Semua Bab Pernikahan Tak Sempurna : Bab 11 - Bab 20
117 Bab
11. Semoga saja
"Sayang ...."Naima terlihat seperti tidak peduli akan pengkhianatan sang suami. Padahal, sebagai wanita normal pada umumnya, harusnya dia akan sangat kecewa dan sangat marah jika suaminya memiliki wanita lain di luaran sana.Namun, itu hanya yang terlihat di depan saja, tidak di dalam batinnya yang sangat tersiksa. Itu adalah cara Naima untuk memperlihatkan ketidak sukaannya pada pernikahan kedua suaminya. Dia sengaja menyepelekan ucapan Helmi. "Apa perkataan aku ada yang salah?"Naima berusaha menahan amarahnya, sepertinya hatinya sudah mulai kuat untuk merasakan kesedihan yang berlarut-larut. Sehingga dia lelah untuk menangis, dan memilih untuk sedikit menekan suaminya.Helmi memejamkan mata sejenak. "Sayang, kenapa kamu bicara seperti itu? Abang akan pulang kesini, oke .... Nanti kita bicarakan lagi, Abang buru-buru mau ke kantor." Helmi mengecup kening Naima. Pria itu pun bersiap-siap dan segera berangkat. Saat dia berpamitan, Naima bahkan tidak berniat mengantarkannya ke depan
Baca selengkapnya
12. Jangan sentuh!
***Hari sudah beranjak malam, saat ini Nara masih menemani Naima. Mereka banyak bercerita, tentang butiknya dan pelanggan setia yang menanyakan keberadaan Naima selama satu minggu ini. Sebisa mungkin, Nara membuka topik baru agar pikiran Naima teralihkan dengan hal lain, dan beban sabatnya itu sedikit lebih ringan. "Naima … kamu sudah merasa lebih baik?" "Emm, makasih, Ra. Aku sudah merasa lebih baik."Nara memeluk dan mengelus punggung sahabatnya itu. "Syukurlah … kamu harus berpikir positif, apa pun yang terjadi. Ingat kandungan kamu, butuh ketenangan. Jangan terlalu banyak berpikir." Nasehat Nara kemudian. "Tadi, untung aja Tante dan Oma nggak curiga."Naima tersenyum lucu. "Iya, aku mengerti. Perkataanmu seperti orang yang sudah berpengalaman saja," sindir Naima."Hisss, dikasih tau juga. Biar begini aku juga sering baca-baca. Apalagi sejak kehamilan kamu yang sekarang, aku lebih banyak mencari informasi di internet," terang Nara membela diri.Selain perhatian, Nara juga bisa m
Baca selengkapnya
13. Apa aku kurang mencintaimu?
***Sekuat apa pun ketegaran hati seorang wanita. Jika saatnya runtuh, maka akan jatuh juga dalam tangisan yang tak mampu lagi terbendung. Naima yakin dia kuat, dan dia harus kuat menghadapi cobaan itu. Namun, kekuatannya tentu ada batas. Naima tidam bisa selalu berdiri jika kakinya tidak lagi bisa menopang."Sayang, maafkan abang." Helmi kembali ingin mengusap air mata Naima."Aku bilang jangan sentuh!" Lagi-lagi Naima berteriak. Kali ini lebih keras, hingga suaranya terdengar nyaring."Naima … Sayang. Abang ….""Aarrgghhhh," Naima meraung memukuli dada Helmi dengan keras berkali-kali. Dia meluapkan seluruh emosinya yang tertahan.Helmi berusaha menenangkan. "Sayang, stop, hentikan!" Dia memeluk istrinya itu.Helmi yang sejak tadi berusaha menenangkan Naima, rupanya itu tak berpengaruh sama sekali. Naima masih terus meraung dan berteriak dalam dekapannya. Wanita itu bukan lagi seperti Naima yang Helmi kenal sebelumnya. Naima yang tenang, Naima yang sabar. Bahkan baru pertama kali ini
Baca selengkapnya
14. Belum menemukan titik terang
***"Nona, Nara … hahaha, gadis yang dulunya banyak ngomong, sekarang jadi pendiam." Sakti kembali tersenyum melihat wajah Nara memerah."Sebaiknya aku pergi, jika hanya jadi bahan candaan." Nara pun berdiri, sontak membuat Sakti ikut berdiri dan menahannya."Ra … tunggu." Sakti meraih tangan wanita itu. "Masa gitu aja ngambek, aku kan bercanda doang."Nara pun kembali ke tempat duduknya. Wajahnya yang cemberut ditekuk, sedikit kesal dengan godaan Sakti. "Udah, Non … jangan ngambek. Ntar cantiknya hilang loh," sengir pria itu melihat wajah cemberut Nara. "Udah, diminum tuh," ucapnya kemudian menunjuk minuman di depan Nara.Mereka pun akhirnya bisa mengobrol lebih santai. Seperti biasa, Sakti bisa mencairkan suasana. Nara mulai merasa nyaman. Pria tampan di hadapannya itu selalu bisa mencuri perhatiannya. Semula dia tidak berniat untuk menyatakan perasaannya. Takut jika Sakti akan menolak. Sekarang dia akhirnya sudah bisa tertawa lepas."Ra, sejak kapan kamu suka aku? Jangan bilang su
Baca selengkapnya
15. Helmi dan Naima
***Naima seorang wanita yang tegar. Wanita yang punya pendirian, keteguhan hati. Selalu membuat orang kagum dan terheran dengan jalan pikirannya yang berbeda dari wanita lain. Kesulitan tidak membuatnya menyerah pada keadaan. Gigih mengejar keinginannya, seperti yang orang tuanya ajarkan selama ini.Kamar tidur yang semula adalah tempat paling romantis bagi sepasang suami istri itu. Sekarang jadi tempat terpanas, tempat mereka saling meluapkan emosi. Ruangan ini menjadi saksi bisu penderitaan yang Naima alami saat ini, tempat paling menyedihkan baginya. "Acara tujuh bulanan akan diadakan seminggu lagi. Aku mau dalam dua hari ini abang harus bisa mengambil keputusan. Resikonya kedua orang tua kita bisa tahu semuanya," tutur Naima sedikit menekan. Dia mengelus lembut perutnya yang buncit.Helmi yang duduk di samping istrinya itu mulai marah. "Kamu sedang mengancam?" Wanita itu berdiri dengan cepat, pertanyaan Helmi kembali membangkitkan amarahnya. "Mengancam? Jadi, Abang sudah punya p
Baca selengkapnya
16. Aku rasa tidak
***Saat semua orang sedang terdiam menanti Sakti melanjutkan pembicaraan. Kiran merengek minta kudanya kembali berjalan."Kakek! Ayo jalan ...!" rengek batita itu manja.Empat pasang mata langsung beralih memandang ke arah Kiran. Radit mengangkat cucu kesayangannya itu dan menurunkan dari punggung Bara. "Aaahhh, Opa, kenapa udahan?" tanyanya dengan heran melihat ke arah Radit. "Kakek …!" Kiran merengek."Nanti lagi ya, Sayang. Kakek capek, Kiran main sama Tante Ita dulu ya?" Tutur Radit meminta Kiran bermain dengan pengasuhnya. "Ita!" Sang pengasuh yang berdiri tidak jauh dari mereka mendekat. "Ya, Tuan.""Bawa Kiran main kebelakang dulu, ya.""Baik, Tuan."Dengan wajah cemberut, Kiran dibawa pergi dari ruang keluarga. Dia masih belum puas bermain kuda-kudaan. Semua orang memandang dan tersenyum pada gadis kecil itu. Disertakan lambaian tangan dan ciuman jarak jauh. Sedetik kemudian semua kembali fokus pada Sakti."Jadi, apa yang mau kamu sampaikan tadi, Sakti?" Radit mulai bertany
Baca selengkapnya
17. Selalu mengganggu
***Malam ini, untuk kesekian kalinya Naima menangis sendirian. Entah berapa ribu tetes air mata yang dia tumpahkan. Apakah semua itu ada artinya? Apakah dia masih sanggup untuk menghadapi proses yang panjang ini? Naima sendiri tidak tahu apa yang akan dia hadapi besok.Sekarang, keluarga suami dan keluarganya sudah mulai bertanya-tanya. Naima tak tau harus bagaimana mengalihkan perhatian mereka semua. Dia terpaksa berbohong untuk menutupi kebohongan Helmi.Tiba-tiba pintu kamar diketuk."Nyonya … Ini saya Bik Siti." "Iya, sebentar, Bik!" Naima pun segera bangun dan membukakan pintu. "Iya, Bik. Kenapa?""Ini makan malamnya, tadi Tuan menyuruh saya nganter makanan Nyonya ke kamar Kiran.""Emm, ya sudah, taruh di dalam saja, Bi.""Baik, Nyonya."Setelah sang asisten meletakkan nampan dan makanan itu di meja, Naima kembali berjalan ke arah tempat tidur.Naima hanya berniat kembali membaringkan tubuhnya di ranjang. Dia telah kehilangan napsu makannya. Ketika Naima hendak bersandar, dia m
Baca selengkapnya
18. Perumahan mewah
***Di meja makan sudah terhidang beberapa jenis makanan. Bi Siti yang telah sibuk dari subuh untuk menyiapkan sarapan untuk majikannya, lengkap dengan buah-buahan dan minuman hangat. Tampak Naima menuruni anak tangga secara perlahan dan langsung menuju meja makan. "Selamat pagi, Nyonya," sapa Siti dan Imah secara bersamaan. Kedua asisten rumah tangga itu sibuk dengan pekerjaan masing-masing."Selamat Pagi," jawab Naima dengan senyum kecil. "Ini sudah semua, Bi?""Kurang susu, Nyonya. Ini baru saja selesai." Sang asisten menghampiri dan meletakkan susu khusus ibu hamil di meja Naima."Terima kasih, Bi Siti.""Sama-sama, Nyonya."Naima pun duduk di tempatnya. Dia menunggu Helmi untuk sarapan bersama, sesuai permintaan suaminya itu tadi. Beberapa menit kemudian Helmi datang sambil tersenyum menghampirinya. Kening Naima di kecup sesaat, lalu duduk di seberang sang istri berada."Yuk, sarapan!" Ajak Helmi seraya tersenyum. Lalu pria itu berdiri dan mengambil piring yang ada di depan Naim
Baca selengkapnya
19. meminta keadilan
***Rasanya darah berdesir hebat, Naima menahan gejolak hatinya. Air matanya ditahan agar tidak jatuh. Marah, kecewa, benci, dan tidak percaya dengan sang suami. Dunia seakan tidak lagi memihak padanya. Helmi tersadar dengan perbuatannya barusan. Tidak seharusnya membentak istrinya seperti itu. "Sayang, maaf. Abang tidak sengaja." Helmi menatap wajah sang istri yang menghindari tatapannya. "Jalan saja, Bang. Biar cepat selesai urusan kita." Pria itu membuang napas berat. Dia pun menjalankan kembali mobilnya. Setelah lima ratus meter dari posisi awal, mobil itu akhirnya masuk ke pekarangan sebuah rumah. Helmi memarkirkan mobilnya. Sekali lagi dia melirik Naima yang diam tertunduk. Entah apa yang istrinya itu pikirkan."Sayang, Abang mau tanya sekali lagi. Kamu yakin mau masuk?""Iya," jawab Naima singkat."Naima, Sayang?""Turun, Bang." Ketika Naima hendak membuka pintu. Tiba-tiba seorang wanita datang mendekat. "Istri kamu datang, Bang."Karena kaca mobil Naima tidak tembus pandang
Baca selengkapnya
20. Ketakutan
***"Aaaa … auuu," rintih Naima merasakan perih di perut, sekaligus pergelangan tangannya."Ma, hati-hati … istri saya sedang hamil besar!" cegah Helmi merasa khawatir, berusaha menahan paksaan dari mertuanya itu.Sriyani tidak peduli, dia terus menyeret Naima hingga di depan pintu. Helmi pun ikut keluar sambil memegangi pundak istrinya."Saya, tidak peduli! Pergi kalian dari sini. Dan ingat perkataan saya tadi, Helmi!" Sriyani menunjuk ke arah Helmi, lalu pintu itu di banting.Naima langsung syok, perlakuan kasar yang dia terima sangat tidak dia duga. Kemarahan yang tertahan seakan ingin meledak saat itu juga. Tapi sakit yang dia rasakan kini mampu menutupi kekesalannya. Tangan Naima tidak lepas dari perut, menahan agar rasa sakit itu segera menghilang. Helmi pun menyadarinya. "Sayang, kamu baik-baik saja?" Dia tampak mulai khawatir.Naima tidak menjawab. Sedetik, dua detik, tiga detik, Naima menahan hingga rasa sakit itu hilang. Di sela rintihan kecil, dia menjawab, "Aku baik-baik
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
12
DMCA.com Protection Status