Inicio / Rumah Tangga / PERGI UNTUK KEMBALI / Bab 24 - Menangis Dalam Mimpi

Compartir

Bab 24 - Menangis Dalam Mimpi

last update Última actualización: 2025-12-04 10:36:12

Delapan tahun lamanya jiwaku tersiksa oleh rasa bersalah karena meninggalkan Amara begitu saja, serta dua tahun terakhir di dalamnya kujalani dengan hampir putus asa karena nyaris tak dapat menemukan belahan jiwaku itu kembali, tetapi tak ada satu detik pun aku biarkan air mata penyesalan menetes. Lelaki harus tegar. Jangan sampai menangis. Bukan seperti itu caranya lelaki bersedih. Doktrin itu sudah aku terima bahkan sejak kecil.

Semua itu seketika terbantahkan saat lengan kecil Zein memelukku sehingga aku harus menunduk agar tinggi tubuh kami sejajar. Lututku akhirnya menyentuh lantai saat pelukan Zein semakin rapat. Entah aku atau Zein yang memeluk lebih erat, tetapi untuk beberapa detik aku sungguh-sungguh merasakan sesak penyesalan karena telah menyia-nyiakan begitu saja delapan tahun yang berharga untuk memeluk bocah kecil ini.

Mungkin aku akan tetap mendekap Zein jika bukan Amara yang kemudian menarik lenganku lembut agar mengendurkan pelukan. Cepat kuseka air mata sambil terse
Continúa leyendo este libro gratis
Escanea el código para descargar la App
Capítulo bloqueado

Último capítulo

  • PERGI UNTUK KEMBALI   Bab 25 - Penyesalan Dua Lelaki

    Papa dan Mama bertengkar lagi. Mereka saling menyalahkan satu sama lain. Suara Papa terdengar menggelegar di keheningan malam. Aku menangis, Zein juga merengek dalam gendonganku. Rumah ini sudah seperti neraka. Aku menutup mata putus asa.Lalu, entah siapa yang tiba-tiba datang menyeka air mata di pipiku. Usapannya begitu lembut, suaranya juga. Aku memberanikan diri membuka mata setelahnya. Saat itu juga aku sadar bahwa aku bukan berada di rumah neraka itu. Aku sedang berada di rumahku sendiri.“Mana Zein?” tanyaku pada lelaki yang separuh berlutut di hadapanku untuk menyesuaikan tingginya dengan sofa yang sedang aku duduki. Pasti ia tadi yang membuatku terjaga dari mimpi.“Sudah tidur,” jawabnya singkat dengan raut wajah khawatir.Aku ingat sekarang. Aku duduk di sini karena hendak menunggui lelaki ini menemani Zein pergi tidur. Sebelumnya kami memang sedikit beradu argumen mengenai apakah ia diperbolehkan kembali menginap atau tidak malam ini.“Karena Zein sudah tidur, kamu sudah bi

  • PERGI UNTUK KEMBALI   Bab 24 - Menangis Dalam Mimpi

    Delapan tahun lamanya jiwaku tersiksa oleh rasa bersalah karena meninggalkan Amara begitu saja, serta dua tahun terakhir di dalamnya kujalani dengan hampir putus asa karena nyaris tak dapat menemukan belahan jiwaku itu kembali, tetapi tak ada satu detik pun aku biarkan air mata penyesalan menetes. Lelaki harus tegar. Jangan sampai menangis. Bukan seperti itu caranya lelaki bersedih. Doktrin itu sudah aku terima bahkan sejak kecil.Semua itu seketika terbantahkan saat lengan kecil Zein memelukku sehingga aku harus menunduk agar tinggi tubuh kami sejajar. Lututku akhirnya menyentuh lantai saat pelukan Zein semakin rapat. Entah aku atau Zein yang memeluk lebih erat, tetapi untuk beberapa detik aku sungguh-sungguh merasakan sesak penyesalan karena telah menyia-nyiakan begitu saja delapan tahun yang berharga untuk memeluk bocah kecil ini.Mungkin aku akan tetap mendekap Zein jika bukan Amara yang kemudian menarik lenganku lembut agar mengendurkan pelukan. Cepat kuseka air mata sambil terse

  • PERGI UNTUK KEMBALI   Bab 23 - Sesungguhnya Ayah

    Aku duduk dengan gelisah di depan televisi yang menyala menunggui dua lelaki yang sampai saat ini belum juga kembali dari masjid. Rasa gelisah kali ini jauh lebih hebat dibandingkan rasa gelisah delapan tahun lalu saat aku duduk dalam posisi hampir serupa sambil menggendong bayi, yang bahkan belum sempat aku beri nama, menanti penuh harap akan mendengar deru motor Radit seraya berharap bahwa ia akhirnya pulang. Punggung yang tadinya menumpu pada sandaran sofa, spontan menegak ketika dua suara yang berbeda warna saling bersahutan dan semakin mendekat. Aku berdiri untuk membuka pintu rumah saat terdengar teralis pagar digeser perlahan. Dengan raut wajah yang berusaha diatur setenang mungkin, kusambut keduanya dengan bersemangat. “Bapak Abidin yang jadi imam tadi, Bun.” Zein melaporkan suasana salat tarawih. “Bapak Abidin itu imam kesukaan Bunda, Om.” Ia berkata rinci seolah hal itu adalah salah satu tentangku yang perlu Radit ketahui. “Kenapa Bunda suka Bapak Abidin?” Radit menujukan

  • PERGI UNTUK KEMBALI   Bab 22 - Memupuk Percaya

    Bunyi denting dari oven pemanggang serta aroma cokelat matang yang menguar, secara bersamaan membuyarkan lamunanku. Bergegas kuangkat loyang persegi panjang yang memuat adonan bronis di dalamnya. Senyumku mengembang saat melihat hasilnya sesuai yang diharapkan. Senyum itu kemudian berlanjut saat membayangkan betapa Radit akan menyantap kue kesukaannya ini dengan lahap saat berbuka puasa nanti.Aku membuatkan khusus untuk Radit bronis pertama dariku saat lelaki itu berulang tahun, tepat enam bulan setelah kami berpacaran. Hanya bronis cokelat sederhana yang dihiasi krim dan buah ceri di atasnya, tetapi Radit menerimanya dengan sangat antusias. Bronis yang hanya berukuran satu loyang kecil itu sengaja ia habiskan perlahan-lahan selama satu minggu. Radit bilang ia bahkan tidak mengizinkan satu pun teman di tempat kosnya untuk ikut mencicipi.“Bunda bikin bronis coklat hari ini?”Zein yang baru pulang dari masjid selepas ashar sepertinya ikut mencium aroma khas cokelat panggang dari oven.

  • PERGI UNTUK KEMBALI   Bab 21 - Pasrah Hati

    Pertemuan dengan Pandu jelas membuat hatiku semakin sulit menentukan arah. Rasa percaya yang berusaha Radit tumbuhkan di hatiku, mendadak porak poranda setelah kuresapi apa yang Pandu katakan. Selama delapan tahun Pandu tanpa ragu berperan menggantikan Radit. Siapa yang sebenarnya lebih bertanggung jawab? Bagaimana jika pada akhirnya Radit akan kembali lari dari janji-janji yang ia ucapkan padaku?“Pandu datang untuk melamarku.” Kuulang kalimat itu saat Radit bertanya atas alasan apa Pandu mampir ke rumah pagi tadi.Meskipun sebenarnya Pandu tidak secara lugas melamar, ia hanya mengungkapkannya secara tersirat. Pandu selalu seperti itu. Lelaki itu memilih tertutup untuk urusan hati. Karena alasan itu pula aku terkadang bingung menerjemahkan sikapnya. Semuanya samar-samar sampai pagi tadi Pandu mengungkapkan isi hatinya.“Dia tidak berhak melamar kamu.” Radit baru menyahut beberapa lama setelah ia diam mendengar penuturanku. “Kamu perempuan bersuami, Ra.”“Mungkin saja sekarang sudah t

  • PERGI UNTUK KEMBALI   Bab 20 - Emosi Membuncah

    Pagi ini aku terpaksa berangkat kerja lebih awal dari biasanya. Sebelum ke kantor, aku harus terlebih dahulu singgah di rumah untuk mengganti pakaian kerja. Sebelumnya, tentu saja aku harus mengantar sekolah bocah kecil yang menggemaskan ini yang sejak tadi tak berhenti bernyanyi riang sejak mobil mulai bergerak.Berselingan dengan lamunanku yang sedang mencari alasan untuk dapat menjemput Zein dari sekolahnya nanti, sebuah mobil yang terlihat familiar dari arah berlawanan memaksaku sedikit memutar kemudi ke kiri karena posisinya yang terlalu rapat. Aku tidak mungkin salah lihat. Mobil yang baru saja berpapasan di depan jalan menuju rumah Amara adalah milik Pandu. Aku kenal bagian depannya yang tertempel stiker lambang kedokteran.Mau apa laki-laki itu bertandang sepagi ini? Apa karena tidak kuizinkan menjenguk Amara tadi malam?"Om."Apakah ia berniat memeriksa kondisi Amara seperti kemarin?"Om Radit."Atau mungkin saja ia hendak mencari tahu tentang aku dari Amara?"Om!" Sebuah tan

Más capítulos
Explora y lee buenas novelas gratis
Acceso gratuito a una gran cantidad de buenas novelas en la app GoodNovel. Descarga los libros que te gusten y léelos donde y cuando quieras.
Lee libros gratis en la app
ESCANEA EL CÓDIGO PARA LEER EN LA APP
DMCA.com Protection Status