All Chapters of Mayat di Balik Plafon: Chapter 41 - Chapter 50
142 Chapters
41. Pengakuan Kekasih Korban
“Ngapain lo di situ!” sergah Abbiyya yang tiba-tiba muncul di ambang pintu ruangannya sendiri. Adhisti kala itu terkejut langsung sedikit segera menjauhkan tubuhnya dari meja kerja Abbiyya. “Eh, udah selesai sama pemeriksaannya sama Roger?!” tutur Adhisti berusaha menyingkirkan topik dimana ia kepergok sedang memegang meja kerja Abbiyya. “Duduk aja di sofa, Dhis! Jangan bikin para petugas di sini curiga sama lo! Termasuk gue! Ngapain lo mau buka laci gue? Itu bukan ranah lo. Jadi jangan diganggu!” tukas Abbiyya sembari berjalan mendekati Adhisti. Adhisti yang kala itu masih berada di dekat meja kerja Abbiyya hanya bisa meringis sambil sedikit merasa bersalah. “Sorry, Biy! Gue bosen duduk terus, ya udah gue liat-liat ke sini. Nemu foto lo, terus pas gue mau balik pakaian gue kesangkut ke pegangan laci lo, ya tiba-tiba gue iseng. Tapi untungnya lo kunci lacinya, hehe!” papar Adhisti. “Jangan sentuh barang apa pun di sini, Chaaya Adhisti! Tempat ini bukan tempat umum. Lo punya keunt
Read more
42. Pria Misterius dan Space Room
“Tidak! Saya pun tak peduli dengan pria itu. Entah dia orang yang saya kenal atau bukan, tapi intinya dia telah merusak hubungan saya dengan Mawar. Dan Mawar telah sangat mengecewakan saya. Karenanyalah tak ada alasan lain selain membenci keduanya,” tutur Roger. “Apakah Mawar tak pernah menjelaskan ciri-ciri pria itu? Kami sangat membutuhkan informasi ini terkait pelaku pembunuhan saudari Mawar. Oleh karena itu, jika anda mengetahui sebuah fakta tentang hal ini, tolong katakan,” sambung Abbiyya sembari menuliskan jawaban Roger pada selembar kertas catatannya. “Tidak, Mawar hanya mengatakan bahwa ia mengundang pria itu karena ada sesuatu di kamarnya yang perlu diperbaiki, dan pria itu bersedia menolongnya namun yang terjadi adalah sebaliknya. Ia merasakan kantuk dan bangun di pagi hari dengan fakta mengerikan.” Roger kini menegakkan tubuhnya lalu bersandar pada kursi itu. Abbiyya sejenak menarik napasnya sebelum memulai beberapa pertanyaan lain. Sementara itu Roger kini memiringkan
Read more
43. Kembali Menyusun Rencana
“Nah itu maksud gue, Dhis! Tapi sebelum kita pura-pura jadi pembeli, kita mesti tahu gimana caranya supaya meraka mau kasih tahu. Karena gue yakin mereka akan jaga rahasia penyewa mereka.” “Ahh, lo bener!! Gue rasa para pengurus apartemen itu nggak bakal kasih tahu mana aja, deh Biy! Kalu pun dia kasih tahu, menurut gue mereka akan kasih tahu unit kosong yang ada space roomnya! Sedangkan pasti pelaku udah sewa unit, ‘kan?” sambung Adhisti membalas pemikiran Abbiyya. Abbiyya kini masih tampak terdiam sambil memasang raut berpikir keras. Namun tiba-tiba suara pekikkan datang dari mulut Adhisti. Tangan gadis itu pun juga memukul pelan kaki Abbiyya. “Gimana kalau kita cari tahu unit apartemen gue, Biy?! Jadi kita cari space room dari kamar gue, lalu cari tahu kamar gue bisa terhubung dari mana aja! Mungkin aja ada bekas noda darah yang bakal nunjukin dari mana mayat itu di bawa?” Adhisti tampal amat bersemangat dengan apa yang ia usulkan pada Abbiyya itu. Sementara itu, Abbiyya tampak
Read more
44. Tempat Pemakaman
Abbiyya dan Adhisti segera berlari menuju pelataran parkir kantor kepolisian itu. Meskipun dengan sedikit menyeret kakinya karena takut rasa sakit akibat terkilir itu kembali muncul, Adhisti tetap mampu berlari dengan tempo yang diharapkan. “Lo kenapa juga milih Kafe Brilian sih, Biy?! Kenapa nggak warkop depan kantor polisi aja?” sergah Adhisti sembari mengenakan sabuk pengamannya. “Ya coba deh lo pikir, lo keluar dari pagi buat pemeriksaan terus sampe siang nyaris sore gini lo tetep betah di warkop? Aneh, Dhis! Dan satu-satunya kafe yang cukup menarik menurut gue ya Cafe Brilian. Dengan begitu Rafa akan sedikit nggak curiga sama lo!” papar Abbiyya sambil memutar stir mobilnya usai selesai menautkan sabut pengaman. Tak tunggu lama, akhirnya mobil itu berhasil keluar dari deretan mobil lain yang juga sedang terparkir di halaman. Abbiyya lanjut segera memacu mobilnya menurut batas tertinggi kecepatan yang diperbolehkan. “Biy, lo masih bisa lebih cepat dari ini, lho! Ini udah lima me
Read more
45. Percincangan di Samping Nisan
“Nggak, nggak papa! Tenggorokan gue kering aja!” dusta Rafa lalu langsung sedikit menjauh dari Adhisti yang kala itu memegang bahunya sebagai bentuk rasa peduli. “Makanya jangan males minum air putih! Dari dulu abah sama umah ‘kan juga udah bilang harus rajin-rajin minum sesuai standart! Eh, lo malah minum segelas sehari! Gimana nggak kering!” omel Adhisti lalu kembali menjauh dan fokus pada nisan kedua orang tuanya. “Uhk, Chaay!” panggil Rafa sambil sedikit mengelus lehernya dan menstabilkan kembali suaranya. “Hmm?” deham Adhisti tanpa menoleh ke arah Rafa melainkan membersihkan sekitar makam dari daun-daun kering yang berjatuhan. “Lo tadi ikut pemeriksaan bareng Abbiyya ‘kan? Sampai saat ini belum ada kabar kapan kita bisa balik ke apartemen kita lagi? Lama-lama gue nggak enak juga sama Rio kalau terus numpang di tempat dia.” Rafa menatap Adhisti yang masih asyik berjongkok sambil memungut daun-daun itu. Biasanya, mereka akan menghabiskan waktu nyaris satu jam hanya untuk berdi
Read more
46. Kesempatan Kedua
“Lo nggak selamanya dapat yang lo pengen, Dhis! Lo mesti siapin mental kalau yang terjadi adalah kebalikan dari keinginan lo. Bukan artinya gue mau cuek sama lo. Tapi kita nggak pernah tahu apa yang terjadi ke depan. Entah seberapa sibuknya kita atau hal lain.” “Tapi gue bakal tetap berusaha jaga lo kok. Tapi lo mesti bisa jaga diri sendiri juga. Meskipun abah nitipin lo ke gue, tapi lo mesti jadi cewek mandiri yang bisa jaga diri sendiri. Nggak selamanya gue akan ada sama lo, Chaay!” lanjut Rafa. “Kenapa lo bilang gitu? Lo mau ninggalin gue?! Lo mau pergi ke luar kota?! Lo gak bakal ninggalin gue kaya abah sama umah, ‘kan?!” Adhisti langsung bangun dari posisi berbaring pada pangkuan Rafa. Gadis itu menatap nyalang sang kakak. Napasnya berembus kasar dan degup jantungnya tiba-tiba berdegup kencang. Ingatan saat sang abah dam umah mengalami sakaratul maut kembali membuat Adhisti merasa ngeri jika harus mengalaminya lagi. Terutama sebelum kematian kedua orang tuanya itu, mereka jug
Read more
47. Cangkir Kopi Rio
“Nggak perlu! Kasih aja ke Bang Rafa! Dia yang butuh!” tolak Adhisti saat mulai menilai sarat Rio yang ia benci dalam kalimat yang baru saja pria itu tuturkan. “Nggak papa, ah! Ke Adhisti aja! Lebih enak lo kasih ke Rafa sebagai bentuk perhatian lo ke abang lo. Tunggu nanti malem ya, Dhis! Gue pergi ke kios dulu!” tutur Rio lalu langsung berjalan melewati Adhisti dengan satu kedipan mata. Seperginya Rio dari unit tersebut dan pintu unit kembali terkunci, Adhisti langsung bergaya muntah atas semua perkataan dan tindakan Rio. “Hueekk!! Jijik banget! Bisa ya ada cowok serendah Rio?! Semoga aja ntar malem Bang Rafa udah balik pas si Rio mesum itu balik! Atau gue pura-pura tidur aja kali ya?!” sergah Adhisti. Gadis itu kini berjalan ke arah meja makan dan duduk pada kursi yang tadi Rio gunakan mengopi. Hadis itu dengan cermat mengamati gelas kopi belas Rio. “Duh, kalau gue cuci ntar air liurnya bakal hilang juga ‘kan? Kalau gue salah pegang dan ketak juga bisa aja bakalan hilang! Kala
Read more
48. Setelah Semalam
Adhisti tampak menggeliatkan tubuhnya di atas ranjang sambil terus mengaduh dan menguap. Saat kesadarannya mulai berangsur kembali, ia memegang pipi kanannya sendiri lalu sejenak melamun. “Kenapa rasanya semalam ada yang cium gue ya? Masa Bang Rafa?” gumam Adhisti lalu bangkit dari kasur dan menyalakan ponselnya untuk melihat jam di sana. “Astaga!! Udah jam sembilan?! Duh, panggilan telepon dari Abbiyya juga banyak banget!! Mampus! Gue lupa kalau mesti janjian sama Abbiyya buat kasih sampel cangkir kopi si Rio!” Adhisti segera berdiri dari ranjang lalu berjongkok untuk memeriksa bawah ranjangnya. Sebuah kotak bening masih tampak ada di sana dan berisi sebuah cangkir kopi berwarna putih. Tangan Adhisti segera meraihnya lalu kembali menghembuskan napas lega tatkala cangkir kopi itu kasih tampak sama dengan awal mulanya. “Chaay!! Lo belum bangun juga?! Mau bangun jam berapa, hey!! Udah jam sembilan! Mau jadi kebo lo?!” sergah suara Rafa sembari dengan sarkas menggedor pintu kamar Adh
Read more
49. Hanya Alibi
“Pasar!” pekik Adhisti lalu secara sebarang meraih satu setel kemeja dan kaos di lemari. Gadis itu segera memeriksa kabinet juga lemari di dapur seperti seseorang yang benar-benar kelaparan. Tampak tergesa. “Tadi main ponsel, sekarang mau makan? Kenapa sih susah banget minta lo mandi, Chaay?! Ntar kalau lo gak mandi, buluk, gak ada yang mau sama lo, bisa-bisa keinginan lo buat nikah gak bakalan terjadi!” sergah Rafa sambil mengaduk kopi buatannya. “Hish, bentar doang juga! Gue cuma mau cek aja ada bahan apa, karena lo lagi libur, gue mau bikin makanan! Itung-itung hadiah gajian! Tapi tenang, uang hutang udah gue sisihin, kok!” tutur Adhisti sambil terus memeriksa semua temoat penyimpanan bahan makanan yang ada di sana. “Ya udah nanti aja masaknya, senggaknya cuci tangan, cuci muka, sama sikat gigi dulu! Mana tahu lo ditangan lo itu ada air liur lo yang ngorok pas tidur? Eh, sekarang malah pegang-pegang baham makanan,” papar Rafa kali ini dengan nada bicara yang jauh lebih lembut.
Read more
50. Tidur Nyenyak?
“Ngapain lo tanya kaya gitu?!” sergah Adhisti langsung melepaskan sutil dari tangannya dan menatap Rio dengan tatapan tajam yang penuh selidik. “Emang gue salah nanya lo tidur dengan nyenyak atau enggak? Apa itu sebuah pertanyaan vulgar yang nggak boleh seorang pria tanyakan ke orang yang dia suka?” sahut Rio santai kini malah menyandarkan tubuhnya ke meja masak. “Gak vulgar tapi aneh! Setiap yang lo tanya itu selalu bikin gue curiga!” sergah Adhisti kini memalingkan wajahnya dari Rio dan kembali fokus pada penggorengannya. Rio tampak tersenyum miring dan sejenak menyaksikan wajah ramping Adhisti dari sisi kiri. Pria itu kini melihat meja masak yang tampak sedikit berantakan dan penuh bahan makanan itu. “Lo mau bikin lumpia? Ini bahannya masih banyak mau gue bantu gulungin? Ntar lo tinggal goreng aja!” ujar Rio lalu mulai menarik lengan pakaiannya ke atas bergaya seolah hendak membantu Adhisti menggulung lumpia-lumpia itu. “Gak usah! Gak usah dipegang!” Adhisti dengan cepat menyi
Read more
PREV
1
...
34567
...
15
DMCA.com Protection Status