Semua Bab Tertawan Pesona Bos Duda: Bab 41 - Bab 50
75 Bab
Bab 41: Titah Mama
“Kamu nggak perlu repot-repot nyariin jodoh buatku, Mas. Aku bisa cari sendiri, kok.’ Kanaya berusaha agar tidak terprovokasi ucapan Bram.Diam-diam, Kanaya menaruh harap pada seseorang, tetapi tidak punya keberanian untuk mengutarakan lebih dulu. Ia memilih untuk menunggu, entah sampai kapan karena ia pun tidak tahu bagaimana perasaan orang itu. Kanaya akan berhenti berharap ketika takdr telah memutuskan ia tidak berjodoh dengan laki-laki yang selama ini mengisi doa-doanya.“Makanya aku kasih waktu sampai tahun ini. Kalau belum ketemu juga, berarti kamu butuh bantuan.”“Bram.”Panggilan sang mama menghentikan perdebatan kedua kakak beradik itu.“Iya, Ma.” Bram menyahut cepat. Ia segera berdiri dan mendekati ranjang diikuti Kanaya. ‘Masih pusing, Ma?” Bram menggenggam jemari kurus sang mama.‘Sedikit.”“Ya, udah, buat tidur lagi saja. Mama harus banyak istirahat biar cepat sembuh.”Perempuan berusia 60 tahun mengangguk. Dihelanya napas dalam-dalam sembari memejamkan mata. “Nay, gimana
Baca selengkapnya
Bab 42: Diam-Diam Perhatian
“Dia bolak-balik revisi menu. Dikira ganti-ganti menu gitu cuma pakai dengkul, nggak pakai otak?”Kai muntab. Jika sudah berurusan dengan Aditya, kesabaran Kai seperti uap kopi panas ditiup angin, cepat sekali hilang dan berganti amarah.‘Nanti aku baca dulu revisi terakhir dan rancangan sebelumnya. Aku butuh amunisi untuk menyerang Om Adit.”“Terserah kamu gimana caranya, yang penting draft yang kukirim barusan, buatku sudah final. Aku tidak sudi kalau harus revisi lagi.”“Oke.” Bram menarik napas.“Semoga besok anak-anak sudah sehat. Jadi, lusa kita meeting buat mastiin final draft persiapan menyambut dua event besar itu.’Mendengar kalimat Bram, otot wajah Kai sedikit mengendur. Diusapnya rambut lalu mengambil satu kantung makanan dari mobil. “Well, gimana keadaan Tante Saras?”“Dokter masih observasi. Semoga demam biasa.”“Semoga nggak ada yang serius.’’ Kai menatap prihatin Bram. ‘Anak-anak gimana?”“Sejauh ini nggak ada masalah. Mbak Wulan selalu bisa diandalkan.”‘Syukurlah kala
Baca selengkapnya
Bab 43: Tiarap
“Polisi tidak menghentikan kasusmu.” Lelaki berkepala botak itu duduk dengan kaki kanan berada di atas paha kiri, berseberangan dengan Tuan Besar yang berdiam di atas kursi putar. Ia menjeda kalimat dengan mengisap cerutu hingga asapnya mengepul dan menutupi wajah ovalnya selama beberapa detik. “Sebaiknya kamu off sementara. Pulangkan anak-anak asuhmu. Atau pekerjakan di bar dan kelab malammu. Semua akan aman.” Off? Enteng sekali kamu bicara! Tatapan tajam Tuan Besar menembus kepulan asap cerutu, mencari-cari wajah si kepala botak yang dengan tanpa beban telah memberi usul konyol. Menutup bisnis esek-esek miliknya sama dengan kehilangan enam puluh persen penghasilan. Dia belum gila sampai-sampai harus merelakan lebih dari separuh sumber pencarian tidak beroperasi. “Demi keselamatan dan reputasimu. Aku yakin, kamu tidak ingin kehilangan nama baik, bukan?” Si kepala botak mengangkat salah satu sudut bibirnya. Nama baik adalah segalanya bagi Tuan Besar. Ia tahu bagaimana caranya mer
Baca selengkapnya
Bab 44: Awasi Seruni
Suara ketukan pintu menghentikan kecamuk pikiran Tuan Besar. Diletakkannya botol di atas meja tepat ketika seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap dengan salah satu alis terpotong memasuki perpustakaan.Tuan Besar menutup jendela dan menarik tirai. Lalu, dinyalakannya lampu dan mesin pendingin ruangan.“Tugas sudah selesai, Tuan. Siapa lagi yang harus saya bereskan?”Pria itu menghirup udara dalam-dalam. Ia selalu menyukai pertemuan di perpustakaan, menyukai bau kertas dan kayu. Seharusnya sekarang ia sedang berdiri di depan kelas atau menjadi peneliti. Namun, tragedi masa lalu telah mengubah arah hidupnya. Lalu, di sinilah ia, menjadi pembela bisnis haram.“Semua bersih?”“Saya pastikan tidak ada jejak yang tertinggal.” Lelaki itu menjawab dengan yakin kemudian menarik kedua sudut bibir ke atas. Sepasang lesung pipit tercipta ketika ia tersenyum.Tuan Besar berdiri sembari menghela napas dalam-dalam. Pandangannya tertuju pada foto keluarga yang tergantung di sisi kanan dinding perpus
Baca selengkapnya
Bab 45: Pendekatan Aditya
Seketika ruang cuci piring menjadi gaduh ketika Seruni terkulai di lantai. Mei menjerit histeris. Suaranya mengalahkan bunyi air yang menyembur melalui selang di atas wastafel. Sementara itu, Reni berteriak meminta salah satu karyawan yang kebetulan sedang berada di sana untuk mengangkat tubuh Seruni ke ruang karyawan.“Lanjutkan pekerjaanmu,” titah Reni pada Mei. Pekerjaan masih banyak dan harus segera diselesaikan. “Biar aku yang urus Seruni.” Sungguh bukan waktu yang tepat untuk pingsan. Kenapa juga kamu pingsan saat jam sibuk? “Baik, Mbak. Tapi beneran kamu nggak perlu ditemani?”Reni menggeleng. “Aku tidak ingin kita bertiga dapat masalah karena menumpuk pekerjaan,” ujarnya seraya pergi meninggalkan ruang cuci piring.Sesaat Mei menatap tubuh Reni hingga hilang di balik dinding lalu kembali menata piring kotor di atas rak kayu untuk dibersihkan. Seingat Mei, sejak pertama kali bekerja di sini, ruangan ini berkali-kali menelan korban. Hanya Seruni yang pingsan, tetapi karyawan la
Baca selengkapnya
Bab 45: Jantungku Tidak Aman
“Terima kasih, Pak. Tapi saya bisa pulang sendiri. “ Seruni memaksakan senyum.Dada Aditya berdenyar melihat senyum Seruni. Bibir tipis dengan lekuk sempurna milik gadis itu membuat laki-laki itu ingin segera menggenggam Seruni ke dalam pelukan. Sabar, Aditya. Jangan sampai rencanamu gagal karena terburu-buru. Aditya berusaha meredam gejolak dalam dirinya yang memiinta untuk segera dituntaskan.“Mari, Pak. Selamat siang.’ Seruni mengayunkan kaki meninggalkan Aditya yang masih menatapnya seperti elang hendak menangkap seekor kelinci.‘Tunggu, Seruni. Lebih baik kamu saya antar.”Seruni berbalik lalu sedikit membungkuk. “Tidak perlu, Pak, terima kasih.” Ia masih mencoba menjawaab dengan sopan sebelum berlari menjauhi Aditya.Seruni tidak bisa membayangkan apa yang akan dilakukan laki-laki itu kalau dia bersedia diantar. Bukan ingin berburuk sangka, tetapi waspada lebih baik. Meski Aditya masih bersaudara dengan Bram dan Kai, bukan berarti sifat mereka bertiga sama. Mata Aditya mengataka
Baca selengkapnya
Bab 47: Menjadi Perawat atau Juru Masak?
“Kantor polisi?” Wajah cerah Seruni mendadak berubah semuram pagi tanpa cahaya matahari. Untuk apa lagi ke kantor polisi? Ia sudah memberikan semua informasi yang diketahui, tidak ada yang tertinggal.“Kasus kamu itu belum selesai.” Bram menempelkan bibir di gelas dan meneguk jus jeruk perlahan, membiarkan rasa manis dan sedikit asam tertinggal di mulut seraya menatap paras Seruni.Gadis itu tampak manis hari ini dengan balutan tunik dan celana panjang. Dengan rambut diikat ke belakang dan poni tipis menutup dahi, Seruni benar-bernar terlihat seperti kelopak mawar baru saja merekah dihiasi embun. Segar dan menggoda untuk dipetik atau sekadar disentuh.“Saya sudah menjawab semua pertanyaan polisi, Pak. Apa masih ada yang kurang?”“Well, aku tidak tahu keterangan apa lagi yang dibutuhkan.” Bram membuka piring lalu mengedarkan pandangan ke makanan yang tersaji di meja. “Kanaya hanya menelepon kalau kamu pagi ini ditunggu Dewi di sana.”“Saya ambilkan nasinya, Pak.” Sigap Seruni mengambil
Baca selengkapnya
Bab 48: Kecelakaan
“Ya, ampun. Kamu kecelakaan di mana? Trus keadaan kamu gimana sekarang?” Dewi berseru panik. Kedua matanya melebar. Raut wajah sahabat Kanaya itu seketika berubah muram.Sembari mengusap ujung hidung, Dewi menggeser posisi, sedikit menjauhi Seruni dan Bram. Selama mendengar informasi dari seberang, raut muka perempuan itu berubah-ubah. Kadang terlihat sedih. Lalu, tampak berpikir keras dan terakhir beberapa kali kelopak matanya mengerjap. Ada yang coba ia sembunyikan dari balik bola mata cerahnya.“Oke, oke. Kita stop dulu agenda hari ini. Kita fokus ke kamu dulu. Aku segera ke sana.” Dewi menutup telepon dan kembali mendekati Seruni dan Bram yang menanti dengan wajah cemas.‘Sorry banget Mas, kita tunda dulu agenda hari ini. Lawyer kami kecelakaan.” Dewi memasukkan ponsel dan satu bendel berkas ke dalam ransel. Sebuah pulpen ia selipkan di sela kemeja.Seruni menatap takjub perempuan di hadapannya. Ada banyak hal baru yang ia dapat dari Dewi, termasuk bagaimana ia menyimpan pulpen ya
Baca selengkapnya
Bab 49: Laki-laki di Ruang Ganti
“Ada yang mau aku tanyakan ke Seruni. Penting banget.”Ekor mata Bram melirik Seruni sekilas. “Kebetulan anaknya sudah selesai kerja. Saya antar sekarang juga.”Seruni mendongak, menatap paras Bram yang tampak lelah sekaligus juga sedikit tegang. Ia mulai khawatir, sesuatu yang berat kembali menghadang langkahnya setelah sempat bahagia karena diterima menjadi asisten chef.“Apa ada masalah lagi, Pak?” tanya Seruni ketika Bram sudah menutup telepon.“Saya antar kamu ke Bethesda sebentar. Setelah itu kamu bisa pulang sendiri karena saya harus ke rumah sakit jemput Mama dan setelah itu rapat dengan dinas di pendopo propinsi.”“Saya bisa ke Bethesda sendiri, Pak.” Seruni berujar mantap. Ditatapnya Bram penuh rasa percaya diri. Ia belum tahu jalur bus ke sana, tetapi semua bisa diatasi dengan bertanya pada petugas. Tidak akan ada masalah berarti selama masih di kota. “Bapak ke rumah sakit saja jemput Nyonya.”Bram terdiam sesaat sembari jemarinya memainkan ponsel. ‘Saya antar saja. Cepat m
Baca selengkapnya
Bab 50: Manusia Paling Julid
“I-iya.” Seruni tersenyum canggung dan sedikit gugup. Hanger dalam genggaman tangannya nyaris jatuh kalau saja ia tidak buru-buru menyadari sedang berada di ruang ganti karyawan. Bersama laki-laki asing dalam ruang tertutup membuat otak Seruni tidak berfungsi selama beberapa detik.Sebenarnya, ada dua toilet untuk putra dan putri. Namun, setelah berganti baju, mereka akan berada di ruang yang sama. Semua loker karyawan ada di sana. Kebetulan mereka giliran terakhir yang berganti pakaian karena juru masak lain mengantri lebih dulu.“Senang bisa satu tim denganmu.” Ben kembali bersuara. Bibir pria itu melengkung sempurna hingga kedua matanya agak menyipit.“Saya juga.” Seruni tidak tahu harus menjawab apa. Entah mengapa Ben telah mencerabut kemampuannya merangkai kalimat. Seruni merasa dirinya pasti terlihat bodoh di hadapan Ben.‘Kita harus cepat ke dapur. Jangan sampai juru masak terlambat.”Seruni mengangguk. Ia harus sedikit mendongak agar bisa bertemu manik mata biru milik pria it
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
345678
DMCA.com Protection Status