Aku duduk dengan gelisah di depan televisi yang menyala menunggui dua lelaki yang sampai saat ini belum juga kembali dari masjid. Rasa gelisah kali ini jauh lebih hebat dibandingkan rasa gelisah delapan tahun lalu saat aku duduk dalam posisi hampir serupa sambil menggendong bayi, yang bahkan belum sempat aku beri nama, menanti penuh harap akan mendengar deru motor Radit seraya berharap bahwa ia akhirnya pulang. Punggung yang tadinya menumpu pada sandaran sofa, spontan menegak ketika dua suara yang berbeda warna saling bersahutan dan semakin mendekat. Aku berdiri untuk membuka pintu rumah saat terdengar teralis pagar digeser perlahan. Dengan raut wajah yang berusaha diatur setenang mungkin, kusambut keduanya dengan bersemangat. “Bapak Abidin yang jadi imam tadi, Bun.” Zein melaporkan suasana salat tarawih. “Bapak Abidin itu imam kesukaan Bunda, Om.” Ia berkata rinci seolah hal itu adalah salah satu tentangku yang perlu Radit ketahui. “Kenapa Bunda suka Bapak Abidin?” Radit menujukan
Last Updated : 2025-08-15 Read more