All Chapters of PEWARIS HEBAT NOMOR 1: Chapter 131 - Chapter 140

Kastil yang sunyi tampak lebih kelam dengan cahaya lentera yang meredup di lorong-lorongnya. Pintu kamar terbuka perlahan, memperlihatkan Elena yang terbaring lemah di atas kasur. Rambut panjangnya terurai, menutupi bantal dengan warna keperakan yang kontras dengan suasana yang kian mendung. Matanya yang setengah terpejam mengarahkan pandangan ke arah pintu ketika Kaisar melangkah masuk.Langkah Kaisar terasa berat, bahkan lebih berat dari beban yang sudah sekian lama ia tanggung.Setiap desah napasnya mengandung keraguan, seperti ada sesuatu yang tak ingin ia sampaikan,

Elena terbangun dengan rasa pusing yang luar biasa. Perlahan, ia membuka matanya, mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya ruangan rumah sakit yang redup. Pikirannya kabur, seolah baru saja keluar dari dunia mimpi yang panjang. Ketika matanya benar-benar terbuka, ia melihat sebuah wajah yang familier: Dokter Purwa, seorang ahli bedah yang merawatnya, duduk dengan tenang di samping ranjangnya. Wajahnya tampak lebih lega dari sebelumnya, meskipun ada kekhawatiran yang jelas terlihat di matanya."Elena," suara Dokter Purwa lembut, penuh kehangatan, "kamu sudah bangun. Bagaimana perasaanmu?"Elena memegang kepalanya yang terasa berat, matanya berkeliling mencari-cari sesuatu. "Suamiku... Kaisar... di mana dia?" tanyanya dengan suara yang lirih, penuh kerinduan. "Saya ingin melihatnya. Saya ingin melihat suamiku di medan perang."Dokter Purwa menghela napas, wajahnya seketika menjadi lebih serius. "Elena, kamu harus beristirahat," katanya, matanya memandang Elena deng

Waktu seakan berhenti di luar ruang rumah sakit yang hening itu. Kaisar masih duduk di sana, di sisi ruang operasi, bersama Damian yang tak kalah cemas. Suasana yang biasanya dipenuhi dengan hiruk-pikuk dan aktivitas kini terasa sunyi. Hanya suara jam dinding yang berdetak menjadi pengingat bahwa waktu terus berlalu, meskipun dunia terasa terhenti bagi Kaisar. Setiap detik terasa begitu berat, dan meskipun ia berusaha menguatkan dirinya, kegelisahan di dalam dadanya semakin membesar.Damian duduk di sebelahnya, mencoba memberi sedikit kenyamanan. "Jenderal, percayalah, Elena kuat. Dia akan melewati ini," kata Damian, meskipun suaranya juga penuh kekhawatiran.Kaisar mengangguk pelan, tetapi matanya kosong, jauh. Ia hanya memandang ke lantai, pikirannya melayang jauh ke Elena, yang kini sedang berjuang di ruang operasi. Seharusnya ia ada di sana, mendampinginya, tetapi ia tahu bahwa ia hanya bisa berdoa sekarang.Akhirnya, pintu ruang rumah sakit terbuka perlahan

Di ruang tamu yang megah itu, suasana terasa hening, penuh dengan ketegangan dan rasa haru. Kamar besar dengan perabotan mewah, dinding-dinding yang dihiasi dengan lukisan-lukisan bersejarah, kini dipenuhi oleh orang-orang yang telah banyak berjuang bersama Kaisar—beberapa di antaranya adalah sahabat lama, keluarga, dan pengacara pribadinya. Mereka semua duduk dengan tenang, menunggu pengumuman yang datang dari Kaisar.Damian, yang duduk di tengah-tengah ruangan, tidak bisa menahan rasa cemas yang menghinggapinya. Setiap detik yang berlalu terasa begitu berat, mengingat bahwa Kaisar baru saja mengumumkan keputusannya untuk pensiun dini. Semua orang di ruangan itu tahu bahwa ini adalah keputusan yang besar, tidak hanya untuk Kaisar, tetapi juga untuk masa depan mereka. Tak ada yang tahu dengan pasti apa yang akan terjadi setelah ini, namun satu hal yang pasti: semua orang di sini adalah orang-orang yang telah lama berdiri di samping Kaisar, baik dalam suka maupun duka.

Kaisar yang mengendarai motornya dengan tas besar di punggung tiba di tengah pasar kota kecil Jayakarta. Dia melihat-lihat sekeliling. Dia yakin akan menemukan kedamaian di tempat baru itu dan tidak akan ada satu orang pun yang akan mengenalnya lagi. Namun, kehadirannya langsung menarik perhatian ibu-ibu pedagang dan beberapa gadis yang sedang berbelanja."Siapa dia?" bisik seorang gadis pada temannya, matanya tak bisa lepas dari Kaisar yang baru turun dari minibus."Entahlah," jawab temannya, suaranya sedikit tertahan, tetap terpaku menatap Kaisar yang berjalan melewati mereka."Gagah sekali! Wajahnya seperti tak asing? Apakah dia artis? Mungkin saja ada syuting film atau sinetron di sini?" temannya bersuara lebih lantang, membuat beberapa gadis lain ikut menoleh.Kaisar, yang samar-samar mendengar percakapan itu, tiba-tiba mengernyit, sedikit terganggu, namun tetap berusaha menjaga ekspresinya tenang. Artis? Ia menelan ludah dan melangkah lebih cepat, berusaha mengabaikan tatapan me