All Chapters of Lara Cinta: Chapter 31 - Chapter 40
75 Chapters
Berubah Pikiran
Anira terdiam, langkahnya bahkan terhenti. Dia menatap lekat Reksa, menunggu pria itu mengatakan kalau dia hanya bercanda. “Gimana, menurut lo?”Cukup sudah! Anira menginjak keras kaki Reksa. Lalu meninggalkan pria itu dengan langkah panjang.Sepatu yang dikenakan Anira hari ini memiliki hak pendek tapi cukup tajam. Mulut Reksa terbuka, mengeluarkan teriakan tanpa suara. Dia merasa kakinya ditusuk oleh besi tajam. Ngilu dan perih bercampur jadi satu.Kalau tidak karena malu, mungkin dia sudah berteriak di sini sekarang. Anira tidak menahan diri sama sekali, menumpukan seluruh tenaganya untuk menginjak kakinya.Sepertinya dia benar-benar membuat gadis itu kesal kali ini. Dengan langkah sedikit pincang, dia menyusul gadis itu keluar.Dia menemukan Anira sedang duduk di atas meja motor dengan wajah ditekuk. Dia menatap tajam Reksa. ‘“Lo bener-bener marah?”“Menurut lo? Candaan lo tadi udah kelewatan! Sama sekali nggak lucu! Lo salah makan apa sih beberapa hari ini?” Semua y
Read more
Terpaku Ketakutan
“Ma, apa terjadi sesuatu?”Perasaan Anira saat itu benar-benar tidak enak. Rasanya seperti ada laba-laba merayapi punggungnya, membuatnya panik seketika. “Papa baik-baik saja, kan?”Ibu Anira terdiam, dia tidak langsung menjawab. Namun, menarik Anira untuk duduk di teras. Gerakan ibunya itu membuat Anira semakin panik. “Ma, papa kenapa? Aku masuk dulu, biar aku lihat papa.” “Tunggu dulu! Kamu duduk! Mama mau bicara.”Hati Anira terbelah, antara duduk dan masuk ke dalam. Namun, akhirnya dia memutuskan untuk duduk. Kalau ibunya masih bisa bersikap begini, berarti semuanya tidak seburuk itu kan? Pikirnya mencoba positif terhadap apa yang terjadi.“Kenapa, Ma?”Anira menatap lekat wajah ibunya, di bawah sinar lampu malam itu, kerutan di wajah ibunya semakin jelas terlihat. Hatinya teriris, saat menyadari hal itu.Hal tersulit yang dihadapi setiap anak, adalah menyadari kalau orangtuanya sudah tidak muda lagi. Kerutan-kerutan tanda perjuangan atas kehidupan itu membuatnya menyadari k
Read more
Ada Apa Dengan Reksa?
Tatapan itu begitu bening, tapi penuh arti. Seolah banyak kata yang hendak terucap, tapi mulut tidak mampu berkata-kata. “Pa, please.” Mata wanita paruh baya itu sudah berkaca-kaca. Ayahnya masih membisu. Matanya sama sekali tidak berkedip, menatap mereka berdua.Anira jauh lebih sigap, dia langsung mengambil ponselnya. “Sebentar, aku akan telepon Kak Leo dulu.” Sejenak kemudian dia tertegun. “Atau ambulan?” Tangannya sedikit bergetar. “Papa selalu bikin kalian khawatir.”Anira membeku. Telinganya masih menempel di ponsel. “Halo, Ra? Ada apa?”Suara Leo terdengar di telinganya, terdengar sangat jauh. “Kak, nanti aku telepon lagi.” Dia mengakhiri panggilan itu sepihak, tanpa mengalihkan pandangan dari ayahnya. “Pa, papa baik-baik saja?”Perlahan ayah Anira mulai bangkit duduk. Dengan sigap Anira dan ibunya membantu. “Papa mau minum dulu?”Pria itu menggelengkan kepalanya. “Kamu baru pulang?”Anira mengangguk, meski ayahnya telah menjawab, dia tetap memberikan segelas
Read more
Aktivitas Malam
“Hmm. Biar papa yang ngomong langsung sama Reksa.”Anira semakin kebingungan. Apa yang harus dibicarakan sampai harus sembunyi-sembunyi seperti ini? Dia malah jadi semakin penasaran. Anira menatap ibunya, tapi ibunya juga tersenyum setuju.“Kayanya Reksa udah sampai rumah. Besok aja, gimana?” tanyanya, sambil menatap reaksi kedua orangtuanya.Semakin mereka menutupi, semakin dia penasaran. Dia tidak bisa memikirkan satu pun, topik yang harus dibicarakan dengan Reksa, sampai orangtuanya harus menyembunyikan hal itu darinya.“Ya sudah, kalau gitu. Bilang Reksa, ketemu papa besok, pas kalian pulang kerja.”“Pulang kerja? Tapi, Reksa besok ke sini pagi doang. Malam mungkin nggak.”Ayah Anira mengangkat sebelah alisnya. “Itu sengaja banget. Kamu kesal?”Anira memilih mengangkat bahunya, sambil mengerucutkan bibirnya. “Papa udah bikin cemas, habis itu bikin penasaran, nggak papa kan aku balas dikit,” tanyanya sambil menjulurkan lidahnya konyol.Pasangan suami istri itu saling berpandang
Read more
Fase Ambigu
Berapa kali sudah ini? Dia menelepon Reksa berjam-jam di malam hari?Entah darimana, kesadaran itu menamparnya begitu saja. Dia melakukannya dengan natural seolah memang itu adalah normal terjadi.Namun, tidak sama sekali! Pesan dari Deril itu membuka matanya lebar-lebar. Ternyata, dia mengakhiri harinya dengan berbicara ke Reksa.‘Itu karena aku punya sesuatu yang harus dibicarakan dengannya,’ batinnya cepat. Namun, sekali pikiran itu terlintas di kepalanya, tidak mudah menyingkirkannya.Sejak kapan hubungannya dengan Reksa berubah jadi seperti ini? Kenapa dia jadi sangat memperhatikan gerak-gerik Reksa?Begitu lama mereka bersahabat, dan bahkan nyaris semua masalahnya Anira selalu bercerita pada Reksa. Pria itu sudah seperti kakak, keluarga sendiri baginya. Apa Reksa menyukainya?Anira menggeleng kuat. Terlalu takut dengan apa yang ada di benaknya saat ini. Dia melarang dirinya sendiri untuk berpikir lebih jauh.Buru-buru dia meletakkan ponselnya di sudut paling jauh meja yang
Read more
Membolak-balik Perasaan
Anira memukul bahu Reksa kesal. “Ckk! Nggak usah kasar!” ujarnya dengan ekspresi berlebihan.Reksa tertawa. Anira naik ke atas sepeda motor itu lalu memukul Reksa sedikit lebih keras. “Untung kita berdua nggak jatuh.”“Tenang saja, Cuma kejatuhan lo nggak akan bikin gue jatuh.” Dia menoleh ke belakang. “Udah?”“Udah.” Anira merapikan posisi duduknya. “Lo yakin nggak mau cerita?”Reksa tertawa geli. “Nggak. Lo tanya sama Om dan Tante aja nanti.”“Apa sih, pakai main rahasia-rahasiaan segala,” gerutunya. Dia merasa disisihkan, tingkah orangtuanya dan Reksa yang dengan sengaja mengalihkan pembicaraan saat dia datang, membuatnya merasa tidak dianggap. Dan itu rasanya sangat tidak menyenangkan.“Kalau om dan tante nggak ngasih tahu sama lo, berarti itu memang bukan sesuatu yang lo perlu tahu.”Tentu saja,Anira tahu logika sederhana di balik hal semacam itu. Namun, menerimanya juga bukan hal yang mudah. Setelah kalimat itu, Anira tidak lagi bertanya tapi wajahnya masih masam. Ketika Re
Read more
Bawa Saja
“Maksudnya?”Anira sebenarnya sudah menyesal setelah dia mengatakan hal itu. Kenapa dia harus membuat suasana semakin kikuk.“Bukan apa-apa. Motor gue di sana. Duluan ya.”Untungnya, tempat parkir motor dan mobil berada tempat yang berbeda sehingga Anira bisa dengan mudah bisa menemukan alasan untuk menghindar. “Tunggu!” Tanpa ragu, Deril menahan lengan Anira. “Kamu belum jawab pertanyaanku.”“Gue salah bicara tadi. Lupakan saja.” Dia berusaha menarik tangannya.“Kamu kira aku sudah berubah pikiran? Semudah itu menerima kalau kamu menyukai laki-laki lain?” Deril tersenyum miris. “Ini sama sekali nggak mudah juga untukku.” “Ril, aku nggak mau dengar!” Di tengah kepanikannya, dia kembali mengubah panggilannya untuk pria itu. “Aku mau pulang.” Deril tersenyum, dia tidak tahu apakah dia sakit atau sudah gila. Rasanya ada kelegaan yang melebur dari dasar hatinya, ketika mendengar Anira memanggilnya seperti itu.Sedikit saja reaksi dari Anira, begitu berarti untuknya.“Aku Cuma ber
Read more
Mantan vs Calon
“Really?” “Ril, teman nggak akan menggoda temannya sampai seperti ini.” Deril terdiam, dia lalu tersenyum. “Sorry, aku kelepasan. Sepertinya kamu harus sering mengingatkan aku.” Ada yang aneh dengan pembicaraan mereka. Dan keduanya menyadari itu. Seketika tawa keduanya meledak. Antara konyol dan miris bercampur jadi satu. Apa ada orang yang berteman, melakukan pembicaraan seperti ini? Namun, ini adalah awal, Anira masih ingin meyakini itu. “Well, ternyata menahan diri itu benar-benar nggak mudah,” ujar Deril. “Aku semakin salut pada Reksa selama ini.” Selain itu juga menyadari kalau dia benar-benar kurang peka terhadap perasaan Reksa selama ini. Sebagai sahabat, dia juga menyadari perasaan Reksa. Namun, dia membiarkan Reksa terus-menerus berada di antara mereka berdua dulu. Sekarang, Deril bertanya-tanya apa ini semua adalah karma karena apa yang dia lakukan dulu? Dia merasakan bagaimana rasanya menjadi Reksa. Hanya bisa berteman dengan Anira tanpa bisa melewati batas sedi
Read more
Ban Serep
BAB 39 Polos atau munafik? Sayangnya, Anira menyadari kalau dia tidak polos sama sekali.“Maaf, kalau aku salah bersikap tadi. Aku kelepasan. Tenang saja hal semacam itu tidak akan terjadi lagi.”“Apa benar segampang itu?” Zeva mendengus. “Kamu mau salah bicara berapa kali?”Anira tidak suka dipertanyakan seperti itu, dia ingin marah. Dia bisa saja marah, tapi dia tidak ingin melakukan itu.Zeva berhak marah, setelah apa yang dia lakukan. “Aku nggak tahu sampai mana kamu tahu tentang aku dan Deril, tapi kalau kamu tahu, kamu akan sadar, kemungkinan kami kembali bersama itu sangat kecil.” “Sangat kecil, ya?” Mata Zeva terlihat melankolis. “Sepertinya, Deril masih menolak percaya itu.”“Deril akan percaya suatu hari nanti.” Zeva mematikan keran wastafel itu, dengan sedikit kasar dia memercikkan sisa air yang ada di tangannya ke wajah Anira. “Dia akan! Kalau kamu berhenti memberinya harapan tentang pertemanan bullshit kalian!”Anira memejamkan matanya, menahan emosi yang mulai
Read more
Dinginnya Hari Dinginnnya Hati
Saat itu lampu merah, dan mobil itu berhenti tepat dekatnya. Tanpa sengaja, matanya memandang mobil itu, ketika membungkuk mengambil jas hujan dari dalam joknya.Itu mobil Deril! Kaca mobil pria itu tidak begitu gelap, dia masih bisa melihat siapa yang berada di dalam mobil. Zeva duduk di sebelah Deril di mobil itu, asyik bercerita. Kemudian dia melihat Deril tertawa juga.Hujan semakin deras, beberapa pengguna motor yang ada di depan dan di belakangnya sudah buru-buru mengenakan jas hujan dan melanjutkan kembali perjalanan, sebagian menepikan motornya dan memilih berteduh di halte busway yang ada dekat situ.Tangannya masih sibuk bergerak, berusaha memasang jas hujan itu di tubuhnya. Namun, matanya lekat menatap ke arah mobil itu.“Mbak, mbak berteduh dulu. Hujannya deras banget ini.” Salah seorang pria terssenyum memuakkan ke arah Anira. Beberapa pengendara lain yang mungkin adalah teman pria itu bersiul heboh menggoda.Sesama pengemudi yang juga perempuan hanya bisa mena
Read more
PREV
1234568
DMCA.com Protection Status