All Chapters of Milik Sang CEO: Chapter 51 - Chapter 60

Setelah drama galau aku dan Rhino, aku buru-buru mandi agar terlebih cantik, lalu melihat pemandangan yang tak biasa. Suamiku berdiri di Dapur bersama Jaehan. Mereka tampak sibuk menyiapkan sarapan. Rhino mengenakan kaus lengan panjang sederhana, rambutnya sedikit berantakan, tapi tetap terlihat menawan. Sementara Jaehan, dengan celemek bergambar lucu yang sepertinya terlalu kecil untuk tubuhnya, tampak mencoba memasak dengan serius.Aku menyandarkan tubuhku di pintu Kamar yang sudah tertutup, memperhatikan mereka tanpa berkata apa-apa. Rhino terlihat mengaduk sesuatu di wajan, sementara Jaehan sibuk memotong roti dengan ekspresi yang begitu serius seolah sedang melakukan pekerjaan penting."Kak Jaehan, tolong jangan hancurkan rotinya," kata Rhino dengan nada santai, tapi tegas.Jaehan meliriknya, tersenyum sambil mengangkat potongan roti yang bentuknya tidak rata. "Ini seni, tahu! Roti yang sempurna itu membosankan."Rhino hanya menggelengkan kepalanya, lalu kembali fokus pada masaka

Aku terjaga di tempat tidur, mencoba mengingat lagi kejadian sebelum aku jatuh ke jurang. Kata-kata itu meluncur dari bibirku tanpa berpikir terlalu panjang, tapi aku yakin dengan apa yang kuingat.Orang itu… dia mundur ke belakang, tepat sebelum aku kehilangan keseimbangan. Rasanya terlalu aneh untuk disebut kecelakaan.Aku menggigit bibir bawahku, menahan rasa tidak nyaman yang muncul. Apakah itu sengaja? Atau hanya kebetulan yang buruk? Tapi kalau memang disengaja, kenapa? Siapa yang akan tega melakukannya? Dan apa alasannya? Apa untuk mencelakai seseorang tidak butuh alasan?Pintu kamar terbuka perlahan, dan aku melihat Kak Rhino masuk, wajahnya penuh dengan kelelahan. Dia langsung menuju ke kursi di samping ranjangku, tanpa melepaskan pandangan dariku."Gimana rasanya? Ada yang sakit?" tanyanya lembut."Aku baik-baik saja," jawabku, meskipun rasa nyeri di tubuhku masih terasa. Aku menatapnya ragu. "Kak Rhino … soal yang tadi aku bilang .…"Dia mengangguk, menyandarkan tubuhnya ke

Aku mengerutkan kening, sesuatu apa? Lalu, dapat aku lihat Rhino mengeluarkan sesuatu dari dalam jas yang dia pakai."Untuk aku?" tanyaku, dengan mataku yang tertuju pada tangan Rhino yang memegang sebuah kotak kecil yang dia sodorkan ke arahku.Aku bisa merasakan ada sesuatu yang spesial tentang kotak itu. Rhino selalu tahu bagaimana membuat momen-momen kecil jadi sangat berarti. Dengan hati-hati, dia membuka kotak itu, memperlihatkan sebuah kalung dengan liontin kecil di dalamnya. Aku memandangnya dengan terkejut. Kalung itu begitu sederhana, namun ada sesuatu yang sangat berarti dari benda ini. Kalung itu bukan hanya sekadar perhiasan biasa, tetapi ada tulisan di liontinnya-"Rhiel"."Rhiel?" gumamku pelan, tidak bisa menyembunyikan keheranan. Aku menatap Rhino, mencari penjelasan.Rhino tersenyum lembut, seperti dia tahu keherananku akan nama pada kalung. "Itu gabungan dari nama kita. 'Rhi' dari Rhino dan 'El' dari Elea. Saya ingin kita punya sesuatu yang mengingatkan kita tentang

Perkataan Jaehan membuatku terdiam. Seperti sebuah tamparan yang keras. Aku tidak tahu harus menjawab apa, karena aku sendiri sangat bingung."Rhino mungkin mengerti tapi di balik sabarnya menunggu, ada rasa kecewa yang terpendam. Biasanya kalau seseorang terus kecewa, dia akan lelah dan akhirnya pergi. Kamu mau Rhino meninggalkan kamu?"Kata-kata Jaehan semakin menyakitkanku. Membuatku mendadak sedih jika memikirkan harus kehilangan Rhino. "Aku gak mau kehilangan, Kak Rhino. Apa yang harus aku lakukan?" Akhirnya, tanpa pikir panjang aku bertanya seperti itu."Lakukan! Rhino melakukannya karena cinta, bukan hawa nafsu. Gak ada yang perlu kamu takutkan."...Setelah melakukan pembicaraan dengan Jaehan pagi tadi di Ruang Tamu, aku sedang berpikir keras saat makan malam di meja makan bersama Rhino.Rhino dan aku duduk berhadapan di meja makan, dengan suasana yang agak hening. Makanan sudah tersaji di depan kami, tapi hatiku lebih terfokus pada pembicaraan yang terjadi pagi tadi bersama

Aku sedang duduk di kursi Ruang Makan, memandang piring yang masih setengah penuh dengan nasi goreng buatanku untuk makan siang ini. Nafsu makanku menghilang sejak pagi, rasa cemas yang terus menghantui membuat setiap suapan terasa hambar.Langkah kaki terdengar mendekat, dan tak lama kemudian Rhino muncul dari balik dinding. Dia sudah mengenakan kemeja hitam yang rapi, wajahnya serius namun tetap menunjukkan kelembutan saat menatapku."El, saya harus pergi sekarang," katanya sembari melangkah mendekat. "Bara sudah menunggu di luar."Aku mengangkat wajah, menatapnya dengan perasaan berat. "Kak, kamu yakin ini keputusan yang tepat? Bagaimana kalau sesuatu terjadi?"Rhino menghela napas panjang, lalu berjongkok di sampingku. Dia meraih tanganku, menggenggamnya erat. "Dengar, El. Saya tahu kamu khawatir, tapi saya harus melakukan ini. Saya gak bisa membiarkan orang itu lolos begitu saja setelah apa yang dia lakukan padamu.""Tapi ... kamu nggak tahu apa yang menunggu di sana. Bagaimana k