All Chapters of Milik Sang CEO: Chapter 41 - Chapter 50

Dalam perjalanan pulang, aku terdiam di kursi penumpang, memandangi jalanan malam melalui jendela. Rhino melirikku sekilas sebelum berkata, "Kamu baik-baik saja?"Aku mengangguk. "Aku gak menyangka akan seperti ini."Rhino tersenyum kecil. "Kamu baru saja mengambil langkah besar, Elea. Laura mungkin anak kecil, tapi dia tahu siapa yang benar-benar peduli padanya. Kamu melakukan hal yang benar."Aku menghela napas panjang, merasa sedikit lega. "Terima kasih, Rhino, sudah menemani aku.""Selalu," jawabnya singkat namun penuh makna.Dan malam itu, aku merasa bahwa meskipun hidup penuh dengan tantangan, aku punya seseorang seperti Rhino yang selalu ada untukku.***Setelah beberapa hari yang penuh dengan momen emosional dan kenangan indah, aku dan Rhino akhirnya kembali ke Kantor. Pagi itu, suasana terasa berbeda. Mungkin karena sekarang aku tidak hanya datang sebagai sekretaris Rhino, tapi juga sebagai istrinya.Begitu aku melangkahkan kaki ke lantai Kantor, semua mata tertuju padaku. Be

Setelah percakapan dengan Bara, aku merasa seperti beban berat menimpa pundakku. Menyimpan rahasia besar seperti ini, terutama tentang orang terdekat Rhino yang ternyata bisa mengkhianatinya, bukan hal yang mudah. Tapi aku juga tahu, jika aku tidak melakukan apa-apa, mungkin akan lebih banyak kerusakan yang terjadi.Aku kembali duduk di mejaku dan memulai pekerjaan seperti biasa, meskipun hati ini masih terasa berat. Baru beberapa saat kemudian, Rhino keluar dari ruangannya dan mendekat ke mejaku. Wajahnya terlihat lebih serius dari biasanya."Elea, ada yang ingin saya bicarakan dengan kamu," kata Rhino, suaranya sedikit lebih dalam dari biasanya. Ada sesuatu dalam nadanya yang membuat aku merasa cemas.Aku mengangguk dan mengatur napas, mencoba terlihat tenang. "Tentu, Kak. Ada apa?"Rhino duduk di kursi yang berada di sampingku, memandangku sejenak sebelum akhirnya berbicara, "saya menerima laporan tentang beberapa transaksi yang mencurigakan dalam perusahaan kita. Beberapa orang bi

Malam itu terasa begitu sunyi. Aku duduk di sofa besar, menatap layar TV tanpa benar-benar melihatnya. Hanya suara detak jam dinding yang memenuhi ruangan, mengiringi pikiranku yang kacau. Rasanya begitu berat, seolah-olah semua beban dunia menimpaku tanpa ampun. Rahasia yang baru saja aku dengar siang tadi masih terdengar jelas di telingaku, membuat hatiku tak tenang. Kebenaran itu—tentang Kakek yang mengatur perpisahan antara Rhino dan Luna—semakin mengganggu pikiran dan perasaanku.Aku tahu aku harus memberi tahu Rhino, harus memberitahunya tentang apa yang sebenarnya terjadi. Tapi aku tak bisa. Rasa takut itu begitu besar, takut jika rahasia ini akan merusak hubungan kami. Aku merasa terjebak. Seperti ada dua jalan yang harus kuambil, namun keduanya berujung pada penderitaan.Aku duduk diam, mencoba menenangkan diri, namun perasaan cemas itu tak kunjung pergi. Aku tidak bisa berhenti berpikir tentang Rhino, tentang bagaimana jika rahasia ini sampai kepadanya. Apakah dia akan memaa

Pagi itu aku membuka mataku dengan perasaan yang lebih baik. Rasa lelah dan demam yang selama beberapa hari terakhir membelengguku kini sudah lenyap. Aku merasakan tubuhku kembali ringan, seolah dunia memberiku kesempatan baru untuk menghadapi segalanya dengan semangat yang baru.Aku menatap Rhino yang masih terlelap di sisiku. Wajahnya terlihat tenang, tapi aku tahu beberapa hari terakhir ini pasti sangat melelahkan baginya. Aku tidak akan membiarkan kekhawatiran terus menguasai dirinya. Hari ini, aku berjanji pada diriku sendiri untuk bersikap seperti biasanya.Setelah sarapan bersama, aku berangkat lebih dulu ke Kantor. Dengan senyum di wajahku, aku mencoba menjalani hariku seperti biasa. Aku sibuk menyelesaikan beberapa laporan, mengatur jadwal Rhino, dan berusaha menghindari pikiran-pikiran yang menggoyahkan hatiku. Namun, seperti yang sudah kuduga, tidak ada yang bisa berjalan semudah itu....Aku sedang sibuk memeriksa dokumen di meja resepsionis ketika suasana tiba-tiba beru

Malam itu, aku merasa perasaan yang campur aduk. Aku tahu bahwa aku harus mencari waktu untuk diriku sendiri, memberi ruang untuk bisa berpikir dengan lebih jernih. Ketika aku duduk di Ruang Makan bersama Rhino, sebuah keputusan terlintas dalam pikiranku. Aku tahu ini mungkin terdengar egois, tapi aku merasa ini yang terbaik untukku saat ini. Aku perlu waktu untuk diri sendiri, jauh dari semua kerumitan yang terjadi."Kak, aku izin untuk menginap di rumah Ayah malam ini," kataku dengan suara pelan, mencoba menatap matanya.Rhino berhenti menyendok makanan di piringnya, menatapku dengan pandangan yang agak bingung. "Kenapa tiba-tiba?" tanya Rhino dengan nada lembut, seolah mencoba memahami keputusanku."Aku hanya butuh waktu sendiri, Kak. Aku butuh ruang untuk berpikir dan menenangkan diri," jawabku, berusaha sejujur mungkin. "Aku janji akan kembali besok."Rhino terdiam sejenak, seolah mencerna perkataanku. "El, kamu gakpapa? Ini pasti karena saya, kan?"Alih-alih menganggukan kepala