All Chapters of Anomali Dunia Darma: Chapter 31 - Chapter 35
35 Chapters
Bab 30 Monster Malam Hari Mendekat! 
“Bayu..bayuski bayu.. don’t lie by the corner… or a grey wolf will come.. and grab you by your side…” Pak Darma mulai kehilangan akal sehat, dia bersenandung di tengah lingkaran penjara kami. Dia menyadari tidak ada yang bisa dia lakukan. Dia telah terjebak di dalam perangkap buatan kami. Peraturan permainan tidak boleh dilanggar. Menara genteng yang menumpuk harus terus menjulang, syarat untuk Pak Darma keluar dari lingkarannya. Bara menjalankan tugasnya dengan baik. Si penjaga itu lumpuh di dalam lingkaran, menara genteng yang dia tumpuk seratus kali, seratus kali pun runtuh tertimpa lemparan Bara yang mematikan. Bongkahan genteng hancur berkeping-keping, hingga mustahil bagi si penjaga menumpuknya kembali. “He will grab you by the side…and drag you to the forest…drag you to the forest…to the broom bush..do not come to us, wolf … do not wake up our Masha Bayu bayushki bayu…” Mengapa aku bilang lingkaran itu adalah jebakan yang sempurna bagi Pak Darma. Janji adalah janji. Monster
Read more
Bab 31; Permainan belum Usai
Bunga lili air yang mekar di malam hari. Dinikmati keindahannya, bunga lili air bermahkotakan sinar rembulan dan gemerlap sejuta bintang, semerbak aroma terselimuti udara dingin tengah malam. Dia mekar di hadapanku, maksud hati ingin aku tetap di sisinya, menemani di dalam kastil sunyi, beraroma amis darah, tulang belulang melapuk di bawah tanah. Bunga lili air begitu menawan jika ditangkap oleh dua pasang mata berserta hati. Menawan, siapa pun yang akan pergi meninggalkannya, berpikir dua kali. Harus kah aku pergi? Haruskah aku meninggalkannya? Apa yang akan terjadi jika aku meninggalkannya di sini? Kedua pasang mata berserta hatinya, terhipnotis, larut dalam pelukan dingin bunga lili air. Pertimbangan demi pertimbangan. Pikiran yang berjajar menunggu untuk diuji kelayakkannya untuk dipertimbangkan. Semuanya seakan mengeroyok, membebani langkah ini yang seharusnya menuntun aku ke udara bebas, di luar istanahnya. Bisakah aku mengakhiri semua seperti ini? Akhirnya kita bisa berkum
Read more
Bab 32; Rumah yang Hangus
Dalam permainan, demi meraih kemenangan, terkadang kau harus mengorbankan ratumu sendiri. Aku tidak ada henti-hentinya memandangi gemerlap langit bertabur bintang. Menikmati sisa malam, atau mungkin bisa dibilang sisa nafas yang kumiliki. Bulan sudah bergeser dari atas langit ke arah barat, bertanda sedikit lagi malam akan terganti fajar. Bintang-bintang gemerlap meramaikan suasana antara aku dan Pak Darma. Dalam sunyinya malam, di tengah hutan, aku tidak pernah menyadari bahwa malam di bumi begitu menawan. Dalam senyap kami mempersiapkan tarian penutup. Pak Darma menyalakan sepasang lampu tembak yang terletak di sekeliling lapangan basket sebagai sumber cahaya di sekolah. Aku menggeret satu meja dan disusul sepasang kursi untuk kita bermain di tengah lapangan. Air bekas hujan yang tercampur darah segar masih menggenang. Suasananya seperti aku membawa alat pancung ke pemakamanku sendiri. Bau amis semerbak menelilingi kami berdua. Setelah semuanya tertata, kami duduk bersebrangan,
Read more
Bab 33; Kematian adalah Kehidupan itu sendiri
Manusia memang bisa memilih bagaimana caranya hidup. Melalui kehidupan dengan mengemban kehormatankah? Atau ternyata sebaliknya. Hidup dengan tidak ada penyesalan adalah keberanian yang naif. Namun hidup penuh dengan rasa penyesalan adalah si pecundang yang tak tahu berterima kasih. Menariknya bagi manusia, dia bisa memilih bagaimana caranya hidup namun tidak dengan kematian. Manusia terbiasa lupa dengan kematian, dia tidak memikirkan itu sebelum tidur. Manusia terlalu berani, yang dia pikirkan sepanjang waktu bisa dipastikan mengenai hirup pikuk kehidupan. Mau makan apa ya sehabis ini? Apakah aku bisa mengejar mimpiku? Apakah aku di jalan yang tepat? Kira-kira aku akan punya anak berapa ya? dan lainnya. Lucunya, ketika manusia disibukan dengan sandang pangan papan dan hiburan dalam kehidupan, kematian sudah menantinya di suatu waktu. Memandangi jiwa mereka sambil cekikikan karena tergelitik, lihat betapa bodohnya para manusia, mereka kira mereka hidup selamanya. Kurang lebih begitu
Read more
Bab 34; Mulai Sekarang Aku adalah Rumahmu
“Dia baik-baik saja kan?” “Tidak perlu khawatir, dia masih bernafas.” “Kita perlu tidak bangunkan dia?” “Jangan.” “Tapi aku ingin dia bangun. Aku ingin dia tahu di mana kita sekarang.” Terganggu dengan keributan, aku membuka kelopak mataku perlahan. Yang pertama aku sadari ternyata rembulan sudah tergantikan oleh matahari. Di hadapanku teman-teman yang kuantar kepergiannya di depan gerbang. Ada Yuuta, Kemala dan Deon. Melihat aku mulai sadarkan diri, mereka berucap sukur dan tersenyum bersamaan. Seperti biasa Kemala dengan rasa cemas yang berlebihan, seketika menyambar tubuhku yang terlentang sesudah tahu aku tersadar. “Memangnya kita di mana?” kepalaku masih pening tidak bisa mengingat jelas apa yang terjadi semalam. “Kita ada di pesisir pantai. Tenang saja, kita sudah aman di sini.” timpal Deon, semeringah senyumannya. Aku sendiri masih kebingungan, bagaimana aku bisa kembali bersama mereka, sedangkan terakhir kali ingatanku, aku sedang menodongkan moncong senjata ke kep
Read more
PREV
1234
DMCA.com Protection Status