Semua Bab Bukan Pewaris Biasa: Bab 51 - Bab 60
168 Bab
Makan Malam Bersama Paman
"Kau sudah siap?" tanya Nina.Perempuan itu mengulurkan tangannya. Tampak ia mengenakan gaun putih bergaya dress panjang yang dikombinasikan dengan kalung mutiara yang tersemat di lingkar lehernya. Tak ketinggalan, ia juga mengenakan sepasang anting berlian dan terlihat rambutnya tergerai panjang ke bawah. "Aku siap," balas Dannis. Lelaki itu tampak menghela napas pendek untuk menghilangkan rasa canggung dan gugupnya. Dannis terlihat mengenakan setelan jas abu-abu kehitaman yang dipadukan dengan aksesoris berupa jam tangan mewah berwarna silver di tangan kanannya. Tak ketinggalan, ia juga mengenakan sepatu mewah limited edition yang dibuat khusus untuk dirinya. Sejujurnya, semua barang yang dikenakan oleh mereka berdua disponsori langsung oleh Gilang dan Juna. Meski begitu, uang yang digunakan tetaplah milik Dannis. Intinya, mereka hanya mensponsori soal tempat pembelian barang dan juga fashion yang harus dikenakan. 
Baca selengkapnya
Bermalam Bersama Airin
"Sebenarnya apa isi dari perjanjian ini? Maksudku, apa yang kau ingin aku lakukan untukmu?" tanya Dannis. Ia tampak bingung ketika disodorkan hard cover hitam yang berisi begitu banyak kertas dengan sub judul 'pasal-pasal' layaknya di buku undang-undang. "Sebenarnya simpel saja. Aku ingin kau menandatangani kontrak perjanjian itu. Isinya adalah bahwa kau akan menyerahkan saham kepemilikan Alex Grup kepadaku. Dan timbal baliknya adalah, aku akan memberikanmu jabatan abadi di Kartanegara Grup," ungkap Andika Kartanegara. Ia tampak santai ketika melontarkan semua perkataannya. Tanpa memilah setiap kata, ia bahkan tidak berminat untuk mengetahui apakah Dannis tampak tersinggung atau tidak. "Kau ingin aku apa …?" Dannis tidak habis pikir dengan sikap pamannya. "Maaf, Pak Andika. Kami tidak bisa menerima perjanjian kontrak yang hanya menguntungkan satu pihak saja. Kami menolak!" Nina angkat bicara. Ia mengambil hard cover dari tangan Dannis dan mengembalikannya lagi ke pria yang berada
Baca selengkapnya
Kamar Remang-remang 
"Apa? One night stand?!" Kedua mata lelaki itu hampir saja keluar ketika mendengar ucapan Airin. Dan benar saja. Ketika pintu lift terbuka, kedua telinganya langsung mendengar suara yang lumayan keras dari beberapa kamar. "Kau mendengarnya, 'kan? Itulah one night stand yang kumaksud." Airin segera keluar dari lift sambil menarik kerah baju lelaki itu. Di sepanjang lorong, Dannis tampak gelisah karena terganggu oleh suara-suara yang terdengar dari beberapa kamar yang ada di sisi kiri dan kanan lorong hotel. Sesekali ia mencoba untuk menutup telinganya. "Ada apa? Apa kau baru pertama kali mendengar suara mendesah?" Perempuan itu merayu Dannis dengan menempelkan bibirnya ke telinga dan berbisik lirih. "Jangan dekat-dekat!" Spontan saja Dannis mendorong tubuh Airin agar menjauh dari dirinya. Setelahnya, ia melewati perempuan itu dengan wajah kesal. Dalam hatinya, ia pasti akan memilih untuk kembali
Baca selengkapnya
Berdua Di Warung Mie
"Juna? Apa menurutmu aku sudah keterlaluan?" ["Kau sedang berada di mana? Entahlah … kurasa apa yang kau lakukan sudah sesuai porsinya."] "Aku sedang jalan-jalan santai sambil menunggu Nina."["Sebaiknya kau tunggu Nina di satu tempat yang ramai. Kau tahu, daerah situ sangatlah rawan ketika malam tiba."]"Aku mengerti, bye …."Panggilan telepon yang dilakukan oleh Dannis akhirnya berakhir. Saat ini ia sedang menyusuri gelapnya jalan yang berada di pinggiran kota. Dan bila dilihat di sisi kiri dan kanan jalan, hanya ada lampu jalan yang menjadi penerang di sepanjang jalan itu. Tampak terasa udara malam yang lumayan dingin mulai menusuk kulit lelaki itu. Saat keluar dari hotel sebelumnya ia masih mengenakan setelan jasnya, namun saat ini Dannis memilih untuk mencopotnya. Ia bahkan membuka salah satu kancing kemejanya untuk merasakan embusan angin yang lewat. Setelah berjalan lumayan jauh dari hotel, tampak sebuah cahaya memantul hingga ke bahu jalan. Dari kejauhan Dannis melihat cah
Baca selengkapnya
Dikejar Bocah Aneh!
"Siapa kau?" tanya Dannis.Ia tampak bingung ketika langkahnya dihentikan oleh seorang bocah yang terlihat masih berada di bangku kuliah. Meski ia memiliki warna kulit yang lumayan putih, tatapan mata tegas, bibir merah muda kecil, rahang yang tegas, serta potongan rambut belah tengah ala artis Korea, namun gerak-geriknya tampak mencurigakan. Dannis sampai menatapnya dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. Ada perasaan curiga kalau lelaki muda yang ada di depannya adalah sindikat penipu. Lihat saja dari wajahnya, tampan bagai artis Korea, namun hanya menggunakan hoodie lusuh berwarna abu-abu bergambar Mickey mouse, kaos oblong berwarna putih dan celana denim yang tampak robek-robek. "Ikut denganku, aku ingin bicara." Ia langsung berbalik dan menuju ke dalam hotel. Namun sebelum hendak memasuki pintu utama, langkahnya dihentikan oleh suara Nina."Hei! Apa kau tidak punya sopan santun?! Tidak memperkenalkan diri, namun langsung menyuruh orang untuk mengikutimu? Apa itu etika yang sopa
Baca selengkapnya
Akhirnya Bicara Juga
Brak!"Jangan bertele-tele! Katakan saja siapa kau sebenarnya! Aku tidak punya waktu untuk meladeni bocah yang sok penting sepertimu!" bentak Dannis. Kedua tangannya sempat menggebrak meja di depannya. Untungnya tidak terlalu keras. Namun pukulan tangan Dannis sempat membuat lelaki muda di depannya tersentak kaget. "Tunggu sebentar lagi, aku harus selesaikan makanku dulu." Ia masih mencoba untuk mengukur waktu sambil mempermainkan emosi Dannis yang sudah tampak seperti roller coaster. "Terserah kau saja!" Dannis tidak mau peduli lagi. Tampak ia berdiri dan pergi dari meja itu. Namun sebelum ia benar-benar pergi, Dannis menyempatkan waktunya untuk membayar secara kontan chef pembantu yang sudah menolongnya. Wajahnya begitu kesal. Setelahnya, ia menuju ke arah lift tanpa ingin tahu tentang bocah bodoh itu lagi. Ketika lift terbuka dan dirinya masuk, tiba-tiba terdengar teriakan."Tunggu! Baiklah, aku menyerah!" Lelaki muda itu berlari secepat mungkin. Lalu ia berdiri di depan pintu
Baca selengkapnya
Drama Menuju Bandara
"Hari ini kita akan ke mana?" tanya Rei. Lelaki muda itu baru saja terbangun dari tidurnya. Wajahnya tampak kusut dan rambutnya masih acak-acakan. Ia mendatangi Dannis yang berada di beranda balkon kamar. Tampak Dannis sedang duduk menikmati pemandangan pagi sambil meminum segelas kopinya. "Kita akan pulang," balasnya. "Pulang? Kenapa cepat sekali? Seharusnya kau menikmati pulau Dewata dulu," pikir Rei. "Kalau kau ingin menetap, silahkan saja. Yang pasti aku dan Nina akan ke bandara setengah jam lagi." Dannis beranjak dari kursinya. Ia meninggalkan bocah itu sendirian di balkon. "Dasar! Kenapa dia kaku sekali!" Rei menggelengkan kepalanya seraya menanggapi betapa dinginnya sikap Dannis kepadanya. Setelah perbincangan semalam yang selesai sekitar jam setengah dua malam, ada satu pertanyaan yang masih menggantung. Namun kala itu Dannis tidak mau menjawabnya. Ia memilih pergi ke tempat tidur dan mengunci kamarnya. Alhasil, Rei harus tidur di sofa.Di restoran hotel, Nina tampak sed
Baca selengkapnya
Mendarat Di Ibukota
"Apa kalian ingin pergi tanpaku?!" Airin berjalan begitu cepat menghampiri mereka bertiga. Namun ketika sudah begitu dekat, ia malah melewati Dannis dan Nina begitu saja. Kedua tangannya langsung melingkar ke punggung Rei. Ia memeluk bocah gila itu dengan begitu erat. "Hei, vampir! Lepaskan!" teriak Rei yang tampak risih. Pelukan perempuan itu sangat menjijikkan baginya. "Halo, Rei. Aku tidak menyangka kalau kita bisa bertemu di sini," sapa Airin. Senyuman yang merekah terlihat dari bibirnya. Kedua mata perempuan itu tampak menatap Rei dengan berbinar-binar. Bagaikan mata seekor kucing yang merajuk ke tuannya. "Lepaskan!" Rei berteriak lagi. Sayangnya kedua tangannya tidak bisa digerakkan karena terikat di dalam pelukan erat itu. Dannis dan Nina yang berdiri tidak jauh dari mereka merasa terkejut. Bahkan petugas bandara yang mengantar mereka ikut melongo. "Hei, kenapa kau ada di sini? Dari mana kau tahu kalau kami ada di bandara?" tanya Dannis. "Oh, itu mudah. Aku tinggal mengi
Baca selengkapnya
Kontrak Untuk Si Bocah
"Ini apartemenmu?" Rei menoleh ke atas. Melihat betapa tingginya gedung apartemen mewah di pusat ibukota. Gedung tersebut merupakan salah satu aset milik Dannis Kartanegara dari jalur harta ayahnya. Dan merupakan salah satu apartemen mewah peringkat lima besar di ibukota yang memiliki konsep tiga tower diperuntukkan untuk apartemen, lalu pada bagian bawah diperuntukkan untuk pusat perbelanjaan. "Ada apa? Kau tidak suka?" Dannis langsung bergegas pergi setelah selesai bicara. Ia tidak suka berdebat dengan si bocah. "Entahlah … aku hanya tidak habis pikir saja. Kenapa kau tidak memilih rumah megah, mewah dan memiliki luas halaman berhektar-hektar," pikir Rei. "Malas! Terlalu besar! Aku tidak suka membersihkan sesuatu yang merepotkan!" balas Dannis. Ia memandu si bocah dan sekretaris pribadinya menuju ke lift khusus apartemen. Karena Juna sedang sibuk, yang tadi menjemput mereka di bandara adalah supir dari kant
Baca selengkapnya
Makam Orang Terkasih
"Aku lagi mau jalan ke sana."["Tolong belikan bunga kesukaan ayah, ya, Lun"] "Pasti, Ma." Panggilan teleponnya telah terputus. Nina segera bergegas menuju ke pemakaman. Ia menghentikan salah satu taksi yang sempat jalan setelah menurunkan penumpangnya. "Ke mana, Bu?" tanya supir taksi."Ke TPU Kelapa, Pak," balas Nina. Sudah sekitar 2 bulan lamanya ia tinggal di luar negeri bersama dengan ibu dan pamannya. Ia belajar untuk mengikhlaskan diri dari apa yang menimpanya. Kehilangan ayah tercinta ketika ia baru saja lulus kuliah merupakan pukulan berat baginya.Bila ada yang sudah menduga … benar sekali, Nina adalah sosok perempuan yang sempat mengacuhkan Dannis ketika di pemakaman umum. Ia adalah Luna Arya Diningrat. Sosok yang dikabarkan telah menjalani hidupnya di luar negeri tanpa ada kabar sedikitpun. Namun sayangnya saat ini ia telah berada di samping Dannis lagi dengan identitas yang berbeda. Mencoba mencari tahu siapa dalang dari alasan ayahnya memilih untuk bunuh diri. Luna
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
45678
...
17
DMCA.com Protection Status