All Chapters of SUAMIKU YANG BAPAK HINA: Chapter 21 - Chapter 30
37 Chapters
Bab 21
Selamat Membaca! Besok aku akan pilih tiga komentar pertama di bab 22,ya! Masing-masing akan mendapatkan 50 koin emas! Setibanya di rumah nanti akan kubagikan saja sayuran yang masih banyak ini pada beberapa tetangga yang ekonominya memang susah juga. Setidaknya sayuran ini bisa bermanfaat untuk mengganjal perut mereka. Baru saja aku kembali. Seorang tukang paket baru saja keluar dari halaman rumah. Aku tidak sempat bertegur sapa dengannya. Semoga saja ada kiriman kembali dari Mas Yasa, jadi aku bisa menghubungi dia, kalau perlu aku bawa Ibu dan menyusulnya. Aku mengucap salam, tapi tidak ada yang menjawab. Langsung aku pergi ke dalam mencari Ibu. Berharap besar, paketan itu untukku dari Mas Yasa.Tampak wanita itu baru saja melipat mukena, sementara Alika tampak terlelap di atas ranjang. “Bu, tadi ada tukang paket, ya?” tanyaku. “Iya, sepertinya barusan pas ibu shalat, Mel! Mungkin Bapak yang terima!” ujar Ibu. “Di mana, Bapak?” tanyaku padanya. Aku bergegas meletakkan bakul ju
Read more
Bab 22
Hari ini aku berkeliling seperti biasa. Membawa bakul berisi sayuran. Masakan sudah kusiapkan di dalam tudung saji. Tidak lupa, aku sudah wanti-wanti agar Ibu tidak memakan ayam itu. Begitupun kusampaikan pada Ibu agar tidak memberi makan Alika dari ayam itu. Menjelang zuhur, aku sudah pulang. Seperti biasa aku bergegas membersihkan diri. Nanti sore sebelum ke pasar, aku akan berkeliling membagikan sayuran sisa. Padahal belanja sudah kukurangi, tapi tetap saja masih sisa. Kini balik modal saja sudah untung. Sisanya kami bisa makan dengan lauk. Kadang dapat beras juga ketika ada orang yang tidak punya uang, pembayaran barter pun masih aku terima. Ah, hidupku kini jadi seperti berputar-putar di tempat. Jualan, pulang, urus Ibu dan Alika, ke pasar, tidur. Begitulah setiap hari. Hanya terselip rindu dan rasa kosong di hati. Ketiadaan kabarnya benar-benar membuatku merasa kehilangan, sendirian, dan mulai pupus harapan. Kulihat tudung saji. Benar saja ayam yang kumasak sudah raib tanpa j
Read more
Bab 23
“Apakah benar aku menyerah saja, Mas? Namun apa arti pengorbananku selama ini jika harus berakhir sampai di sini?” “Kenapa kamu gak datang? Kenapa kamu mengabaikan aku dan Alika? Aku benci kamu, Mas! Aku benci!” ucapku menjerit dalam diam. Kupukul bantal melampiaskan rasa emosi, kesal, kecewa dan tidak tahu harus berbuat seperti apa. “Apa kamu masih saja akan diam kalau kamu tahu ada lelaki lain yang mengharapkanku?! Bicara, Mas?!” pekikku tertahan ditengah isak. Malam itu kuhabiskan dengan menangis. Pakaian dari Alex yang diberikan oleh Bapak masih tergeletak di lantai. Benci sekali aku dengan semua ini. Aku menjalani hari-hari seolah tanpa tujuan. Setiap pagi dan petang hanya mengengok ke arah jalan. Berharap Mas Yasa datang. Sudah lima hari aku di rumah dan membuat keripik. Menunggu tukang paket dan berharap membawa sepucuk surat darinya. Lagi pula jualan sayur pun sudah tidak selaku dulu, kini bertambah lagi satu orang yang keliling juga di kampung sebelah. Lahan jualanku sem
Read more
Bab 24
Aku menoleh ke arah datangnya suara. Degub jantung berpacu hebat. Tampak seorang lelaki berkulit bersih dengan cambang halus pada kedua pipinya tengah menatap dingin ke arah kerumunan yang ada di teras. Kakiku seolah terpisah dengan tulangnya. Lemas lunglai tak bertenaga. Bibirku seakan kelu, hanya mampu menganga tanpa suara. Keseimbanganku mendadak hilang, hatiku tak kuasa menahan buncah bahagia yang luar biasa. Tubuhku terasa melayang, tapi tangan kekar itu secepat kilat menopangnya.“Dek, kamu kenapa?” lirihnya. Suara yang sama yang selama setahun ini kurinadukan. Netra penuh cinta itu kini hanya berjarak beberapa jengkal dari wajahku. Aku bahkan bisa merasakan hembusan napasnya, harum aroma tubuhnya dan ini nyata, aku bisa menggenggam jemarinya. Tidak kuat aku berucap. Kubenamkan wajah ini pada dada bidangnya. Ini benar-benar suamiku. Mas Yasaku sudah kembali. Aku terus menangis melepas semua beban, semua kegamangan dan ketakutan! Kupeluk erat tubuhnya yang kini ada di depanku.
Read more
Bab 25
Aku menoleh ke arah datangnya suara. Degub jantung berpacu hebat. Tampak seorang lelaki berkulit bersih dengan cambang halus pada kedua pipinya tengah menatap dingin ke arah kerumunan yang ada di teras. Kakiku seolah terpisah dengan tulangnya. Lemas lunglai tak bertenaga. Bibirku seakan kelu, hanya mampu menganga tanpa suara. Keseimbanganku mendadak hilang, hatiku tak kuasa menahan buncah bahagia yang luar biasa. Tubuhku terasa melayang, tapi tangan kekar itu secepat kilat menopangnya.“Dek, kamu kenapa?” lirihnya. Suara yang sama yang selama setahun ini kurinadukan. Netra penuh cinta itu kini hanya berjarak beberapa jengkal dari wajahku. Aku bahkan bisa merasakan hembusan napasnya, harum aroma tubuhnya dan ini nyata, aku bisa menggenggam jemarinya. Tidak kuat aku berucap. Kubenamkan wajah ini pada dada bidangnya. Ini benar-benar suamiku. Mas Yasaku sudah kembali. Aku terus menangis melepas semua beban, semua kegamangan dan ketakutan! Kupeluk erat tubuhnya yang kini ada di depanku.
Read more
Bab 26
Aku menatapnya. Hanya samar terdengar suaranya. Tampaknya dia sedang berbicara serius dengan seseorang.“Iya, nanti aku harus bilang dulu sama Mela! Maaf, ya … belum bisa kasih keputusan sekarang. Assalamu’alaikum!” ucapnya. Dia kembali mendekat lalu menutup panggilan itu. Dia menatap ragu padaku, aku menangkap itu dari sorot netranya. “Ada apa, Mas? Tadi katanya mau bicara padaku, ya?” Aku menatapnya. Dia tampak berpikir sejenak, lalu menggeleng kepala."Nanti saja," lirih nya sambil menarik napas panjang. Kami kembali saling terdiam. Aku duduk di tepi tempat tidur dan turut tersenyum melihat bahagianya Alika bermain dengan boneka kelinci barunya.“Ma, nanti bobok di cini, ya!” ujar Alika sambil melompat ka pangkuanku dan membawa boneka kelincinya.“Iya, Sayang! Ini rumah kita sekarang,” jawabku sambil mengusap gemas pucuk kepalanya.“Wah asiiik, Ika boleh bobok di kasul empuknya, Mah?” tanyanya sambil mendongak ke arahku. “Iya, nanti Ika boleh bobo di sini!” ucapku. “Ehmm … kama
Read more
Bab 27
“Ya Allah, Dek! Ternyata kalian di sini tidak baik-baik saja! Maafkan, Mas, Dek!” Mas Yasa merengkuhku dan meminta maaf berulang. “Mas berjanji, akan membuat pelajaran untuk kakak ipar kamu yang kurang ajar itu! Berani sekali dia berbuat seperti itu pada istriku! Bersiaplah untuk menyesal, Hasim!” Kudengar Mas Yasa berbicara dengan geram. Aku menatapnya lalu mengangguk pelan. “Iya, Mas!” ucapku.“Kamu mau buat dia semenderita apa?” tanyanya menatapku tajam. Ada rasa sakit yang terbaca dari sorot netranya.“Buat saja dia jera, Mas! Bahkan jika waktu itu Alex tidak datang menolongku dan dia berhasil melecehkanku entah seperti apa, Mas! Mungkin aku lebih memilih mati karena tidak sanggup bertemu kamu lagi!” ucapku sambil menyeka sudut mata yang tiba-tiba hangat. Mas Yasa langsung mengambil gawai, lalu menelpon seseorang. Dia menjauh dariku, tampak dia melakukan pembicaraan serius. Tidak berapa lama, dia kembali dan menghampiriku.“Dek, Mas sudah menyuruh orang untuk menyelidiki semuan
Read more
Bab28
“Iya, Mas! Gak apa! Ajak saja dia ke sini! Nanti aku siapin kamarnya!” ucapku sambil tersenyum dan menatap pada Mas Yasa yang tampak masih ragu akan keputusanku.Setelah itu aku bergegas menyiapkan kamar yang ada di bawah. Sementara itu, Mas Yasa bersama Alika lanjut memberi makan dua ekor kelinci yang tadi dibelinya. Alika sangat senang ketika mendapatkan dua ekor kelinci warna putih. Meskipun tadinya merengek terus minta warna pink dan hijau, tetapi mana ada? Kelinci mainan saja yang berwarna-warni seperti itu. Sambil membereskan kamar yang ada di bawah. Kutatap sekilas pantulan wajahku pada cermin yang tertempel pada meja rias kecil. Tiba-tiba aku merasa tidak percaya diri. Ya, semenjak kedatangan Mas Yasa dengan segala pesonanya, aku menjadi merasa rendah diri. Rasanya aku dan dia, ibarat langit dan bumi. Mas Yasa putih terawat, sedangkan aku cokelat dan berwarna gelap. Kulit tanganku bahkan tampak kering. Selintas terpikir untuk merengek minta ke salon? Tetapi rasanya malu juga
Read more
Bab 29
“Ya Allah, berikan aku petunjuk seperti apa aku harus bersikap menghadapi semua ini?” batinku. Kakiku mengayun menuju gerbang. Hendak mencari sarapan yang sebetulnya hanya alibiku saja agar bisa memiliki waktu untuk sendirian. Aku berjalan pulang dengan membawa empat porsi bubur ayam. Rasa malas mendera, sebetulnya aku yang terlalu sensitif saja. Bahkan aku belum berbincang juga dengan Yesa.Kudorong pintu depan, ruang tengah masih kosong. Lalu kuberalih ke dapur dan merebus air. Namun dari arah kamar Yesa tampak Mas Yasa keluar tergesa. Wajahnya diliputi kecemasan. “Dek, kita ada obat penurun panas, gak?” tanyanya dengan khawatir.“Gak ada, Mas! Kenapa?” tanyaku sambil menoleh. Keempat porsi bubur sudah kusimpan di atas meja makan. “Yesa tadi nelpon aku, pas kulihat ke kamarnya dia demam, Dek! Panas banget! Ya sudah, Mas beli dulu obat ke apotek depan, ya!” ucap Mas Yasa dengan wajah panik. Aku tersenyum hambar.Rasanya kok sangat gak nyaman ketika suami memperhatikan orang lain.
Read more
Bab 30
“Kuncinya mana? Mumpung Alika ada yang jaga!” ucap Yesa lagi tegas sambil melirik pada ibuku yang kini tengah berjalan-jalan di halaman bersama Alika."Sudah mau maghrib lah, Ye! Besok aja!" tolak Mas Yasa. "Oke, besok aku ajak Mbak Mela keliling sekalian belanja! Kamu 'kan mau bikin konten baru Mas, jadi gak usah ikut!" tukas Yesa ringan sambil berlalu ke dalam. Karena hari sudah sore, Mas Yasa bergegas mengantar Ibu pulang. Esok dia akan menjemput Ibu lagi, karena Yesa sudah fix akan mengajakku perawatan di salon. Memang ada acara manggung, tapi besok malam dan di acara kecil saja. Jadinya santai. ***Pagi ini aku sudah rapi. Kami tengah sarapan bersama. Yesa baru saja selesai meneguk air putih pada gelasnya lalu menengadahkan tangan pada suamiku. "Kunci mobil!" ujar Yesa sambil mengangkat satu alisnya. Mereka sedekat ini, terkadang ada rasa cemburu juga di hatiku. Mas Yasa mengeluarkan kunci mobil dan memberikannya pada Yesa. Gadis itu langsung berjalan ke luar meninggalkan ka
Read more
PREV
1234
DMCA.com Protection Status