Lahat ng Kabanata ng Kubawa Maduku dalam Kesengsaraan: Kabanata 31 - Kabanata 40

“Baiklah, aku tidak akan meminta Harun melaporkan keuangan. Kamu saja yang lapor, tapi tiap hari, ya!” ucap Felicia sambil tersenyum, terlihat Hanan menarik napas lega.“Nanti malam kita jadi makan di luar ya?” tanya Hanan.“Aku mau pulang habis ini. Kamu mau ikut?” tanya Felicia.“Kenapa mendadak pulang? Katamu masih ingin berhari-hari di sini?”“Tidak, aku berubah pikiran. Kasihan sama Abizar tidak ada teman.”“Aku akan antar kamu. Kita pulang bersama. Suruh Adi buat pulang naik kereta saja. Nanti aku balik kesini pakai kereta.”Felicia menatap Hanan lama. Ia merasa kehilangan sosok yang sangat melindungi dan mengayomi selama beberapa bulan ini.“Maaf aku sudah mengabaikanmu karena terlalu sibuk dengan pekerjaan di sini. Aku akan menghabiskan waktu satu minggu di sana, biar Abi bisa sekolah. Harun yang akan mengurus toko,” kata Hanan kemudian.Felicia hanya mengangguk pasrah. Mereka lalu pulang bersama untuk mengemasi barang.“Kamu berkemas saja, aku akan mengantar Adi ke stasiun,”

'Hanan? Istri pertama? Piknik? Apakah lelaki yang dimaksud adalah suami Kak Felicia?’ tanya Veronica dalam hati.“Mbak Safira tidak menghubungi?” tanya Salamah.“Tidak, Mas Hanan sudah bilang, saat sedang bersama dengan istri pertamanya, aku tidak boleh menghubungi. Entahlah, Mbak, mungkin mulai nyaman lagi sama istrinya dan lupa sama aku.”“Jangan begitu, nanti kalau kesini lagi pasti ingat sama Mbak Safira.” Salamah berjalan menuju ruang tamu.Veronica masih berdiri mematung, bingung hendak melakukan apa karena kedua orang yang baru ia kenal tidak menyuruh melakukan apapun. Selain itu, ia tidak menyangka jika kedatangannya pertama kali langsung bisa mencari informasi yang dibutuhkan Felicia.‘Apakah maksudnya Safira itu istri kedua Kak Hanan?’ tanya Veronica dalam hati.“Ah, kamu kenapa berdiri di situ? Ayo kesini, kamu tuang air ke gelas ya!” perintah Safira. “Oh iya, aku panggil kamu apa ya? Sepertinya kamu masih imut,” katanya lagi.“Eh, anu, panggil saja aku Vero,” jawab Veroni

“Kamu mau bawa pulang koper naik apa?” Hanan bertanya membuat Safira menghentikan langkah.“Pakai motor, Mas. Aku sudah terbiasa membawa barang pakai motor.”Hanan berjalan cepat mendahului Safira. “Mandilah! Tubuh kamu bau bumbu dapur. Di hadapan suami harus terlihat cantik. Satu lagi, setelah ini siapkan makan dan kita makan bersama. Aku mau berbaring sebentar,” katanya sambil membawa koper masuk kembali ke kamar.“Mas, jangan permainkan perasaanku!” kata Safira lirih, tetapi masih terdengar. “Aku sudah niat mengikhlaskan Mas.”Hanan kembali berjalan menuju Safira. “Maaf, aku hanya perlu waktu untuk bisa sendirian beberapa saat. Tidak dengan kamu, tidak juga dengan Felicia. Aku baru sadar, poligami itu tidak semudah yang ku bayangkan. Sangat rumit dan membuat kepala pusing. Meski begitu, pernikahan kita bukan sebuah mainan yang dengan mudah disudahi. Kamu tahu, Safira? Masing-masing dari kalian memiliki tempat dan makna yang berbeda di hatiku, jadi jangan pernah membandingkan kamu d

“Kalau Mas keberatan, Mas pilih saja sesuai kemampuan. Aku tidak memaksa.”“Safira, jujur aku bingung mau menggunakan uang yang mana, karena Felicia sudah mengecek semua pendapatan toko. Ia bahkan tak segan meminta langsung sama Harun,” kata Hanan jujur.“Mas maaf bukannya ikut campur. Aku tidak masalah mau ambil yang harga murah atau tinggi, tapi ini tentang harga diri Mas sebagai lelaki. Mas selama ini capek mengembangkan toko, mencari pembeli, meningkatkan penjualan, tapi seolah semua uang milik Mbak Feli. Mbak Feli yang atur semuanya. Mas suami, Mas kepala rumah tangga, dimana letak Mbak Feli menghargai Mas? Mas tak ubahnya pembantu yang bekerja tanpa bayaran. Maaf, Mas, sebagai sesama istrimu aku tidak rela kamu diperlakukan seperti ini sama Mbak Feli. Ingat ya, Mas! Ini bukan masalah biaya resepsi pernikahan, tapi ini tentang harga diri Mas. Aku tidak jadi diadakan resepsi juga tidak masalah Mas. Tapi kamu berhak mengatur dan memiliki apa yang sudah kamu perjuangkan selama ini.

Hanan berlari mengejar Safira dan membujuk wanita itu agar mau diantar. Sebagai upaya untuk menebus kesalahannya, ia juga mengajak Nayma bermain ke pusat perbelanjaan. Lelaki itu bersikap layaknya seorang ayah, sementara Safira masih diam tidak mau berbicara.“Nanti pulang ke rumah Bunda dan Ayah ya, Nay?” tanya Hanan saat mereka makan bersama. Ia melirik Safira yang masih terdiam dan acuh terhadapnya.“Emang boleh? Kata Bunda, aku jangan ikut Bunda ke rumah baru karena nanti mengganggu suami Bunda,” jawab Nayma jujur.“Bunda ngarang cerita,” tukas Hanan sambil menatap tajam Safira yang belum mau memandangnya.“Aku di rumah saja bareng sama Eyang. Aku gak papa ditinggal sama Eyang yang penting Bunda bahagia,” ujar Nayma.Ada rasa bersalah yang hadir dalam hati Hanan karena merasa kalau dirinya belum bisa menjadi sosok ayah yang sesungguhnya untuk Nayma.“Safira, aku mau buah. Di sini gak ada buah, tolong belikan aku buah,” perintah Hanan.Safira masih duduk tak beranjak.“Safira, ini