All Chapters of SANG PENDEKAR LEMBAH NAGA : Chapter 31 - Chapter 40
162 Chapters
31. Perjalanan Menuju Lembah Naga
Dua hari kemudian ....Ramandika dan kedua kawannya sudah pergi meninggalkan desa Singkur. Ki Durga dan warga desa lainnya banyak memberikan perbekalan kepada Ramandika, berupa makanan dan minuman dan bahkan sebagian dari mereka ada yang memberikan uang kepada Ramandika.Ketika matahari sudah berada di atas kepala, Ramandika dan kedua kawannya sudah berada di sebuah desa. Mereka tengah beristirahat di sebuah warung makan. Mereka baru saja selesai makan siang, dan saat itu tengah menikmati waktu istirahat, duduk-duduk santai di beranda warung sambil berbincang-bincang santai."Apakah kita akan melanjutkan perjalanan ini hingga larut malam?" tanya Kuntala mengarahkan pandangannya ke wajah Ramandika."Tidak Kuntala, kita akan bermalam di suatu tempat dalam perjalanan jika hari sudah gelap," jawab Ramandika lirih, "Besok pagi barulah kita lanjutkan perjalanan ini. Kita akan berjalan ke selatan, melewati hutan Kalen," sambungnya."Maksudmu, hutan yang ada di ujung perbatasan?" tanya Kuntal
Read more
32. Pertarungan di Dalam Perkebunan Rempah-rempah
Ramandika menarik napas sejenak, lalu menjawab lirih, "Kalau berbahaya sebaiknya kita cari cara lain agar mereka bisa memberikan jalan. Terkecuali jika terpaksa mengharuskan kita untuk bertindak, maka bertindaklah!"Sandika dan Kuntala hanya mengangguk-angguk saja mendengarkan penuturan Ramandika sebagai tanda bahwa mereka mengerti dengan apa yang dikatakan oleh kawan mereka itu."Tapi ingat, kita melawan hanya untuk mengelabui mereka saja, setelah ada celah untuk kabur, maka kita harus lari menghindari mereka. Karena tidak mungkin kita terus melawan mereka yang berjumlah banyak," kata Ramandika melanjutkan perkataannya."Kenapa harus kabur? Apakah kau tidak yakin dengan khodam yang ada dalam pedang pusakamu itu?" tanya Sandika menatap wajah Ramandika."Bukan masalah percaya atau tidaknya akan kekuatan gaib yang ada di dalam pedangku. Seperti yang aku ketahui bahwa khodam pedang ini hanya akan keluar jika aku menderita saja, dia akan menolong di waktu-waktu tertentu saja," jawab Raman
Read more
33. Kebaikan Ki Jenang
Mendengar seruan Ki Jenang, Sonda dan Karba langsung menghentikan serangannya. Mereka mundur beberapa langkah ke belakang, demikian juga dengan Ramandika.Ki Jenang yang sudah berada di tengah-tengah kedua belah pihak langsung memarahi Sonda dan Karba."Sikap kalian sungguh tidak terpuji, apa salah mereka melewati jalur ini?" "Mohon maaf, Ki. Kami rasa ... mereka ini adalah para pencuri yang sengaja memasuki perkebunan ini," jawab Sonda tetap teguh dengan dugaannya."Apakah kau yakin dan sudah memiliki bukti atas tuduhanmu itu?" tanya Ki Jenang.Sonda dan Karba hanya terdiam saja, mereka tidak berani menjawab pertanyaan pria paruh baya itu. Apa yang dikatakan oleh Ki Jenang memang benar bahwa mereka tidak memiliki bukti kuat menuduh Ramandika dan kedua kawannya sebagai pencuri.Melihat sikap kedua anak buahnya yang diam saja, Ki Jenang hanya tersenyum saja. Lalu berpaling ke arah Ramandika dan kedua kawannya.Bertanyalah ia, "Tolong jelaskan apa maksud kalian memasuki perkebunan ini?
Read more
34. Kuntala Diserang Pria Tidak Dikenal
Ketiga pemuda itu kembali melanjutkan perjalanan mereka memasuki sebuah desa kecil yang ada di ujung timur wilayah kerajaan Dongkala.Mereka hanya beristirahat sebentar saja di desa tersebut. Mereka khawatir ada prajurit yang menghampiri mereka, karena pada saat itu, di desa tersebut tengah berlangsung pesta rakyat yang dikawal ketat oleh para prajurit dari kademangan."Kenapa kita tidak beristirahat di desa yang tadi, Ramandika?" tanya Kuntala dengan bercucuran peluh di keningnya."Kau tidak melihat di sana banyak prajurit kerajaan Dongkala?" Ramandika balas bertanya sambil menatap wajah Kuntala yang sudah duduk bersandar pada pohon besar yang ada di pinggir jalan tersebut. "Mereka akan mencurigai kita jika kita berhenti di desa itu," sambung Ramandika."Lantas, apakah tempat yang kita tuju masih jauh?" tanya Kuntala lagi."Kau lihat itu!" desis Ramandika menudingkan jari telunjuknya ke arah bukit yang ada di sebelah selatan dari posisinya berdiri."Bukit apa itu Ramandika? Indah sek
Read more
35. Narasoma Sang Penjaga Hutan
Kuntala sudah tidak berdaya lagi, ia tidak bisa melakukan perlawanan sedikit pun, karena tubuhnya dihimpit tubuh kekar pria tersebut."Maafkan aku Ki Sanak. Aku berburu hanya untuk makan aku dan kedua kawanku saja, tak ada maksud lain selain itu, dan aku tidak tahu jika rusa yang aku bunuh baru saja melahirkan."Mendengar perkataan Kuntala, amarah yang ada pada diri pria itu sedikit menurun. Cengkraman tangannya seketika ia lepaskan, kemudian dia bangkit.Pria itu menarik napas dalam-dalam. Dua bola matanya terus menatap ke arah Kuntala. "Kau aku maafkan. Tapi ingat, jangan sampai hal seperti ini kau ulangi lagi!" kata pria itu memberikan peringatan, "Aku Narasoma, semenjak kecil aku terlahir di dalam hutan ini. Semua binatang yang ada di hutan ini adalah saudaraku, aku benci kepada manusia yang berani menyakiti mereka!" sambungnya langsung melangkah meraih rusa yang tergeletak di atas tanah.Dia mencabut bambu runcing yang menancap di leher rusa tersebut. Aneh sekali, hanya dengan se
Read more
36. Perbincangan Ki Ageng Penggir dengan Bisama
Kuntala mengangguk sebagai isyarat bahwa dirinya paham dengan apa yang dikatakan oleh Ramandika."Aku rasa, orang itu tidak bermaksud jahat. Tapi, justru kau yang dianggap jahat karena sudah memburu rusa di hutan ini," kata Sandika berkesimpulan."Benar, Sandika. Aku juga memahaminya, kemungkinan besar tidak akan terjadi hal buruk menimpaku, jika aku tidak berburu rusa sembarangan," tanggap Kuntala sangat mengerti dengan apa yang sudah diungkapkan oleh Sandika."Hutan ini dari dulu memiliki banyak misteri. Kata pamanku, hutan ini memiliki penjaga, entahlah penjaganya itu bangsa manusia atau bangsa halus, karena kehadirannya sangat misterius," ungkap Ramandika.Setelah lama berbincang-bincang, Ramandika bangkit dan langsung mengumpulkan kayu kering yang hendak ia bakar karena hari sudah mulai gelap."Mudah-mudahan saja malam ini tidak turun hujan," desis Ramandika.Malam itu, mereka hanya memakan pisang setengah tua yang mereka dapatkan dari belakang saung, pisang tersebut mereka bakar
Read more
37. Pesta Kecil Menyambut Kedatangan Ramandika
Ki Ageng Penggir tersenyum lebar, lalu menjawab pertanyaan murid seniornya itu, "Banyak sekali kesamaan antara aku dengan Ramandika, salah satunya adalah dia memiliki dratumba atau titisan. Tentu kau tidak akan tahu apa yang menitis dalam diri Ramandika dan juga dalam diriku, karena keduanya sama."'Apa yang dikatakan oleh guru memang benar, aku sendiri merasakan hal itu. dratumba dari roh suci ada pada diri guru dan juga Ramandika,' kata Bisama dalam hati.Meskipun dirinya sudah mengetahui bahwa ada tanda-tanda dratumba dalam diri Ramandika dan juga dalam diri sang guru. Bisama tidak berani mengungkapkannya, ia takut salah jika mengatakannya di hadapan Ki Ageng Penggir."Warmala tidak mungkin menyerahkan pedang pusaka berusia ratusan tahun kepada Ramandika secara cuma-cuma, jika dirinya tidak yakin kalau Ramandika itu mampu merawat pusaka tersebut," imbuh Ki Ageng Penggir."Benar, Guru. Apa yang Guru katakan itu memang sesuai fakta," kata Bisama yakin dengan ucapan gurunya.Sejatinya
Read more
38. Ramandika Diajak ke Lembah Naga
Ki Ageng Penggir hanya tersenyum saja dalam menanggapi pertanyaan Ramandika. Tentu hal tersebut membuat Ramandika semakin penasaran saja.Karena belum mendapatkan jawaban yang pasti dari sang guru, maka Ramandika pun memberanikan diri untuk bertanya lagi, "Mohon maaf, Guru. Jika bukan Guru, lantas siapa yang akan mengajari aku jurus pamungkas itu?""Nanti kau akan tahu sendiri, sekarang kau makan saja dulu! Nanti sekitar tengah malam, kita akan pergi ke Lembah Naga," jawab Ki Ageng Penggir bangkit dari duduknya.Tanpa banyak berkata lagi, ia langsung melangkah keluar dari pendapa. Pria paruh baya itu langsung berjalan menuju pondoknya yang berada di sebelah barat dari pendapa tersebut."Siapa kira-kira yang akan mengajarkan aku jurus pamungkas itu? Apakah Ki Bisama atau ada orang lain selain dia?" gumam Ramandika penuh rasa penasaran."Ramandika!" teriak Sena dari halaman padepokan tempat ia berkumpul dengan murid-murid Padepokan Lembah Naga.Ramandika berpaling ke arah sahabatnya itu
Read more
39. Ritual di Lembah Naga
Ramandika dan kawan-kawannya hanya mengangguk-anggukkan kepala saja, mereka sangat paham dengan apa yang dituturkan oleh guru mereka.Terlebih lagi Ramandika dan Sena, mereka tentu berpikiran sama seperti apa yang dipikirkan oleh guru mereka, karena keluarnya Dendaka dan Somala dari padepokan tersebut tidak secara baik-baik, mereka diusir karena sudah melakukan tindakan tidak terpuji terhadap Ramandika.Dengan demikian, mereka pun berpikir bahwa Dendaka dan Somala suatu saat nanti akan melakukan balas dendam kepada pihak Padepokan Lembah Naga.Setelah hampir beberapa jam lamanya mereka berbincang-bincang, maka Ki Ageng Penggir pun langsung mengakhiri perbincangan tersebut.Saat itu sudah menginjak waktu tengah malam, saatnya Ki Ageng Penggir mengajak Ramandika berangkat ke Lembah Naga sesuai yang ia rencanakan beberapa waktu lalu."Sebaiknya kalian istirahat saja!" kata Ki Ageng Penggir meluruskan pandangannya ke arah Sena, Sandika, dan Kuntala. "Aku dan Ramandika akan langsung berang
Read more
40. Bertemu dengan Orang Tua Misterius
Mendengar suara tersebut, Ramandika sedikit panik, namun ia tetap bertahan dan terus konsentrasi. Ramandika tidak mengindahkan suara itu, meskipun pada saat itu sudah hadir seorang pria berusia senja di hadapannya.Pria senja itu berdiri sambil menatap tajam ke arah Ramandika yang masih duduk bersila dengan mata terpejam."Niat kedatanganmu ke sini untuk apa, Anak muda? Jika kau tidak menyahut seruanku, maka aku akan menghajarmu!" bentaknya dengan nada tinggi.Ramandika tetap diam saja, walaupun suara orang tua itu jelas mengandung kemarahan. Dia yakin seyakin-yakinnya bahwa suara itu bagian dari godaan yang akan menggagalkan tirakatnya malam itu, sehingga dirinya memilih diam dan tidak mau meladeni ocehan orang tua yang ada di hadapannya.Melihat sikap diam yang ditunjukkan oleh Ramandika, orang tua itu semakin gusar saja. Hingga pada akhirnya, dia kembali membentak, "Anak muda! Buka matamu!"Suaranya lebih keras dari sebelumnya, bahkan terasa menyakitkan telinga Ramandika. Seperti a
Read more
PREV
123456
...
17
DMCA.com Protection Status