All Chapters of NIKAH DENGAN DUDA TIGA KALI MALAM PERTAMA BIKIN KAGET : Chapter 51 - Chapter 60
109 Chapters
51
"Ingat tidak, saat kamu mengirimiku surat cinta? Aku tersenyum membacanya. Lalu, aku diam-diam mengikutimu. Aku sangat senang. Aku suka kamu yang selalu ceria, jadi aku sangat senang kamu mengirimiku surat cinta." Mas Angga tersenyum seolah sedang mengenang saat itu.Aku mengangguk. "Ingat. Dan saat aku menyatakan cintaku pada Mas secara langsung, Mas nyuruh aku agar fokus ujian daripada mikirin pacaran. Bener, kan?" tanyaku balik, balas tersenyum."Iya. Karena aku tidak yakin kamu benar-benar serius dengan ucapanmu. Makanya aku bilang, kan, padamu, jika benar-benar menyukaiku maka lebih baik kita segera menikah. Ingat?" "Iya, ingat." Kuanggukkan kepala."Dan sekarang kita sudah menikah." Diciumnya tanganku. "Sayang, kita sudah menikah. Menikah, dulu adalah impian yang ingin kuwujudkan denganmu. Dan sekarang, kita sudah menikah. Sudah menikah, Sayang. Kita sudah jadi suami istri. Lalu kenapa harus berpisah?""Mas sudah tau jawabanku."Pak Salim mendekat membawa nampan besar. Dia leta
Read more
52
POV AnggaAku mengurangi laju kecepatan saat mobil yang kukendarai melewati Simpang Kampus. Berat sekali rasanya akan berpisah dengan Dinda. Dinda sesekali menatapku, sebentar-sebentar ia menatap ke luar jendela mobil yang terbuka, membuat angin malam yang dingin berembus masuk. Sikapnya yang terus mengalihkan pandang dariku sungguh menyakiti hati juga perasaanku. Dia berbeda dari yang dulu. Biasanya, ia akan mengobrol panjang lebar, apa saja dibicarakan saat berada dalam perjalanan begini, Dinda begitu cerewet sampai terkadang, aku menggeleng-gelengkan kepala karena heran ada saja yang dia bicarakan. Dia tidak pernah kehilangan obrolan.Tapi sekarang, Dinda terlihat begitu risau. Apa dia benar-benar sudah tak ingin lagi hidup bersamaku? Apa cintanya padaku sudah hilang? Aku menoleh menatapnya. Dia ternyata tengah menatapku, Dinda langsung saja berpaling saat secara tak sengaja kami beradu tatap.Kutarik napas panjang lalu membuangnya pelan, berharap dengan begitu, rasa sesak di dadak
Read more
53
POV Dinda"Dari mana saja kamu?" tanya Mama saat aku membuka pintu kamar Papa dirawat. Aku menunduk menatap plastik yang kupegang lalu berjalan masuk."Habis cari angin di luar, Ma. Tadi liat penjual seblak, akhirnya aku beli, deh," kataku, menatap Mama dengan tak nyaman. Mama menelisik wajahku."Ini aku beli seblak, Ma." Aku kembali menunduk menatap plastik berisi seblak yang kupegang berharap Mama tak mencurigaiku.Mama menarik napas panjang. "Mama kira, kamu pergi sama Angga." Tatapnya.Aku menggeleng cepat. "Enggak kok, Ma. Ngapain aku pergi sama Mas Angga? Enggak, kok." Dustaku. Mama terlihat curiga, ia terus mengamati wajahku terlihat sangsi. "Semoga yang kamu ucapkan benar. Mama gak ingin, ya, kamu berhubungan lagi dengan lelaki itu. Dia benar-benar bukan suami yang baik. Mama nyesel kamu nikah sama dia. Lihat tuh papamu, gara-gara ulahmu papamu sampai drop. Mama gak ingin papamu tambah stres gara-gara kamu berhubungan lagi sama Angga."Aku memandang ke arah Papa. "Iya, Ma."
Read more
54
Aku ingin muntah, tapi gak bisa muntah.Mungkin aku masuk angin. Lebih baik aku segera pulang agar bisa segera pakai pembalut. Walau di hari pertama datang bulan hanya sedikit darah yang keluar, tapi aku risih kalau gak pakai pembalut. Aku membasuh wajah lalu keluar dari kamar mandi. Ternyata Mama sudah ada di dalam, ia sedang memandang Papa. Papa sudah bangun rupanya."Pagi, Sayang?" Sapa Papa.Aku tersenyum kecil. Walau aku gak sedang baik-baik saja hendak menghadapi perceraian dengan Mas Angga, namun aku menunjukkan wajah bahagia pada Papa. Aku ingin Papa gak kepikiran lagi."Pagi juga, Pa-paaa," sahutku. Mendekat ke arahnya lalu mencium keningnya."Gimana yang Papa rasain? Apa di sini masih sakit?" Tanganku menyentuh dada Papa. Papa menyentuh tanganku di dadanya lalu menggeleng diiringi senyuman."Tidak. Papa tidak sakit. Nanti sore Papa sudah boleh pulang," ucap Papa yang membuat Mama langsung mendelik."Papa ini sok tahu. Kalau dokter gak ijinkan Papa pulang, maka Mama pun gak i
Read more
55
POV Dinda"Halo, Din. Halo?" Terdengar suara Mas Angga dari HP yang sejak tadi kupegang dengan tangan kiri. Aku meloadspeaker, setelah itu menggerakkan tangan ke bawah keran dan mencuci mulut."Iya, Mas.""Kamu belum baikan juga? Tadi aku, dengar kamu muntah-muntah," katanya. Dari nada bicaranya terdengar khawatir. Aku keluar dari kamar mandi, kembali berjalan menuju ruang tamu. Karena belum makan, aku memutuskan kembali menyuap sarapanku. Sama seperti tadi, rasanya begitu amis. Ini simbok mungkin gak bersih cuci lelenya. Akhirnya, kuletakkan lele ke nampan lalu aku menyendok udang. Tapi, mencium bau udang dalam jarak dekat membuatku neg. Perutku terasa bergejolak. Sungguh masuk angin begitu menyiksa.Akhirnya, kepindah udang ke nampan dan aku kembali menyuap hanya dengan sambalnya saja. Amis, tapi gak begitu menyengat. Kalau tidak sedang sakit, aku bisa makan nanti-nanti saja. Kalau sekarang, gak makan bisa-bisa malah tambah masuk angin."Din, aku jalan ke situ, ya?" kata Mas Angga.
Read more
56
"Sudah makan?" tanya Bunda. Dia terus mengamati wajahku. Ia bersikap seolah tak pernah terjadi apa-apa semalam."Udah, Bun." Suaraku terdengar lirih."Tapi wajahmu pucat. Ayo, makan. Bunda baru saja beli pecal. Ayo." Ajaknya, dia menggenggam tanganku. Aku menatap ke arah Mas Angga dan dia mengangguk, lalu ia membuntut di belakangku.Kini, aku duduk di kursi menghadap meja panjang yang ada di belakang butik. Bunda membuka plastik berisi beberapa bungkus pecal, meraih satu kemudian meletakkannya di hadapanku. Diraihnya satu lagi dan diletakkan di depan Mas Angga duduk. Kemudian, Bunda kembali meraih satu untuknya sendiri. "Itu yang kamu dan Angga makan sebenarnya untuk karyawan Bunda, tapi gak papa, nanti bunda suruh beli lagi," kata Bunda sambil menyuap, tatapannya tertuju ke wajahku. Aku menyendok perlahan, sambal pecalnya begitu pedas, tapi terasa enak di perut, itu membuatku menyuap lagi dan lagi. Kalau tadi aku makan rasanya gak enak, kini terasa enak. Mas Angga tersenyum melihat
Read more
57
POV Dinda"Maa," kata Papa. Tapi Mama mengabaikannya. Mama memandangku sekilas dan kembali bicara. Aku yakin sekali setelah Mama selesai bicara, aku pasti bakal diomelin karena bohongi Mama. Mama pasti akan bertanya pada Simbok aku keluar rumah dari tadi apa gak."Halo, Mbok? Tolong masak kan buat Bapak ya, Mbok. Nanti sore kami pulang," ucap Mama yang membuatku begitu lega. Aku menghela napas. Syukurlah.Setelah berkata begitu, Mama mematikan sambungan teleponnya, lalu dia memandangku."Kenapa wajahmu ketakutan begitu?" tanya Mama dengan sebelah mata menyipit. Aku menggeleng cepat."Ih, Ma-maa. Si-a-paaa, ju-ga, yang ketakutan? Alhamdulillah ya, Pa, Papa nanti sore udah boleh pulang," kataku. Ucapan Mama pada simbok tadi sudah menjelaskan semuanya bahwa dokter mengijinkan Papa pulang. Papa mengangguk diiringi senyuman."Alhamdulillah. Papa tidak suka di rumah sakit, Din. Lebih baik Papa di rumah, ada kamu sama Mamamu." Aku memeluk lengan Papa dan tersenyum. "Iya, Pa." Aku menganggu
Read more
58
POV Angga + Dinda"Assalamu'alaikum," ucapku setibanya di depan kamar Bunda yang sedikit membuka. Aku mendorong pintunya lalu melangkah masuk. "Waalaikum salam," sahut Ayah, Bunda juga Sisil berbarengan. Adikku yang tengah makan itu mendongak."Makan, Mas. Aku beliin makanan buat Mas, nih." Diraihnya kotak strrefoam di hadapannya kemudian mengulurkan padaku. Aku menerimanya."Untung saja kamu beliin Mas makanan. Mas belum makan siang," sahutku sambil meletakkan plastik yang kutenteng ke atas meja. Kotak sterefoam dari Sisil juga kuletakkan di meja. Aku meraih sebutir apel, setelah mengupasnya segera kuulurkan pada Ayah. Aku mengupas sebutir lagi dan mengulurkannya pada Bunda. Setelah itu, aku mengambil kotak sterefoam, duduk lesehan di samping Sisil dan mulai makan."Memangnya tadi belum makan siang, Ga?" tanya Bunda saat aku menggigit paha ayam goreng kemudian memuluk nasi juga sambal tomat."Belum, Bun. Dari pagi aku hanya sarapan pecal dari Bunda saja, makanya aku begini lapar," j
Read more
59
Aku mengernyit mengingat-ingat pertemuanku dan si Bapak barusan. Pertama bertemu dengannya itu di angkot. Saat itu, aku menangis karena sedih. Saat itu aku, bilang padanya, ngapain lihat-lihat aku yang sedang menangis? Apa karena itu, dia jadi membenciku? Tapi menurutku, gak salah ucapanku waktu itu. Jelas lah waktu itu aku kesal padanya, orang sedang nangis masa dilihatin terus. Mungkin, dia gak menyukaiku karena dipertemuan kedua kami, aku nyelonong masuk ke rumahnya. Nah kalau alasan yang itu, sepertinya lebih masuk akal. Tapi kan waktu itu, aku sudah menjelaskan alasanku kenapa bisa masuk ke rumahnya. Dia bahkan mengantarku ke Pekalongan. Aku menggeleng sebal. Ah sudahlah, ngapain juga aku pikirin. Gak penting banget.Aku mampir ke pasar untuk membeli es cendol pesanan Mama, lalu saat akhirnya mobil berhenti di parkiran rumah sakit, aku lekas turun. Aku menjulurkan tangan meraih buruanku lalu dengan menenteng plastik-plastik berisi makanan aku menuju kamar Papa dirawat. Senyumku m
Read more
60
POV Dinda"Halo, Yan, udah sampai mana?" tanyaku. Aku sudah mengenakan gaun pengantin dan merias wajah dengan make up tipis. Nanti akan dimake up, begitu yang dikatakan Mas Angga saat dia menelepon 2 menit lalu, bertanya aku sudah siap apa belum. Jika sudah siap, dia akan datang menjemput. Acara dimulai pukul 10. Kata Mas Angga, nanti kami akan ijab kabul lagi karena saudara-saudara ayah juga bunda yang dari jauh belum ada yang tahu bahwa kamu sudah menikah, jadi, kami akan kembali ijab kabul. Menurutku itu aneh, kan tinggal bilang saja bahwa kami sudah ijab kabul, tapi aku tak mengatakan apa pun pada Mas Angga. Aku setuju saja.Aku menatap jam di dinding lalu berjalan mondar-mandir dengan gelisah. Pukul 8, tapi Yana belum juga datang. Aku ingin dia menemaniku saat aku ijab kabul nanti, tentu saja gak enak jika aku datang ke resepsi sendiri tanpa Papa dan Mama juga tanpa teman. Karena Yana tak juga datang, aku kembali meneleponnya."Halo, Yan, udah sampai mana?" "Ini udah sampai Sim
Read more
PREV
1
...
45678
...
11
DMCA.com Protection Status