All Chapters of Dekapan Panas Ceo Arrogant: Chapter 111 - Chapter 120

“Harry!” “Kau tidur saja lebih dulu.” Laura menatap Harry yang sedang memakai sweater dengan tergesa-gesa. Tiba-tiba saja, rasa resah melanda hatinya saat melihat Harry bergegas pergi ke rumah besar keluarga Thompson. “Tidak masalah jika aku tidak ikut?” Harry menghampiri Laura yang duduk dengan gelisah di depan meja rias. Pria itu tersenyum seraya mengusap kepala Laura dengan lembut. “Hari ini kau istirahat saja dulu. Aku akan membicarakan semuanya pada Mama.” “Tapi, bagaimana jika—“ “Semua akan baik-baik saja. Percaya padaku.” Laura menghela napas panjang. Telepon dari ibu mertuanya tadi benar-benar membuat hatinya kembali gelisah. Hatinya menjadi takut. Bagaimana jika ibu mertuanya itu meminta Harry untuk meninggalkannya? Harry merunduk—berjongkok di hadapan Laura seraya memegang tangan wanita itu. “Percaya padaku, semuanya akan baik-baik saja.” “Harry, aku mencintaimu.” “Ya, aku tau itu, dan aku pun sama. Bahkan, aku jauh lebih mencintaimu.”"Tolong jangan tinggalk

"Kau mencintai putraku?" tanya Nyonya Thompson yang berhasil membuat Laura terpaku. Laura tidak tahu harus menjawab apa. Dia takut, terlalu takut sampai tak bisa mengeluarkan isi hatinya sekarang. Mendapati keheningan, Nyonya Thompson menghela napas dengan panjang lalu kembali menatap Laura yang tampak kacau di depannya. “Kenapa kau pergi saat itu?” Laura meremas jari jemarinya yang ada di bawah meja. Suka atau tidak suka, dia sudah menduga pertanyaan ini akan muncul, begitu dia memutuskan untuk kembali masuk ke dalam kehidupan keluarga Thompson. “Aku takut,” jawab Laura, pelan bahkan nyaris tak terdengar. “Waktu itu, aku pergi sebentar hanya untuk menenangkan diri awalnya, tapi setelah berita tentang percakapanku di kafe tersebar, aku semakin takut untuk kembali.” “Apa yang kau takuti? Harry?” Laura mengangguk pel

“Hari ini aku pulang sore," ucap Harry sembari mengelus kepala Laura dengan lembut. Laura yang sedang membantu Harry memasang dasi, tersenyum dan menganggukkan kepalanya dengan antusias. “Janji?” “Janji. Semua pekerjaanku yang kemarin tertunda sudah selesai. Jadi, aku tidak perlu lembur lagi.” “Awas kalau kau ingkar janji lagi.” “Tidak, Sayang.” Harry mencubit pipi Laura dengan gemas, dan tanpa jeda dia langsung beralih pada bibir ranum milik istrinya. Menciumnya dalam waktu singkat, tetapi mampu membangkitkan gairah dalam tubuhnya mereka. “Aku berangkat sekarang, ya.” Laura mengangguk. Dia memejamkan mata ketika Harry mendekatkan tubuhnya, dan mencium kening wanita itu sebelum berlalu. Musim dingin sudah usai. Kini daun-daun dan pepohonan yang sebelumnya mati, mulai tumbuh dan menyebarkan aroma harum. Laura melambaikan tangannya dengan senyum lebar ketika mobi

Laura menganggukkan kepalanya dengan cepat. “Ya, aku pasti akan datang jika sudah waktunya.” Nyonya Green tersenyum haru. Dia tak henti-hentinya mengusap air mata yang membasahi pipinya. Tak apa jika Laura belum bisa memaafkannya sekarang. Setidaknya putrinya itu masih memberikan dia satu kesempatan lagi. “Boleh Mama memelukmu?” Laura mengangguk. Ketika Nyonya Green memeluknya, air mata Laura tak bisa dibendung lagi. Baru kali ini Laura bisa merasakan bagaimana rasanya bernapas dengan lega. Bagaimana nyamannya pelukan seorang ibu, apalagi saat ibunya mengusap punggungnya dengan lembut. Laura melepaskan pelukannya. Tangannya mengusap air mata di pipi dengan kasar, setelah itu dia langsung mengambil tas dan meninggalkan Nyonya Green begitu saja—tanpa permisi. Bukan karena masih membenci ibunya. Hanya saja, ini semua terlalu mendadak bagi Laura. Ini semua terasa seperti mimpi dan tak nyata. Jika ini semua hanya sebuah mimpi, Laura harap dia bisa segera bangun.

Laura menatap gedung Sky Hotel's dengan helaan napas yang terasa berat. Setelah sekian lama, setelah dia memutuskan berhenti bekerja bersama Harry waktu itu, ini adalah kali pertama dia kembali menginjakkan kaki di tempat ini lagi. Sebelumnya, Harry yang memintanya datang ke sini. Pria itu bilang dia merindukan Laura dan ingin bertemu. Padahal Laura sudah memintanya untuk pulang, tetapi Harry berkilah dengan mengatakan dia punya banyak pekerjaan. “Nyonya sudah sampai? Mari saya antar ke atas.” Laura tersentak kaget ketika melihat Ethan sudah datang menghampirinya. Tanpa banyak bertanya dia segera mengikuti langkah kaki pria di hadapannya ini. Di dalam lift, suasana hening tercipta, membuat Laura baru teringat akan sesuatu. “Ethan!” “Ya, Nyonya butuh sesuatu?” Laura menggeleng pelan. Dia melihat ke arah Ethan yang bahkan takut-takut melihat ke arahnya. “Jangan panggil aku nyonya, Ethan. Panggil Laura saja, seperti biasa.” “Tidak bisa. Tuan akan marah ji