All Chapters of Istri Alim untuk CEO Anti-Wanita: Chapter 71 - Chapter 80
214 Chapters
Bab 71. Peresmian Panti
"Aku Wildan, masih ingat, kan?" tanya Wildan dari telepon. "Oh iya, kita sejurusan kan, ya?" tanya Salma sengaja loudspeaker. "Iya betul. Kamu ada waktu hari ini?" tanya Wildan. "Maaf, aku sibuk," jawab Salma. "Mmm, sama laki-laki itu ya. Dia siapa sih? Kalian sudah seberapa dekat?" Salma sangat tidak suka mendengarnya. Siapa dia? Terlalu penasaran saja dengan orang lain. Papa Rahman hanya tertawa mendengarnya. Hal-hal semacam ini juga yang ingin papa Rohman hindarkan, kenapa papanya menjadikan sebuah syarat harus menikah dulu sebelum kuliah. "Dia suamiku," jawab Salma mematikan sambungan telepon dengan kesal. "Hahaha … bisa mencerna nasihat Papa?" tawa papa Rohman. "Hehe, iya Pa." Salma jadi malu mengingat waktu dulu di depan papanya. *** Akhirnya setelah beberapa hari, hari itu peresmian panti dilakukan. Semua yang akan menempati panti itu, beserta teman-teman Salma yang siap membantu juga datang. Asma juga tidak lepas dari dekat Salma. Ia ikut saja dari sebelum acara dim
Read more
Bab 72. Dipanggil Daddy Ummah
"No! Kan Asma ingin ikut beli," ucap Asma.  "Ya sudahlah, Capa ikut ke tempat pentol juga aja mendingan," ucap Salma.  Sebenarnya itu tidak beli. Karena Fariz sudah menyediakan berbagai makanan di sana. Mulai dari makanan ringan, jajanan dan juga makanan berat.  Mereka sudah bilang ke Asma kalau itu gratis. Tapi ia tetap ngeyel pokoknya beli pakai uang. Salma dan Fariz pun tidak mempermasalahkan hal tersebut.  "Asma mau yang besar apa kecil?" tanya Salma.  "Yang besar Onty, yang isi telur," jawab Asma.  Fariz iseng mencuri untuk mencium Asma karena gemas. Hasilnya Asma malah nangis karena nggak suka dicium Fariz. Anak kecil itu pun merajuk tidak mau melihat Fariz dan minta pergi dari tempat itu.  "Aaaaaah, huaaaaaaa …Onty ... Om Fariz jahat," tangis Asma dalam gendongan Salma.  
Read more
Bab 73. Mendidik Anak
"Suka main boneka. Tapi bonekaku sudah sobek," jawab 'Izzi. Salma dan Fariz tersenyum. Mereka saling berpandang dan seakan bicara melalui mata. Fariz janji akan membelikan mainan sesuai kesukaan 'Izzi maupun anak panti yang lain. Setelah acara peresmian, Salma, Fariz dan beberapa pengurus yang telah dibentuk untuk mengurus panti tersebut membantu anak-anak menuju kamarnya. Asma juga sudah terbangun dan dengan wajahnya bangun tidur yang masih sedikit mengantuk berjalan mengikuti Salma. "Asma, masih ngantuk?" tanya Salma. "Iya Onty, itu mainan apa? Main ah." Ngantuknya langsung hilang saat melihat sebagian mainan yang sudah tersedia di ruang bermain. *** "Capa, setiap anak yang tinggal di panti itu punya cerita pahit sendiri-sendiri. Salma ingin melihat mereka bahagia di jalan yang benar, Capa. Itulah kenapa Cama minta dibuatkan panti asuhan," ucap Salma. "Capa paham kok, Cama. Kamu bahagia nggak dipanggil Ummah?" tanya Fariz. "Sangat dong. Rasanya seperti belum pantas, tapi ini
Read more
Bab 74. Kurang Kerjaan Kedua Kalinya
"Maulah  Cama, ya udah yuk!" ajak Fariz langsung menggendong Salma.  "Capa duluan aja ke pantinya, entar Cama menyusul bawain kopi," ucap Salma setelah sampai dapur.  "Aku tunggu saja," ucap Fariz.  "Baiklah." Salma beranjak membuat kopi.  Sejak dulu ia iseng menaruh garam di kopinya pada saat Fariz mengawasi ujian, kini hal tersebut belum terjadi lagi. Dulu, Fariz bilangnya suka kopi asin, entahlah kalau sekarang apa yang akan Fariz katakan.  Mereka masih duduk di taman samping kopi. Salma ingin menunggu suaminya menghabiskan kopi dulu. Satu tegukan Fariz membuat menatap nanar ke istrinya.  
Read more
Bab 75. Hunaisa Aina Zaylin
"Boleh, tapi kan gak ada boxnya, kasihan kalau kena tendangan kita, gimana?" ucap Salma. "Siapa bilang tidak ada? Capa udah nyiapin kok, sudah ada di kamar sebelah," jawab Fariz. "Waaw, ya udah karena anak-anak juga sudah tidur, kita kembali ke rumah. Capa bisa gak gending bayi?" tanya Salma. "Eh, kalau sambil berjalan Capa belum lancar, hehe …" "Hahaha … ya udah sini Cama gendong." Serasa itu benar-benar anak kandung mereka. Ternyata, dengan bayi pun Fariz begitu peduli. Ia tidak jijik membersihkan kotoran Hunaisa. Ia tahu kalau ia tidak membersihkan, akan membuat Hunaisa tidak nyaman. Salma kagum dengan sikap suaminya. Dia terlihat semakin membuat Salma ingin mencubit gemas suaminya saat mengobrol dengan Hunaisa. Mereka menaruh box itu tetap satu kamar dengan mereka. Hunaisa berwajah cantik, imut dengan kulit putih kemerah-merahan dan mata khas bayi bule. Dan ternyata mengurus bayi juga perlu kesabaran super. Mereka berdua sering terbangun sesaat dari memjamkan mata. Melihat
Read more
Bab 76. Turki
"Kalau kamu nyaman, Capa ngikut saja, kamu siap?" tanya Fariz. "Insyaallah, lagian Cama kan masih lama masuk kuliah lagi. Jadi banyak waktu untuk bersama Naisa. Namun, seenaknya Hunaisa saja, b8sa di panti bisa di sini juga," jawab Salma. "Oh iya, waktu Capa dapat Naisa dari rumah sakit, identitas ayahnya bagaimana?" tanya Salma. "Itu dia, pihak rumah sakit juga tidak tahu. Karena ibunya Naisa pergi sendirian ke rumah sakit dan tidak memberi alamat apapun tentang keluarganya," jawab Fariz. "Tapi, Naisa punya tanda lahir di betisnya, siapa tahu itu bisa menjadi petunjuk," ucap Salma. "Udah-udah gak usah bahas itu dulu, tuh Naisa jadi sedih," Fariz mengelus pipi merahnya Naisa. *** Senangnya Fariz dan Salma bisa honeymoon ke Turki. Tepatnya mereka mengunjungi Pamukkale. Mereka mengunjungi Pamukkale di hari kedua. Hari pertama masih istirahat dan menghabiskan waktu di hotel. Fariz sudah beberapa kali ke Turki, tapi dengan otak yang berpikir mengurus pekerjaan. Bukan honeymoon sepe
Read more
Bab 77. Pamukkale
"Mau baju tiga dan warnanya pink, Onty," jawab Asma. "Oke Asma, Onty pasti beliin kok. Tapi sekarang harus," "Tidur, yeee baju pink. Baiklah Onty, Asma mau tidur," jawabnya penuh semangat. "Naisa kenapa? Rindu ya? Sabar Sayang, di rumah sama Oma dulu." "Iya Nais, Daddy senengin Ummah dulu di sini. Biar lebih semangat lagi entar kalau udah pulang," ucap Fariz. Naisa tersenyum dan berceloteh. Membuat mereka juga semakin rindu dengan Naisa juga yang lain. Namun, perlahan Naisa menangis dan seperti ingin bilang kalau dia ingin ikut. Salma mulai menerka-nerka keadaan tersebut. Wajah Naisa khas sekali seperti bayi bule Turki. Salma jadi berpikir apa ia ada kontak batin dengan ayahnya yang siapa tahu orang Turki. "Capa, apa Naisa kontak batin ya ingin ikut kita karena ayahnya di sini?" tanya Salma. "Hahaha …" tawa Fariz. "Kok malah ketawa sih." Salma heran. "Ngawur kamu Sayang, ya Naisa menangis tuh karena ingin bersama kita, kamu kejauhan deh mikirnya," "Eh, ini gak ngawur. Asli,
Read more
Bab 78. Nekat Saja
"Salma gak bisa dong, wkwkwk … gampang Capa!Tinggal direkam dan translate," ucap Salma. "Bener ya, translate google, awas tanya Capa!" "Oh iya, sorry Capa! Cama lupa kalau Capa bisa, ayo dong kita mendekat!" ajak Salma. Fariz pun mengikuti ajakan istrinya. Ia tidak mau istrinya merajuk di tempat ia berlibur manis itu. Mereka segera mendekati laki-laki tersebut. Ternyata mereka tidak pakai bahasa Turki maupun Inggris. Tapi, pakai bahasa Indonesia. Memang sih, perempuan hamil yang bersama laki-laki itu berwajah Indonesia. "Sayang, kamu adalah istri pertama dan terakhirku, kamu memang sangat membuatku bahagia. Aku hanya Ayah dari anak yang berada dalam rahim kamu, semoga kita terus diberi kebersamaan yang indah." Mereka malah mendengar pernyataan seperti itu. Fariz tersenyum mengejek kepada istrinya karena dugaan istrinya salah. Mereka segera melanjutkan berenda
Read more
Bab 79. Welcome To Jakarta
"Cama jadi rindu sekali dengan Hunaisa," ucap Salma. "Ehmm, rupanya Hunaisa sudah memikat kamu sekali ya, hahaha …" tawa Fariz. "Iya Capa, Cama mimpiin dia, huaaa, jadi kerasa banget kan," rengek Salma. "Capa juga rindu, Sayang. Toh, sebentar lagi kita akan pulang. Sabarlah ya, kita video call dulu, biasanya jam segini dia suka bangun mendengar orang-orang pada sholat malam," ucap Fariz. Salma mengangguk bahagia. Ternyata benar, ia sedang bangun dan dijaga oleh teman Salma yang mengurus panti yang sedang berhalangan, karena yang lain masih sholat malam. Wajah Hunaisa dengan banyak sekali ulasan senyum membuat Fariz dan Salma ingin segera menyentuh pipi gembulnya. Mereka ngobrol sekitar sepuluh menitan. "Eh, harusnya kita sholat malam dulu, Capa! Hunaisa, nanti disambung lagi ya Nak, kalau Hunaisa belum tidur. Ummah sama Daddy mau sholat malam dulu, daaaa Sayang," ucap Salma dari telepon. Mereka meskipun sedang tidak di rumahnya sendiri juga tetap menjalankan ibadah-ibadah yang b
Read more
Bab 80. Bersandar
"Ouw itu, itu tuh masuk pelajaran nahwu kalau di pesantren." "Yah, Cama kalau menjelaskan jangan pucuknya doang. Mana Capa bisa paham? Capa belum belajar seperti itu, Cama," gemas Fariz. "Hehe … iya. Mudhof itu yang bersandar, kalau mudhof ilaih yang disandari. Kebetulan, hal tersebut mirip dengan kita yang bicarain sandar menyandar tadi. Mudhof itu pula ada ketentuan supaya bisa menyandar ke mudhof ilaih. Sama dengan kita, Cama itu kalau menyandar ke Capa juga punya ketentuan," jelas Salma. "Emang apa ketentuannya untuk kamu?" "Cama sudah sah menjadi istri Capa, itulah ketentuannya. Kalau belum nikah, gak bisa asal menyandar aja. Sama dengan mudhof, kalau belum memenuhi ketentuan, juga tidak bisa menyandar ke mudhof ilaih. Jikalau ketentuan gak dipenuhi dan tetap saja menyandar, ya salah kaprah jadinya," "Ooo begitu, Capa lumayan menyesal dulu di pesantren cuma lima hari doang. Eh, tapi kan kamu sudah sah, berarti benar kan apa yang Capa bilang? Cama bebas kapan pun bersandar ke
Read more
PREV
1
...
678910
...
22
DMCA.com Protection Status