All Chapters of Milik Sang CEO: Chapter 61 - Chapter 70

Sesampainya di Kamar kudapati Rhino yang baru saja melangkah keluar dari Kamar Mandi dengan pakaian santai, rambut basah yang sedang dikeringi dengan handuk. Kami saling melempar senyum setelah keadaan tegang beberapa saat lalu yang membuat aku sedikit pun tak bisa bernafas dengan benar."Sini duduk, Kak." Sembari menepuk kasur sampingku yang sudah duduk di tepi ranjang.Saat Rhino sudah terduduk, aku langsung memberikan cangkir berisi teh manis hangat itu. Setelah pindah tangan, aku berdiri di hadapan Rhino. Mengambil handuk yang melingkar di lehernya. "Biar aku bantu." Aku mencoba mengeringkan rambut Rhino yang tengah menikmati teh.Rhino menatapku sekilas sambil tersenyum tipis, lalu menyeruput teh manis hangat yang kuberikan. "Terima kasih, El," katanya dengan suara lembut.Aku hanya mengangguk, melanjutkan mengeringkan rambutnya yang masih basah. Tanganku bergerak perlahan, memastikan setiap helai rambutnya tidak lagi menyisakan air. Momen ini terasa sunyi, namun menenangkan, seo

Aku duduk di bangku panjang di luar Ruang Perawatan Intensif, memeluk tubuh sendiri untuk menghalau rasa dingin yang menggigit, meski sebenarnya rasa dingin itu berasal dari kekhawatiran di hatiku. Rhino sedang berada di dalam, diobservasi oleh tim medis. Aku hanya bisa berdoa agar dia segera membaik.Pintu Ruang Perawatan terbuka, dan seorang Dokter keluar. Aku langsung berdiri, menghampirinya dengan langkah yang sedikit goyah."Bagaimana keadaannya, Dok?" tanyaku terburu-buru."Dia mengalami luka bakar ringan di beberapa bagian tubuhnya, terutama di lengan kanan dan pipi kirinya. Ada sedikit trauma pada paru-parunya akibat menghirup asap, tetapi sejauh ini kondisinya stabil. Dan untuk luka lainnya seperti terkena pecahan kaca, kami sudah menanganinya dengan baik. Kami akan terus memantaunya untuk memastikan tidak ada komplikasi," jelas Dokter itu dengan tenang.Aku mengangguk, merasa lega meski hati masih berat. "Boleh saya melihatnya sekarang?""Silakan, tapi jangan terlalu lama. D

"Ibu gak pernah melepas kamu.""Bohong! Buktinya Ibu menyerahkan aku sama Ayah, Ibu gak sekali pun mencoba membawa aku. Bukankah itu berarti Ibu gak peduli sama aku?! Ibu bahkan gak pernah mengunjungi aku.""Kamu tahu Elea? Kebanyakan orang yang menikah lagi, gak membawa anak mereka. Karena apa? Takutnya suami barunya itu merasa kurang nyaman atau ada rasa terganggu dan sebagainya, Ibu gak mau suami Ibu merasa seperti itu karena Ibu ingin untuk yang satu ini berhasil. Kamu juga tahu, El? Ibu beberapa kali mengunjungi kamu, tapi kamu selalu menolak untuk bertemu sampai akhirnya Ibu memilih berhenti menemui kamu karena Ibu ingin memberi waktu. Apa yang Ibu lakukan bukan karena Ibu gak peduli lagi sama kamu."Kata tiap kata yang Ibu ucapkan membuat perasaan cemas akan teror dari penelepon misterius menjadi tercampur dengan perasaan sedih, dan kecewa pada diri sendiri. Karena apa yang Ibu katakan terlihat jujur. Jadi, selama ini aku yang menjauh dari Ibu?"Kenapa Ibu gak pernah mencoba me

Aku membuka lemari, mulai menata pakaian-pakaian yang baru saja selesai dilaundry. Saat menata bagian atas, pandanganku tertuju pada sebuah kotak hitam besar yang selalu ada di sudut lemari itu. Selama ini aku tak pernah memedulikannya, mengira itu hanya kotak penyimpanan biasa. Tapi kali ini, rasa penasaranku mengalahkan segalanya.Aku menarik kotak itu keluar dan meletakkannya di atas tempat tidur. Tanganku dengan pasti membuka kotak itu. Di dalam kotak itu, aku menemukan banyak foto, beberapa barang kecil, dan sebuah boneka kelinci biru yang langsung mencuri perhatianku.Aku mengambil boneka itu. Rasanya seperti aku mengenal boneka itu-boneka ini sangat mirip dengan boneka kelinci pink yang selalu menemaniku. Bedanya hanya pada warna. Bagaimana Rhino bisa memiliki boneka itu? Pemberian orang? Atau seseorang seperti Rhino menyukai boneka kelinci seperti itu? Tidak terlalu penasaran, aku memasukkan kembali boneka ke dalam kotak.Ketika aku baru saja menutup lemari, datang Rhino dari

Aku menatap Rhino yang berdiri di depan pintu ruangannya. Matanya terlihat penuh harap. Berjalan ke arahku. "Elea, hari ini kita makan siang bersama, ya? Ada tempat baru yang ingin saya coba bareng kamu."Aku tersenyum tipis dengan perasaan yang sebenarnya tidak tega menolak Rhino. "Maaf, Kak. Aku sudah janjian makan siang sama Inna hari ini. Mungkin besok, ya?"Wajah Rhino sedikit berubah kecewa, tapi dia mengangguk. "Baiklah. Selamat menikmati waktu dengan Inna." Lalu, tersenyum yang dapat aku pastikan untuk menutupi rasa kecewanya.Begitu Rhino pergi, aku menarik napas panjang. Kebohongan ini terasa menyakitkan, tetapi aku tidak punya pilihan lain. Pertemuan ini terlalu penting untuk dilewatkan....Aku melangkah cepat menuju sebuah Restaurant yang lumayan jauh dari Kantor. Lokasinya tersembunyi, dan aku yakin Rhino tidak akan mencurigaiku. Bara sudah menungguku di salah satu sudut Restaurant dengan ekspresi serius."Maaf, saya terlambat," kataku, duduk di depannya.Bara menatapk