***Malam ini, untuk kesekian kalinya Naima menangis sendirian. Entah berapa ribu tetes air mata yang dia tumpahkan. Apakah semua itu ada artinya? Apakah dia masih sanggup untuk menghadapi proses yang panjang ini? Naima sendiri tidak tahu apa yang akan dia hadapi besok.Sekarang, keluarga suami dan keluarganya sudah mulai bertanya-tanya. Naima tak tau harus bagaimana mengalihkan perhatian mereka semua. Dia terpaksa berbohong untuk menutupi kebohongan Helmi.Tiba-tiba pintu kamar diketuk."Nyonya … Ini saya Bik Siti." "Iya, sebentar, Bik!" Naima pun segera bangun dan membukakan pintu. "Iya, Bik. Kenapa?""Ini makan malamnya, tadi Tuan menyuruh saya nganter makanan Nyonya ke kamar Kiran.""Emm, ya sudah, taruh di dalam saja, Bi.""Baik, Nyonya."Setelah sang asisten meletakkan nampan dan makanan itu di meja, Naima kembali berjalan ke arah tempat tidur.Naima hanya berniat kembali membaringkan tubuhnya di ranjang. Dia telah kehilangan napsu makannya. Ketika Naima hendak bersandar, dia m
***Di meja makan sudah terhidang beberapa jenis makanan. Bi Siti yang telah sibuk dari subuh untuk menyiapkan sarapan untuk majikannya, lengkap dengan buah-buahan dan minuman hangat. Tampak Naima menuruni anak tangga secara perlahan dan langsung menuju meja makan. "Selamat pagi, Nyonya," sapa Siti dan Imah secara bersamaan. Kedua asisten rumah tangga itu sibuk dengan pekerjaan masing-masing."Selamat Pagi," jawab Naima dengan senyum kecil. "Ini sudah semua, Bi?""Kurang susu, Nyonya. Ini baru saja selesai." Sang asisten menghampiri dan meletakkan susu khusus ibu hamil di meja Naima."Terima kasih, Bi Siti.""Sama-sama, Nyonya."Naima pun duduk di tempatnya. Dia menunggu Helmi untuk sarapan bersama, sesuai permintaan suaminya itu tadi. Beberapa menit kemudian Helmi datang sambil tersenyum menghampirinya. Kening Naima di kecup sesaat, lalu duduk di seberang sang istri berada."Yuk, sarapan!" Ajak Helmi seraya tersenyum. Lalu pria itu berdiri dan mengambil piring yang ada di depan Naim
***Rasanya darah berdesir hebat, Naima menahan gejolak hatinya. Air matanya ditahan agar tidak jatuh. Marah, kecewa, benci, dan tidak percaya dengan sang suami. Dunia seakan tidak lagi memihak padanya. Helmi tersadar dengan perbuatannya barusan. Tidak seharusnya membentak istrinya seperti itu. "Sayang, maaf. Abang tidak sengaja." Helmi menatap wajah sang istri yang menghindari tatapannya. "Jalan saja, Bang. Biar cepat selesai urusan kita." Pria itu membuang napas berat. Dia pun menjalankan kembali mobilnya. Setelah lima ratus meter dari posisi awal, mobil itu akhirnya masuk ke pekarangan sebuah rumah. Helmi memarkirkan mobilnya. Sekali lagi dia melirik Naima yang diam tertunduk. Entah apa yang istrinya itu pikirkan."Sayang, Abang mau tanya sekali lagi. Kamu yakin mau masuk?""Iya," jawab Naima singkat."Naima, Sayang?""Turun, Bang." Ketika Naima hendak membuka pintu. Tiba-tiba seorang wanita datang mendekat. "Istri kamu datang, Bang."Karena kaca mobil Naima tidak tembus pandang
***"Aaaa … auuu," rintih Naima merasakan perih di perut, sekaligus pergelangan tangannya."Ma, hati-hati … istri saya sedang hamil besar!" cegah Helmi merasa khawatir, berusaha menahan paksaan dari mertuanya itu.Sriyani tidak peduli, dia terus menyeret Naima hingga di depan pintu. Helmi pun ikut keluar sambil memegangi pundak istrinya."Saya, tidak peduli! Pergi kalian dari sini. Dan ingat perkataan saya tadi, Helmi!" Sriyani menunjuk ke arah Helmi, lalu pintu itu di banting.Naima langsung syok, perlakuan kasar yang dia terima sangat tidak dia duga. Kemarahan yang tertahan seakan ingin meledak saat itu juga. Tapi sakit yang dia rasakan kini mampu menutupi kekesalannya. Tangan Naima tidak lepas dari perut, menahan agar rasa sakit itu segera menghilang. Helmi pun menyadarinya. "Sayang, kamu baik-baik saja?" Dia tampak mulai khawatir.Naima tidak menjawab. Sedetik, dua detik, tiga detik, Naima menahan hingga rasa sakit itu hilang. Di sela rintihan kecil, dia menjawab, "Aku baik-baik
***Dokter sedang melakukan pemeriksaan. Helmi yang mondar mandir di depan ruang UGD, kelihatan sangat takut. Berkali-kali dia mengusap wajahnya, menengadah ke langit-langit. Duduk tak tenang, berdiri juga tak mau diam. Dalam hatinya dia terus berdoa, agar tidak terjadi apa-apa dengan istri dan anaknya. Pintu ruang UGD tiba-tiba terbuka, Helmi lantas berhambur ke depan pintu. Tepat saat seorang dokter keluar, Helmi mendesaknya."Dokter, bagaimana istri saya?" tanya Helmi khawatir. Wajahnya sudah terlihat pucat, cemas akan jawaban yang akan Dokter itu sampaikan. "Anak dalam kandungan istri saya bagaimana, Dokter?""Saya langsung saja ke intinya, Pak. Kami harus segera melakukan operasi caesar pada istri bapak. Istri bapak mengalami pendarahan cukup banyak, dan kondisi janin bisa tidak tertolong jika kami tidak melakukan operasi tersebut. Kami harus meminta persetujuan terlebih dahulu pada, Bapak.""Lakukan saja, Dokter. Tolong selamatkan istri dan anak saya." Dokter menghela napas pa
***Semua orang telah diam di tempat duduknya masing-masing. Tidak ada lagi keributan. Mereka hanya saling menguatkan. Saling mengucapkan kata-kata agar tetap tenang. Rinjani yang sedari tadi berpelukan dengan Andita. Bara dan Radit duduk berdampingan, tepat di sebelah Jani duduk. Sakti yang bersandar tepat di dekat pintu ruang operasi. Sedangkan Helmi juga duduk bersandar di pintu itu, tapi di sisi yang lainnya. Mereka dengan sabar menunggu. Berharap semua baik-baik saja dan Naima keluar dengan selamat. Begitupun juga dengan bayinya.Sesekali Sakti menatap tajam ke arah Helmi yang tertunduk. Dia benar-benar tidak bisa menahan diri lagi. Sakti harus mencari tahu kebenaran yang sebenarnya. Informasi terakhir, sudah sangat membuatnya yakin bahwa ada yang tidak beres dengan Helmi dan adiknya.Kemudian dia teringat Nara dan langsung mengirim pesan pada wanita itu. Hanya pengakuan Nara yang dia butuhkan, kali ini Sakti harus memaksa, agar kekasihnya itu mau membagi informasi. Karena, suda
***"Tolong!" Kepanikan terjadi, dia terus berteriak dan menangis.Nara sangat ketakutan, dia tidak tahu harus berbuat apa. Tidak ada tanda-tanda orang berlalu lalang di luar sana. Nara bersandar dan menangis di depan pintu. Sesekali dia masih memukul pintu itu, dengan lemah."Tolong! Siapa pun, tolong!" Lalu Nara terkejut mendengar suara dari arah atas. Tempat itu sedikit gelap, dia tidak dapat melihat dengan jelas. Nara semakin ketakutan, dia menggigil, menyembunyikan wajah, memangku tubuhnya.Hingga akhirnya, pintu itu tiba-tiba terbuka. Dan seseorang merengkuhnya. "Aaaaa … Aaaa!" Nara yang sudah ketakutan berteriak sekencang mungkin. Mendorong tubuh orang yang memeluknya."Sssttt, Ra … Nara! Ini aku!" Teriakan orang itu hingga membuat Nara diam. Sesaat wanita itu melihat wajah pria yang memeluknya. Nara pun merasa lega, karena ternyata Sakti yang datang, dia lantas merangkul, mengeratkan pelukan itu. Meluapkan rasa ketakutan yang tadi sempat membuatnya nyaris pingsan. Dia menan
***Keesokan harinya, Naima sudah sadarkan diri. Dan dia juga telah dipindahkan ke kamar yang lebih besar. Semua anggota keluarga juga telah datang mengunjungi Naima. Perasaan sedih dan bahagia bercampur dalam setiap ekspresi wajah mereka. Bahagia karena melihat Naima dan bayinya selamat. Sedih karena Naima harus melahirkan dengan kondisi seperti ini.Walaupun begitu, semua orang masih memperlihatkan senyum di hadapan Naima. Memeluk dan memberi selamat, serta ucapan terima kasih karena sudah kuat dan bertahan. Radit dan Rinjani yang berdiri di sisi kanan Naima. Bara dan Andita di sisi kirinya. Sakti, Nara dan Maharani berdiri di depan Naima. Mereka menunjukan senyum terbaik, melihat Naima sibuk menciumi Kiran, putri yang sangat dirindukan.Sedangkan Helmi, dia duduk sendirian di sofa kamar itu. Dia seperti terabaikan, tak dipedulikan oleh siapa pun yang ada di sana. Tentu saja karena mereka masih marah, dan satu alasan lagi, karena Helmi sendiri juga merasa bersalah. Dia lebih memilih