Home / Horor / Pesugihan Kandang Bubrah / Chapter 251 - Chapter 260

All Chapters of Pesugihan Kandang Bubrah: Chapter 251 - Chapter 260

263 Chapters

251. Bayangan di Balik Pohon dan Jejak dari Lubang

Srek... srek...Seperti sesuatu yang menggaruk-garuk tanah.Dimas menggenggam obor kecil dan berjalan perlahan ke arah belakang, diikuti Lila. Mereka mengintip dari balik pintu kaca.Pohon tua itu tampak bergoyang pelan, padahal angin malam tidak berhembus.Dan di depan lubang pohon, berdiri sosok kecil. Tubuhnya kurus, kepalanya menunduk, rambutnya menutupi wajah."Siapa itu..." bisik Lila, tubuhnya gemetar.Sosok itu mengangkat kepalanya perlahan. Mata kosong, hitam pekat, menatap langsung ke arah mereka."Itu bukan manusia," bisik Dimas cepat, menarik Lila mundur.Mereka segera mengunci semua pintu dan jendela.Tapi bahkan setelah semua terkunci, suara ketukan perlahan terdengar di pintu belakang.Tok. Tok. Tok."Jangan dibuka apa pun yang terjadi," kata Dimas tegas, memeluk Lila dan Jatinegara yang mulai menangis ketakutan.Di luar, bayangan di balik pohon tetap berdiri, menunggu. Bayangannya mem
last updateLast Updated : 2025-04-28
Read more

252. Dunia di Balik Pohon

Lubang itu berdenyut seperti jantung raksasa. Setiap denyutan menghembuskan hawa dingin yang membuat kulit Lila dan Dimas meremang. Mereka berdiri di hadapannya, menggenggam tangan erat-erat, saling menguatkan."Kita lakukan bersama," bisik Lila."Apa pun yang terjadi, jangan lepaskan tangan," balas Dimas.Dengan langkah perlahan, mereka mendekati pohon tua itu. Lubang yang semula tampak kecil kini cukup besar untuk dilalui dua orang dewasa. Cahaya bulan memantul pada dinding-dinding basah di dalam lubang, membentuk jalur berkelok yang menghilang dalam kegelapan.Mengambil napas panjang, mereka melangkah masuk.Begitu melewati ambang lubang, dunia berubah.Udara menjadi berat, penuh aroma logam dan tanah basah. Di sekeliling mereka terbentang hutan aneh, dengan pohon-pohon yang melengkung, dedaunan berwarna hitam keunguan, dan tanah yang berdenyut pelan, seolah makhluk hidup.Tidak ada bintang. Tidak ada angin. Hanya keheningan mencek
last updateLast Updated : 2025-04-28
Read more

253.Kenangan yang Terkikis dan Panggilan dari Dalam Tanah

"Jati pertama kali jalan... usia sepuluh bulan..." tulisnya sambil menangis.Dimas di sampingnya berusaha keras mengingat detail kecil, suara tawa, langkah pertama, kata pertama.Tapi setiap kali ia memejamkan mata, wajah Jatinegara kecil menjadi semakin buram.Malam itu, suara-suara aneh kembali terdengar dari halaman.Dimas keluar dengan hati-hati. Ia melihat jejak-jejak samar di tanah, menuju ke arah pohon tua.Di sana, di bawah sinar rembulan, berdiri sesosok bayangan. Tidak sebesar penjaga di dunia bawah, tapi bayangan ini lebih familiar. Lebih dekat."Ayah..."Dimas membeku. Suara itu... suara Jatinegara kecil.Bayangan itu tersenyum, tangan kecilnya terulur."Ayo, main lagi... seperti dulu..."Dimas terhuyung, air mata mengaburkan pandangannya. Setiap serat tubuhnya ingin berlari dan memeluk sosok itu.Tapi ia tahu, itu bukan Jatinegara."Kamu bukan anakku," gumam Dimas parau.Bayangan
last updateLast Updated : 2025-04-28
Read more

254. Arif yang Tertinggal

Lila dan Dimas kembali masuk ke dalam rumah. Di dalam, Jatinegara tidur dengan tenang, wajahnya damai, tanpa bayangan ketakutan sedikit pun.Lila menatap anaknya lama. Ia mencoba mengingat semua kenangan, semua momen kecil yang mereka bagi.Beberapa sudah kabur. Beberapa masih tersisa, menggantung tipis di benak mereka.Tapi satu hal pasti: cinta itu tetap ada. Lebih kuat dari kenangan apa pun.Dan malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, mereka tidur dalam damai, tanpa ketakutan akan bayangan dari balik pohon.Langit kelabu menaungi Desa Misahan ketika Lila berdiri di dekat nisan sederhana yang terbuat dari batu sungai. Nama "Arif Mahoni" terpahat samar di atasnya. Angin berhembus pelan, membawa suara desir daun kering.Dalam diam, Dimas berdiri di samping Lila, menggenggam erat tangan kecil Jatinegara yang kini berusia lima tahun.Mereka mengenang hari itu.Hari ketika Arif menghilang.***Malam itu
last updateLast Updated : 2025-04-29
Read more

255. Tanda-Tanda Kehidupan Baru

Namun, dalam keheningan malam, ada kalanya Lila terbangun. Bukan karena ketakutan, melainkan karena rindu. Rindu akan kenangan yang perlahan memudar—ulang tahun pertama Jatinegara, suara tawa Arif di halaman, percakapan-percakapan kecil yang dulu terasa biasa tapi kini sangat berarti.Setiap kali rindu itu datang, Lila akan duduk di beranda, menatap bintang, dan berbicara dalam hati."Terima kasih, Rif. Karena cinta dan keberanianmu, kami bisa bertahan."Di dalam rumah, Jatinegara dan Dimas tidur tenang, di bawah atap yang kini benar-benar menjadi rumah, bukan lagi tempat berteduh dari kegelapan.Dan di taman kecil itu, di tempat biji mangga ditanam, sebuah tunas kecil mulai muncul, menghijau di bawah sinar matahari.Tanda kehidupan baru.Tanda bahwa di balik setiap luka, selalu ada harapan yang tumbuh.Mereka telah kehilangan banyak. Tapi mereka juga telah menemukan sesuatu yang jauh lebih berharga:Kehidupan, cinta, dan keberanian untuk melangkah maju, meski jalan itu pernah dipenuh
last updateLast Updated : 2025-04-29
Read more

256. Bisikan Terakhir

Malam itu, mereka berdua duduk di teras, menatap bintang sambil berbicara pelan."Kamu pikir ini... sisa dari dunia yang dulu?" tanya Lila, nada suaranya penuh kekhawatiran."Mungkin," jawab Dimas. "Atau mungkin, ini bentuk baru. Bentuk dari semua luka, ketakutan, dan harapan yang pernah kita alami."Lila memeluk dirinya sendiri, merasa sedikit dingin."Aku cuma takut," katanya. "Takut kalau kita belum benar-benar bebas."Dimas meraih tangan Lila, menggenggamnya erat."Apa pun yang terjadi, kita hadapi bersama. Kita sudah lewati kegelapan. Kita bisa lewati apa pun," katanya, penuh keyakinan.Lila tersenyum tipis. "Aku percaya itu."Angin malam berhembus lembut, membawa aroma tanah basah dan bunga kenanga. Di kejauhan, suara serangga malam berdengung pelan, seperti irama alam yang mengiringi percakapan mereka.Beberapa hari kemudian, saat Lila membawa Jatinegara bermain di taman kecil mereka, anak itu menunjuk ke arah tunas mangga yang kini tumbuh setinggi pinggang orang dewasa. Daunny
last updateLast Updated : 2025-04-30
Read more

257. Langit yang Terbuka

"Apa yang harus kami lakukan?" tanya Lila.Bu Retno menggenggam tangan Lila erat."Kalian harus kembali ke tempat asal semua ini. Hutan Misahan. Di sanalah jejak terakhir Arif terkubur. Dan mungkin... hanya di sanalah kalian bisa benar-benar membebaskan diri dari bayangannya."Malam pun tiba.Lila duduk di samping tempat tidur Jatinegara, menatap wajah anaknya yang kini tampak lebih dewasa dari usianya."Besok, Ayah dan Ibu harus pergi sebentar," bisiknya."Ke mana?" tanya Jatinegara mengantuk."Ke tempat yang dulu pernah kita tinggalkan. Tapi kali ini, untuk menutup semuanya."Jatinegara menggenggam jari ibunya. "Jangan lama-lama, ya. Aku tunggu di sini."Lila mencium kening anaknya. "Kami janji akan kembali."Dan di luar rumah, pohon mangga bergoyang pelan. Angin malam membawa bisikan samar:"Tutup yang terbuka dan lepaskan yang tertinggal."Langkah Lila sudah semakin dekat. Dia sudah tidak sanggup menghadapi segala kejadian itu.Esok hari, mereka akan kembali ke hutan.Pagi itu, si
last updateLast Updated : 2025-05-01
Read more

258. Selimut Pagi

Dimas duduk di sebelahnya. "Kamu ingat waktu dulu kita duduk seperti ini tapi sambil memegangi jimat dan pisau garam?"Lila tertawa pelan. "Dan merapal doa setiap kali angin bertiup terlalu kencang. Sekarang, angin hanya angin."Setelah sarapan, mereka mengajak Jatinegara ke ladang milik warga yang mulai dikelola bersama. Dulu tanah itu tak tersentuh karena diyakini ‘tidak bersih’, tapi kini warga mulai menanam jagung, cabai, dan kacang panjang di sana.“Tanah ini dulu menyerap banyak darah dan rahasia,” kata Pak Suroto, warga tertua di desa. “Tapi anak-anak sekarang akan menyiramnya dengan air dan tawa. Itu cukup. Lebih dari cukup.”Lila membantu menanam bibit, sementara Dimas menggali parit kecil bersama pemuda desa. Jatinegara asyik bermain tanah dengan anak-anak lain.“Dulu aku ingin pergi dari sini,” kata Lila sambil menepuk tanah. “Sekarang, aku ingin menua di sini.”Dimas memandangnya dengan mata hangat. “Kita akan menua di sini. Bersama.”Sore hari, langit mulai berwarna jingg
last updateLast Updated : 2025-05-02
Read more

259. Tangan yang Menyatu

Dalam perjalanan pulang, Lila dan Dimas mampir ke kebun warga. Beberapa anak muda sedang bangun rumah kaca kecil dari bilah bambu dan plastik bening."Lagi nyoba tanam tomat, Bu," kata salah satu dari mereka. "Sama cabai dikit-dikit."Lila jongkok, memperhatikan tanah yang baru dicangkul."Bagus. Rawat baik-baik ya. Ini bukan cuma kebun. Ini cara kita berdamai."Dimas membantu memasang atap plastik, ikut mengikat tali rafia. Saat selesai, mereka duduk di bawah pohon, menikmati air kelapa muda yang baru dipetik."Rasanya beda, ya," gumam Lila sambil menatap langit. "Bukan karena hutannya udah nggak ada, tapi karena sekarang, kita udah bisa narik napas tanpa takut."Dimas mengangguk. "Dan kita nggak sendiri lagi."Ia menggenggam tangan Lila. Di sekitar mereka, suara tawa, palu, dan cangkul menyatu jadi musik baru desa itu.Malamnya, Lila mencatat di buku hariannya:“Hari ini aku lihat wajah-wajah yang dulu takut, sekarang tersenyum. Lengan-lengan yang dulu hanya memeluk ketakutan, sekar
last updateLast Updated : 2025-05-02
Read more

260. Antara Kenangan dan Kenyataan

Mungkin memang tidak ada Dimas. Tapi ada Arif, yang dulu pernah ia cintai, yang memberinya Jatinegara. Ada dirinya yang kuat. Ada kenangan yang meskipun hanya mimpi, terasa nyata hingga akhir hayat.Hari itu, udara di Desa Misahan membawa aroma kenanga dan tanah basah. Lila duduk di kursi rotan di beranda rumah, selimut menutupi kakinya yang mulai sulit digerakkan. Di sampingnya, secangkir teh melati mengepul pelan. Suasana begitu hening, namun tidak sunyi. Heningnya menenangkan, seperti bisikan yang sudah akrab didengar selama puluhan tahun.Jatinegara sibuk menyapu halaman. Tubuhnya tinggi tegap, langkahnya mantap. Beberapa kali ia melirik ke arah ibunya, memastikan Lila baik-baik saja. Sesekali, ia melempar senyum. Lila membalasnya dengan anggukan kecil.“Bu, nanti siang aku masak sop ya,” seru Jatinegara dari kejauhan.“Jangan lupa kasih seledri,” jawab Lila pelan, suaranya mulai bergetar, tapi masih hangat.Jatinegara tertawa. “Iya, Bu. Aku ingat.”Lila menatap langit. Awan putih
last updateLast Updated : 2025-05-02
Read more
PREV
1
...
222324252627
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status