RAHASIA IBU의 모든 챕터: 챕터 51 - 챕터 60
90 챕터
Bab 51
Pak Arya meminta waktu, agar Tuan Amar bisa mempersiapkan diri. Segelas air putih diberikan padanya supaya semakin tenang. Rasanya aku ingin menghilang dari ruangan ini. Malu menghadapi kenyataan. Aku tak menyangka, pernikahan ini penuh drama dan liku. Sehelai tisu menghapus air mataku yang menetes di pipi. Mas David memintaku jangan bersedih, ketika mata kami bertemu. Ia seperti menyadari keadaanku yang telah lelah. Sorot matanya berharap aku kuat dan sabar menghadapi pernikahan ini.Setelah beberapa lama terjeda, Tuan Amar kembali mempersiapkan diri. Kedua laki-laki itu kembali bersalaman. Kegugupan jelas terlihat dari Tuan Amar yang duduk di depan kami. Aku memejamkan mata, berdoa dalam hati semoga ayah kandungku itu dapat menikahkan kami dengan lancar, hingga getaran suara Tuan Amar kembali terdengar. “Saudara David Emric Reynard bin Edward Reynard, saya nikahkan saudara dengan putri kandung saya, Wulandari Prawira, dengan mas kawin seperangkat alat salat dan perhiasan dibayar t
더 보기
Bab 52
Mas David mengangguk. Laki-laki itu berlalu, setelah aku menyetujui menemui laki-laki yang telah menikahkan kami beberapa jam yang lalu.Kupandangi wajah sendu dengan bola mata yang terlihat lelah, karena telah begitu banyak air mata yang tumpah. Menyesalkah ia mengambil keputusan ini?"Aku adalah laki-laki yang paling rugi di dunia ini,” ucapnya memulai pembicaraan. Manik cokelat itu berkaca-kaca. Laki-laki yang duduk di sofa itu memandangku lekat, menghela napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. “Aku laki-laki yang abai, bahkan tak peduli denganmu dan ibumu. Bagaimana kalian menjalani kehidupan selama 18 tahun, aku pun tak tahu."Tuan Amar menyeka air matanya yang tumpah. Setelah tenang. Ia membuka sebuah kantong yang berisi makanan yang ia bawa sebelumnya. Dipandanginya kotak makanan itu. Dengan terisak, Tuan Amar kembali berkata, “Aku tak pernah menafkahimu. Ini adalah makanan yang dibeli dari hasil keringatku sendiri, bukan harta maminya Kevin.” Tangan itu bergetar, saat m
더 보기
Bab 53
Sekian lama terpaku di meja kerja, akhirnya aku memutuskan untuk pergi. Posisi di perusahaan yang cukup tinggi membuatku bisa keluar kapan pun. Sejak semalam, hati ini tak tenang. Rasa bersalah semakin kuat menghantui. Setiap kali aku mengingatnya, rasa penyesalan datang mengoyak diri.Keputusanku sudah bulat untuk tetap menikahkan Wulan, walaupun Jovita tak setuju. Aku sudah kehilangan Sri Rahayu, perempuan pertama yang singgah di hati. Sekarang aku tak ingin kehilangan darah daging sendiri. Cukup sekali melakukan kebodohan, melepas ibu dari putriku itu. Kuparkirkan mobil agak jauh dari bangunan bertingkat yang menjadi distributor beras untuk kota ini. Dulu, pertama kali menginjakkan kaki di sini, aku bekerja sebagai kuli panggul dengan upah berdasarkan banyaknya beras yang diangkut.Rupiah demi rupiah aku kumpulkan, dan memilih tinggal dikontrakan sempit bersama tiga orang rekanku yang berasal dari desa yang sama. Setiap malam, kami akan menghitung lembaran-lembaran rupiah yang did
더 보기
Bab 54
Langkahku terhenti di anak tangga. Aku berbalik menatapnya, dengan air mata yang tumpah. Bukan karena jatuh miskin, tetapi terkuaknya siapa perempuan yang aku nikahi 18 tahun silam. Inikah balasannya, setelah aku memberinya kebahagiaan, kesetiaan, dan cinta? Hanya sehari waktu yang kuminta untuk menjadi seorang ayah, dan ia benar-benar tak mengizinkan.Kulepas jam mewah yang terpasang di tangan, kuberikan dompet beserta isinya, serta kunci mobil yang biasa kugunakan. “Baju ini pun akan kubuka, jika itu maumu.”Aku melangkah pergi meninggalkan Jovita. “Argh!” Suara teriakan, keramik pecah, dan sumpah serapah menggema di rumah ini. Dengan langkah gontai dan air mata bercucuran, kutinggalkan semua. Menaiki sebuah ojek, aku pergi ke pasar tradisional. Berbekal uang hasil jerih payah selama ini, kubeli satu setel baju yang bahkan harganya tak sebanding dengan sandal jepit yang dipakai Jovita.Berkali-kali aku memilih sebuah cincin untuk Wulan, putriku. Ada rupa, ada harga. Aku kecewa, ha
더 보기
Bab 55
Aku tertunduk lesu. Candanya mengobati kegalauan hati, tetapi kebahagiaan ini tak lengkap rasanya tanpa kehadiran Ayah. Padahal ,aku ingin sekali mengabadikan momen ini dengannya.Laki-laki itu menggenggam tanganku erat, seperti mengerti apa yang aku pikirkan saat ini. “Jangan bersedih. Ayahmu ada di sini. Ia melihat putrinya sangat cantik memakai baju pengantin.”“Benarkah?”Mas David mengangguk.Aku mengedarkan pandangan, mencari sosok yang aku rindukan itu.“Kamu tak akan melihatnya, Lan. Tapi dia bisa melihat kita.”Mataku berkaca-kaca. Kulirik Ibu dan Ayah Arya yang duduk tak jauh dari sisi Mas David. Apakah karena ini, Ayah tak berani mendekat? Bukankah seharusnya ia yang duduk di kursi orang tua pengantin, tetapi sekarang posisi itu sudah diisi oleh ayah tiriku.“Tersenyumlah. Dia akan bahagia, jika putrinya bahagia.”Aku tersenyum menatap sekeliling. Jika benar Ayah berada di sini, aku harap, Ayah tahu bahwa putrimu ini sangat bahagia sekarang. Sekarang, Wulan memiliki tiga la
더 보기
Bab 56
Aku mengempaskan tubuh di atas tempat tidur. Kelopak mawar terasa lembut menyentuh tubuh berbalut lingerie. Mataku menatap langit-langit kamar, seketika bibir ini tersenyum mengingat bagaimana nasib membawaku ke sini. Tujuan utama mencari Ayah, malah mendapatkan suami. Mengingat kata suami, segera aku bergegas masuk ke dalam selimut, sebelum laki-laki itu datang. Pura-pura tidur lebih baik, daripada menunggunya dengan penampilan seperti ini. Terbayang sudah apa yang akan Mas David mau, jika melihat penampilanku begini.Jantungku berdegup kencang, ketika mendengar derit pintu berbunyi. Malu dan takut bercampur menjadi satu. Kupejamkan mata, memaksa otak ini bekerja agar bisa memberikan alasan yang tepat untuk menghindar secara halus.Sebuah kecupan terasa hangat di pipi. “Lan.”Ragu untuk menjawab, tetapi jika diam, takut berdosa karena mengabaikan suami. “Hm.”“Tidur?”“Iya, Mas. Ngantuk dan capek.”Tempat tidur terasa bergerak, kemudian belaian lembut di pipi memaksa mata ini terbuk
더 보기
Bab 57
Aku dan Mas David berjalan bergandengan tangan menuju ruang makan. Kedatangan kami disambut senyum hangat Ibu dan Ayah Arya. Berbagai menu sarapan pagi telah terhidang di meja. Biasanya aku yang membantu Ibu menyediakan sarapan pagi. Untuk pertama kalinya, aku tak melakukannya. “Bagaimana tidurnya?” Ibu bertanya.“Alhamdulillah, Bu,” jawab Mas David dengan senyumnya yang menawan, sementara aku memilih menyibukkan diri dengan menyiapkan sarapan untuk Mas David. “Tambah lagi. Sepertinya kalian butuh asupan energi yang banyak,” ungkap Ayah Arya.“Sepertinya begitu,” jawab Mas David dengan sebuah lirikan mata jahil padaku. Walaupun tak melihat langsung, tetapi senyum dari wajah mereka bisa kulihat dari sudut mata ini.“Bagaimana bulan madu kalian?” Ayah Arya bertanya.“Kalau saya terserah, Wulan mau ke mana. Karena bulan madu itu intinya sama. Mau di mana pun, pasti lebih banyak menghabiskan waktu di kamar.”Kedua laki-laki itu tertawa, sedangkan Ibu tersenyum manis melihat kedekatan
더 보기
Bab 58
Kami bergegas menaiki mobil, ketika orang suruhan Mas David berhasil menemukan keberadaan Ayah. Sepanjang jalan aku tak tenang, bahkan jantung pun berdegup kencang. Semula Mas David melarangku untuk ikut dan menyuruh menunggu di rumah, tetapi aku bersikeras. Tak sabar ingin tahu keadaannya. Apakah ia baik-baik saja selama ini?Mobil berhenti, tepat di depan sebuah bangunan. ‘Distributor Beras’, itulah yang tertulis dalam sebuah spanduk besar. Beberapa truk terparkir, dan para buruh satu per satu memanggul karung berwarna putih untuk dibawa masuk.“Mas, mau membeli beras?” Aku bertanya.Mas David memandangku lekat, kemudian beralih pada para kuli panggul yang sedang lalu-lalang. “Ayahmu ada di sana, Lan.”Tanpa menunggu, aku turun dari mobil mencari sosok yang kurindukan. Satu per satu wajah mereka tak luput dari perhatianku, tetapi tak ada yang kukenal. Di mana Ayah? Aku mencoba memasuki gedung, hanya kesibukan yang terlihat. Mata terus memindai sekeliling, menatap para kuli panggul,
더 보기
Bab 59
“Ini perayaan sederhana atas diterimanya Wulan kuliah. Hanya keluarga kita saja,” ucapku menjawab pertanyaan yang tersirat di wajahnya.Semula Ayah menolak, ia merasa tak enak, tetapi aku terus memohon hingga laki-laki itu pun setuju. Aku menunggunya di dalam mobil yang tak jauh dari gang tempat tinggal Ayah. Ia melarangku mengikuti, dan menyuruh menunggu di luar. Bahkan, Ayah tak mengizinkanku untuk sekadar melihat tempat tinggalnya.Tak lama, dari ujung gang tampak Ayah sudah rapi memakai baju koko dan celana panjang hitam. Ayahku kembali terlihat tampan. Pak Wahyu—sopir yang setia mengantarku ke mana-mana—segera melajukan kendaraan untuk pulang. Aku dan Ayah duduk di belakang. Kugenggam tangan Ayah yang sekarang terasa agak kasar. Sepanjang jalan memasuki kompleks, laki-laki itu menatap keluar jendela. Setelah berbulan-bulan meninggalkan tempatnya bernaung 18 tahun silam, akhirnya ia kembali ke sini. Kami pun turun dan bergandengan tangan memasuki rumah. Ketika masuk, pandangan A
더 보기
Bab 60
Pandanganku beralih pada dua orang yang tak menyadari kami menonton kemesraan mereka. Ayah Arya mematikan selang air, kemudian merangkul Ibu masuk ke dalam rumah. Sudah pasti mereka akan mandi, atau bisa saja melanjutkan kemesraan yang barusan terjadi di tempat berbeda. “Ayah,” panggilku selembut mungkin. “Ini Wulan bawakan teh dan kue.”Ayah terkejut dan tampak gugup. “Eh, Wulan.” Laki-laki itu membalikkan badan, lalu menatapku dengan sebuah senyuman. Aku tahu, itu terpaksa, bahkan aku bisa melihat ada luka yang terpancar dalam sorot matanya. Kesedihannya bisa aku rasakan. Jika saja Ibu masih sendiri, akan kubujuk untuk kembali. Namun sayang, jodoh mereka tak panjang.“Bagaimana tidurnya, Yah?”“Alhamdulillah, sangat nyenyak.” Ayah duduk di sofa, kemudian menyesap teh yang masih mengeluarkan uap panas dari cangkirnya.“Wulan sudah bikin sarapan. Mari, kita ke bawah.” Mereka berdua turun, sedangkan aku melangkah ke kamar guna menemui Mas David yang ternyata sudah rapi dan tampan.“A
더 보기
이전
1
...
456789
DMCA.com Protection Status