ada di dapur.“Tidak perlu.”Kaki Kai yang hampir terayun kembali ke posisi semula.
Read more
Bab 39: Pelukan di Suatu Sore
“Saya anak baru, Mbak. Belum berani izin.”Seruni memasang tampang memelas. Permintaan Wulan membuat Seruni kesulitan menelan nasi goreng. Butuh bantuan dua teguk air agar makanan itu tertelan sempurna. Seruni bimbang. Sebenarnya ia kasihan pada Rain, tetapi di sisi lain, ia tidak punya cukup keberanian untuk absen.“Cuma sehari ini saja. Setelah demamnya reda, Non Rain nggak akan ganggu kamu lagi.”Mbok Asih yang baru saja kembali dari ruang makan setelah menata sarapan duduk di dekat Wulan. Tangan keriputnya meraih cangkir lorek dan meneguk isinya perlahan. Dipandanginya Wulan dan Seruni bergantian dengan prihatin. Ia ingin membela Seruni, tetapi juga kasihan pada Wulan. Mbok Asih sangat paham, kalau sakit, Rain selalu rewel dan sedikit merepotkan. Kadang Wulan harus rela bergadang, bergantian dengan Kanaya. Pekerjaannya lebih ringan jika Bram ada di rumah. Gadis kecil itu akan menggelendot ayahnya sepanjang malam. Seeruni menghela napas. “Saya nggak terganggu dengan Non Rain. Cum
Read more
Bab 40: Ghibah atau Fitnah
“Jangan-jangan bener, nih, kata Mas Kai.”Suara Kanaya seperti magnet yang menarik Seruni dan Bram melepas tangan masing-masing. Seruni mundur dan Bram kembali duduk di ayunan. Di pangkuan Bram, Rain menggeliat. Angin senja bertiup cukup kencang, menggoyang batang-batang zinia dan cosmos aneka warna. Seekor kupu bersayap kuning hinggap di atas kelopak marigold.“Saya tadi hampir jatuh dan Pak Bram menarik tangan saya, Mbak. Tolong jangan berpikir macam-macam.” Seruni mencoba membela diri. Kepalanya tertunduk, menatap batu-batu kecil yang menutup jalan setapak di depan ayunan. Langit kemerahan. Matahari nyaris tenggelam di celah langit.“Memangnya Kai bilang apa?” Bram menatap tajam Kanaya yang kini sudah duduk di samping Bram dengan tangan menggenggam segelas jus jambu. Dielusnya punggung Rain yang menggeliat lalu perlahan membuka mata.“Kalau kata Mas Kai, kalian sebenarnya diam-diam sudah menikah.” Kanaya berujar santai lalu tersenyum kecil. Ia selalu suka menggoda Bram soal peremp
Read more
PREV
1234568
DMCA.com Protection Status