***"Nona, Nara … hahaha, gadis yang dulunya banyak ngomong, sekarang jadi pendiam." Sakti kembali tersenyum melihat wajah Nara memerah."Sebaiknya aku pergi, jika hanya jadi bahan candaan." Nara pun berdiri, sontak membuat Sakti ikut berdiri dan menahannya."Ra … tunggu." Sakti meraih tangan wanita itu. "Masa gitu aja ngambek, aku kan bercanda doang."Nara pun kembali ke tempat duduknya. Wajahnya yang cemberut ditekuk, sedikit kesal dengan godaan Sakti. "Udah, Non … jangan ngambek. Ntar cantiknya hilang loh," sengir pria itu melihat wajah cemberut Nara. "Udah, diminum tuh," ucapnya kemudian menunjuk minuman di depan Nara.Mereka pun akhirnya bisa mengobrol lebih santai. Seperti biasa, Sakti bisa mencairkan suasana. Nara mulai merasa nyaman. Pria tampan di hadapannya itu selalu bisa mencuri perhatiannya. Semula dia tidak berniat untuk menyatakan perasaannya. Takut jika Sakti akan menolak. Sekarang dia akhirnya sudah bisa tertawa lepas."Ra, sejak kapan kamu suka aku? Jangan bilang su
***Naima seorang wanita yang tegar. Wanita yang punya pendirian, keteguhan hati. Selalu membuat orang kagum dan terheran dengan jalan pikirannya yang berbeda dari wanita lain. Kesulitan tidak membuatnya menyerah pada keadaan. Gigih mengejar keinginannya, seperti yang orang tuanya ajarkan selama ini.Kamar tidur yang semula adalah tempat paling romantis bagi sepasang suami istri itu. Sekarang jadi tempat terpanas, tempat mereka saling meluapkan emosi. Ruangan ini menjadi saksi bisu penderitaan yang Naima alami saat ini, tempat paling menyedihkan baginya. "Acara tujuh bulanan akan diadakan seminggu lagi. Aku mau dalam dua hari ini abang harus bisa mengambil keputusan. Resikonya kedua orang tua kita bisa tahu semuanya," tutur Naima sedikit menekan. Dia mengelus lembut perutnya yang buncit.Helmi yang duduk di samping istrinya itu mulai marah. "Kamu sedang mengancam?" Wanita itu berdiri dengan cepat, pertanyaan Helmi kembali membangkitkan amarahnya. "Mengancam? Jadi, Abang sudah punya p
***Saat semua orang sedang terdiam menanti Sakti melanjutkan pembicaraan. Kiran merengek minta kudanya kembali berjalan."Kakek! Ayo jalan ...!" rengek batita itu manja.Empat pasang mata langsung beralih memandang ke arah Kiran. Radit mengangkat cucu kesayangannya itu dan menurunkan dari punggung Bara. "Aaahhh, Opa, kenapa udahan?" tanyanya dengan heran melihat ke arah Radit. "Kakek …!" Kiran merengek."Nanti lagi ya, Sayang. Kakek capek, Kiran main sama Tante Ita dulu ya?" Tutur Radit meminta Kiran bermain dengan pengasuhnya. "Ita!" Sang pengasuh yang berdiri tidak jauh dari mereka mendekat. "Ya, Tuan.""Bawa Kiran main kebelakang dulu, ya.""Baik, Tuan."Dengan wajah cemberut, Kiran dibawa pergi dari ruang keluarga. Dia masih belum puas bermain kuda-kudaan. Semua orang memandang dan tersenyum pada gadis kecil itu. Disertakan lambaian tangan dan ciuman jarak jauh. Sedetik kemudian semua kembali fokus pada Sakti."Jadi, apa yang mau kamu sampaikan tadi, Sakti?" Radit mulai bertany
***Malam ini, untuk kesekian kalinya Naima menangis sendirian. Entah berapa ribu tetes air mata yang dia tumpahkan. Apakah semua itu ada artinya? Apakah dia masih sanggup untuk menghadapi proses yang panjang ini? Naima sendiri tidak tahu apa yang akan dia hadapi besok.Sekarang, keluarga suami dan keluarganya sudah mulai bertanya-tanya. Naima tak tau harus bagaimana mengalihkan perhatian mereka semua. Dia terpaksa berbohong untuk menutupi kebohongan Helmi.Tiba-tiba pintu kamar diketuk."Nyonya … Ini saya Bik Siti." "Iya, sebentar, Bik!" Naima pun segera bangun dan membukakan pintu. "Iya, Bik. Kenapa?""Ini makan malamnya, tadi Tuan menyuruh saya nganter makanan Nyonya ke kamar Kiran.""Emm, ya sudah, taruh di dalam saja, Bi.""Baik, Nyonya."Setelah sang asisten meletakkan nampan dan makanan itu di meja, Naima kembali berjalan ke arah tempat tidur.Naima hanya berniat kembali membaringkan tubuhnya di ranjang. Dia telah kehilangan napsu makannya. Ketika Naima hendak bersandar, dia m
***Di meja makan sudah terhidang beberapa jenis makanan. Bi Siti yang telah sibuk dari subuh untuk menyiapkan sarapan untuk majikannya, lengkap dengan buah-buahan dan minuman hangat. Tampak Naima menuruni anak tangga secara perlahan dan langsung menuju meja makan. "Selamat pagi, Nyonya," sapa Siti dan Imah secara bersamaan. Kedua asisten rumah tangga itu sibuk dengan pekerjaan masing-masing."Selamat Pagi," jawab Naima dengan senyum kecil. "Ini sudah semua, Bi?""Kurang susu, Nyonya. Ini baru saja selesai." Sang asisten menghampiri dan meletakkan susu khusus ibu hamil di meja Naima."Terima kasih, Bi Siti.""Sama-sama, Nyonya."Naima pun duduk di tempatnya. Dia menunggu Helmi untuk sarapan bersama, sesuai permintaan suaminya itu tadi. Beberapa menit kemudian Helmi datang sambil tersenyum menghampirinya. Kening Naima di kecup sesaat, lalu duduk di seberang sang istri berada."Yuk, sarapan!" Ajak Helmi seraya tersenyum. Lalu pria itu berdiri dan mengambil piring yang ada di depan Naim
***Rasanya darah berdesir hebat, Naima menahan gejolak hatinya. Air matanya ditahan agar tidak jatuh. Marah, kecewa, benci, dan tidak percaya dengan sang suami. Dunia seakan tidak lagi memihak padanya. Helmi tersadar dengan perbuatannya barusan. Tidak seharusnya membentak istrinya seperti itu. "Sayang, maaf. Abang tidak sengaja." Helmi menatap wajah sang istri yang menghindari tatapannya. "Jalan saja, Bang. Biar cepat selesai urusan kita." Pria itu membuang napas berat. Dia pun menjalankan kembali mobilnya. Setelah lima ratus meter dari posisi awal, mobil itu akhirnya masuk ke pekarangan sebuah rumah. Helmi memarkirkan mobilnya. Sekali lagi dia melirik Naima yang diam tertunduk. Entah apa yang istrinya itu pikirkan."Sayang, Abang mau tanya sekali lagi. Kamu yakin mau masuk?""Iya," jawab Naima singkat."Naima, Sayang?""Turun, Bang." Ketika Naima hendak membuka pintu. Tiba-tiba seorang wanita datang mendekat. "Istri kamu datang, Bang."Karena kaca mobil Naima tidak tembus pandang
***"Aaaa … auuu," rintih Naima merasakan perih di perut, sekaligus pergelangan tangannya."Ma, hati-hati … istri saya sedang hamil besar!" cegah Helmi merasa khawatir, berusaha menahan paksaan dari mertuanya itu.Sriyani tidak peduli, dia terus menyeret Naima hingga di depan pintu. Helmi pun ikut keluar sambil memegangi pundak istrinya."Saya, tidak peduli! Pergi kalian dari sini. Dan ingat perkataan saya tadi, Helmi!" Sriyani menunjuk ke arah Helmi, lalu pintu itu di banting.Naima langsung syok, perlakuan kasar yang dia terima sangat tidak dia duga. Kemarahan yang tertahan seakan ingin meledak saat itu juga. Tapi sakit yang dia rasakan kini mampu menutupi kekesalannya. Tangan Naima tidak lepas dari perut, menahan agar rasa sakit itu segera menghilang. Helmi pun menyadarinya. "Sayang, kamu baik-baik saja?" Dia tampak mulai khawatir.Naima tidak menjawab. Sedetik, dua detik, tiga detik, Naima menahan hingga rasa sakit itu hilang. Di sela rintihan kecil, dia menjawab, "Aku baik-baik
***Dokter sedang melakukan pemeriksaan. Helmi yang mondar mandir di depan ruang UGD, kelihatan sangat takut. Berkali-kali dia mengusap wajahnya, menengadah ke langit-langit. Duduk tak tenang, berdiri juga tak mau diam. Dalam hatinya dia terus berdoa, agar tidak terjadi apa-apa dengan istri dan anaknya. Pintu ruang UGD tiba-tiba terbuka, Helmi lantas berhambur ke depan pintu. Tepat saat seorang dokter keluar, Helmi mendesaknya."Dokter, bagaimana istri saya?" tanya Helmi khawatir. Wajahnya sudah terlihat pucat, cemas akan jawaban yang akan Dokter itu sampaikan. "Anak dalam kandungan istri saya bagaimana, Dokter?""Saya langsung saja ke intinya, Pak. Kami harus segera melakukan operasi caesar pada istri bapak. Istri bapak mengalami pendarahan cukup banyak, dan kondisi janin bisa tidak tertolong jika kami tidak melakukan operasi tersebut. Kami harus meminta persetujuan terlebih dahulu pada, Bapak.""Lakukan saja, Dokter. Tolong selamatkan istri dan anak saya." Dokter menghela napas pa