All Chapters of Pembalasan Dendam Sang Duda Kaya: Chapter 41 - Chapter 50
93 Chapters
41. Ketenangan yang Langka
“Pertanyaan macam apa itu?” Ben tertawa mengejek. “Bukankah sejak awal, kamu tidak pernah meminta izin untuk apa pun dan hanya melakukan semua yang kamu inginkan? Kamu datang ke hidupku seperti banteng yang mengejar kain matador. Kupikir aku harus waspada agar tidak diseruduk olehmu.” Ashana merengek sambil memukul bahu Ben, tetapi Ben dengan sigap menangkap lengannya dengan satu tangan. “Baru beberapa menit lalu aku minta maaf soal itu, tapi kamu sudah membahasnya lagi! Lalu bagaimana bisa kamu tega membandingkan wanita cantik sepertiku dengan banteng?” “Itu hanya perumpamaan.” “Tetap saja terasa menyebalkan!” Gadis itu menghela napas keras-keras. “Ya, sudahlah! Sekarang jawab saja pertanyaanku. Apa aku masih bisa berada di sisimu atau tidak?” “Kamu terdengar seperti sedang melamarku.” “Ben!” “Iya, iya. Terserah kamu saja. Aku tidak keberatan.” Dalam sekejap, Ben menyingkirkan sikap jahilnya, dan tersenyum tulus. Ia menepuk bagian saku bajunya yang sedikit menyembul karena menyi
Read more
42. Manusia dan Penderitaan
Ashana memasuki kamar sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk. Mandi di pagi hari terasa menyegarkan seperti biasanya, hanya saja hari ini ia tidak bisa sepenuhnya menikmati sebab harus mengompres lengan kanannya yang membiru. Gadis itu melemparkan handuk basahnya ke sembarang arah, sebelum mengambil minuman kaleng dingin yang kemudian ia tempelkan ke lengan yang sakit.Guna mengalihkan perhatiannya dari rasa ngilu, Ashana memilih berjalan mengelilingi kamarnya yang tidak seberapa besar. Hanya butuh beberapa langkah untuknya berkeliling. Dengan perlahan, ia mengamati berbagai foto yang menghias dinding.Satu sisi dinding berisi foto-foto semasa sekolah. Penuh dengan memori bersama teman-teman yang diabadikan lewat lensa kamera Polaroid. Senyum Ashana kala itu terlihat mencolok di antara banyaknya senyum lain dari remaja seusianya. Berhasil mengundang bibir
Read more
43. Dunia Baru
Ben melangkah ke luar dari kamar mandi mengenakan jubah mandi mewah berwarna biru tua. Segelas sampanye di tangan kanannya, sementara tangan kirinya ia sematkan ke dalam saku. Uap hangat mengepul di sekitarnya, sisa kegiatan berendam air panas yang ia lakukan untuk melemaskan otot-otot tubuh.Untuk pertama kalinya selama beberapa tahun terakhir, Ben merasakan dirinya begitu relaks. Tanpa repot-repot berganti pakaian, ia berjalan mengitari hunian barunya yang kedua. Sebuah griya tawang yang berada di lantai 28 bangunan paling mewah di kota tetangga kota Patah. Ben berhasil mendapatkannya dengan harga yang cukup masuk akal.Agen properti mengatakan bahwa hunian itu dirancang oleh seorang arsitek ternama yang hanya memproduksi bangunan terbaik dalam jumlah terbatas. Desain interiornya juga tidak main-main, dibuat dengan mempertimbangkan kegunaan serta keindahan. J
Read more
44. Bagaimanapun Tetap Keluarga
Sudah lama sekali sejak terakhir kali Ashana bangun dari tidur dengan rasa nyeri luar biasa di kepala. Rasanya ia takut untuk bergerak sedikit pun karena rasa sakit akan langsung menyerang dirinya. Meskipun begitu, ia cukup bersyukur masih dapat bangun dan bernapas pagi ini.“Terakhir kali Ayah mengamuk seperti itu adalah saat aku ketahuan memilih jurusan jurnalistik,” pikir Ashana yang masih melamun di atas tempat tidur. “Untunglah semua berakhir sebelum semakin parah.”Gadis itu memaksakan diri untuk duduk, hanya untuk menyadari kedua tangannya dipenuhi noda darah yang telah mengering. Noda itu hampir mengotori hampir seluruh telapak tangannya bahkan masuk ke sela-sela kuku. Ashana mengerutkan kening. “Apa aku lupa mencuci tangan sebelum tidur?”Dengan tenang ia bangkit dan berj
Read more
45. Paul Sang Pelaku
“Hei! Kau! Kemari!” Seorang pria yang mengenakan pakaian serba oranye sedikit berteriak di balik jendela berjeruji. Sebisa mungkin ia membuat suaranya tidak terlalu nyaring, tetapi dapat terdengar oleh pria berseragam biru muda dan hitam di luar sana. “Apa hari ini juga tidak ada titipan apa-apa untukku? Sudah lama sekali sejak terakhir kali ada yang memberiku sesuatu!”Jelas sekali pria yang dipanggilnya tidak senang diajak bicara di tengah malam. Meskipun semua orang telah tertidur, dan hanya ada beberapa orang yang berpatroli, kamera pengawas tetap menyala. Siapa pun akan curiga jika ia berinteraksi dengan seseorang di balik jeruji.“Paul, aku tahu aku berhutang banyak kepadamu. Tapi kamu tidak bisa terus bertingkah seenaknya begini. Aku bisa kehilangan pekerjaanku!” protes pria berseragam itu.
Read more
46. Kebaikan Hati Ben
“Kau! Berhenti mengatakan semua sampah itu atau kamu tidak akan bisa mendengar suaramu sendiri untuk selamanya!” ancam Sander dengan salah satu tangan mengepal di udara. Sementara itu, Ben hanya terdiam dengan raut wajah mengeras. Jelas sekali ia tengah menahan emosinya.Paul terkekeh, sama sekali tidak terguncang oleh ancaman Sander. “Sekali lagi kukatakan, kalian tidak akan mendapatkan apa pun dariku. Apalagi dengan kekerasan seperti ini. Kalian sama saja seperti para pemabuk berseragam yang selalu merasa posisi mereka lebih tinggi dari siapa pun.”Ucapannya itu sukses mencoreng harga diri Ben yang lantas menutup kedua matanya dengan satu tangan. Ia tidak sanggup melihat Paul, melihat bukti penganiayaan yang telah dilakukan Sander demi dirinya.Hampir separuh hidupnya Ben habiskan dengan be
Read more
47. Ada Apa dengan Keluarga Thalia?
Tanpa pikir panjang, Ben berlari menyeberangi jalan. Hanya butuh waktu beberapa detik untuknya menghampiri Garry yang baru saja membantu seorang wanita memasuki mobil. Sadar bahwa ada seseorang yang berlari ke arahnya, suami Thalia itu lantas mempercepat langkahnya menuju kursi pengemudi. Namun, Ben yang cekatan mampu menghentikannya tepat di saat ia hendak membuka pintu mobil. Cengkeraman Ben terlampau kuat hingga Garry meringis. “Hei! Apa masalahmu?” tanya Garry berang. Ia berusaha mengempas tangan Ben sekuat tenaga, tetapi gagal. Rupanya, ia jauh lebih lemah dari mantan suami Thalia. Tentu saja ia tidak akan mengakuinya. Dengan segera Garry memasang ekspresi tenang, dengan kedua mata memandang rendah Ben. “Lepaskan tanganku sebelum kubuat kau menyesal!” ancamnya kemudian. Ben yang masih mencoba memahami situasi tidak mendengarkannya dan sibuk mengintip ke dalam mobil, di mana wanita yang Garry bawa tengah duduk dengan nyaman. Wanita itu memakai gaun ketat hitam serta perhiasan y
Read more
48. Kesialan Berturut-Turut
Elina menendang sofa, membanting vas bunga, bahkan mendorong semua foto dan hiasan di atas meja sambil terus berteriak. Rambut cokelatnya yang biasa tertata rapi kini hanya diikat ke belakang seadanya. Tidak ada topi yang menutupi kepalanya, sehingga tanda lahir berbentuk lingkaran yang cukup besar di bagian atas keningnya terlihat jelas. Tanpa memedulikan apa pun, perempuan itu terus saja menghancurkan setiap benda yang dilihatnya.Ben berdiri tidak jauh dari sana. Menjaga jarak yang cukup agar ia tetap bisa melihat semuanya tanpa berisiko terluka oleh pecahan barang yang tersebar ke mana-mana. Sementara itu, Pram mengambil sebuah kain dari ruangan terdekat sebelum mencoba mendekati Elina sambil merentangkan kain itu di kedua tangannya.“Elina, tenanglah! Kumohon!” pinta Pram setelah ia berhasil membalut tubuh Elina dengan kain. Ia memeluk sang ist
Read more
49. Rahasia yang Tiada Habisnya
“Sudah cukup! Aku muak melihat wajahmu!” teriak Elina sebelum ia membanting pintu tepat di depan wajah Ben.Ben mengerutkan kening, sungguh semua kejadian ini membuatnya tidak tahu bagaimana menanggapi semua ini. Alhasil, ia hanya bisa mematung di tempat saat Sander berlari menghampirinya.“Bagaimana? Apa yang terjadi? Di dalam terdengar ribut sekali sampai aku masih bisa sedikit mendengarnya dari dalam mobil,” tanya pria tua itu. Wajahnya terlihat sumringah, layaknya ibu-ibu peserta arisan yang mendapat gosip terbaru.“Sepertinya Garry benar-benar telah membuat masalah besar,” jawab Ben singkat.“Masalah apa lagi yang dia buat selain berselingkuh?”Ben baru saja akan kembali me
Read more
50. Kembalilah, Menantuku
Merasa kesal karena terus dihujani pertanyaan oleh sang suami, Elina berbalik dan mengayunkan tangannya dengan kasar. Bibirnya siap untuk melontarkan kalimat tidak berperasaan saat kedua matanya bertemu dengan tatapan Ben. “Oh. Kamu masih di sini?” tanya wanita itu dengan ekspresi dingin.Ben menganggukkan kepala. “Tentu. Bagaimana bisa aku pergi begitu saja setelah menyaksikan semua ini? Sebenarnya, apa yang terjadi?”“Apa tujuanmu datang kemari?” Elina justru balas bertanya. Sepenuhnya mengabaikan Pram yang masih menunggu penjelasan darinya. “Kamu sudah tidak punya urusan lagi dengan keluarga kami. Apa kamu ingin memamerkan kehidupanmu yang kini jauh lebih baik setelah berpisah dengan Thalia?”“Apa? Tidak mungkin! Aku hanya ….”
Read more
PREV
1
...
34567
...
10
DMCA.com Protection Status