“Tuan, tolong aku sekali ini saja. Aku janji akan membayar hutang budiku dengan apa pun.” Laura mencengkram erat lengan pria asing di sampingnya. Dia berjanji akan melakukan apa pun, agar tidak tertangkap oleh para pengawal ayahnya. “Apa pun?” "Ya, apa pun itu." Namun, siapa sangka jawaban Laura membuat hidup wanita itu jungkir balik. Dia meminta tolong pada orang yang salah! (Spin-off novel 30 Hari bersama Ceo Angkuh)
Lihat lebih banyakDi salah satu hotel bintang lima, keluarga Green sedang mengadakan pesta pernikahan dengan mewah.
Hanya saja, Laura justru berdiri di depan pintu besar dengan tubuh gemetar dikarenakan amarah. Bagaimana bisa kakaknya justru melangsungkan pernikahan dengan tunangan Laura? Dikumpulkannya keberanian untuk menemui keduanya yang kini tersenyum lebar di sana. “Selamat malam semuanya,” ucap Laura dengan lantang yang langsung meredam kebisingan pesta. Meski demikian, Laura tak peduli. Bahkan, pada tatapan penuh tanda tanya dari para tamu undangan yang hadir di sana. “Laura, sedang apa kau di sini?” tanya Nyonya Green, begitu sadar apa yang sedang terjadi. Tatapannya begitu tajam, terlebih pada gaun merah dengan belahan dada rendah milik Laura, yang seolah memberi tahu bahwa dia adalah wanita lain dari pengantin pria saat ini! Alih-alih takut, Laura justru tersenyum dan terus berjalan menghampiri Caroline dan Sam yang tampak panik. “Cukup menarik sekali, ya hari ini. Pernikahan yang sangat sempurna, tapi sayang ….” Laura menghentikan kalimatnya. Dia menatap satu per satu anggota keluarganya yang ada di sana. “Seharusnya aku yang menjadi pengantin wanita di sini.” “Laura!” panggil ayahnya, murka, “Turun atau kau ingin—” “Kenapa pengantin wanitanya harus diganti, ya?” tanya Laura dengan tatapan yang penuh rasa sakit. Setelah itu, dia kembali menatap Sam yang masih diam saja. “Padahal aku tidak sakit seperti yang kalian katakan di luar sana. Aku sehat sekali.” “Oh, ya, Sam. Apa kau tidak ingin menjelaskan kenapa pengantin wanitamu diganti?” Pertanyaan Laura selanjutnya membuat wajah Sam memucat. “Laura, kita akan bicarakan ini nanti,” ucap pria itu mencengkeram tangan Laura dan memintanya untuk segera turun. “Ini hari pernikahan kakakmu. Jadi, sebaiknya jangan mengacau!” “Mengacau?” Ulang Laura, lalu tertawa begitu keras, “Kau yang sudah mengacaukan hidupku, Sam. Setelah kutolak saat kau mengajakku tidur bersama, kau justru beralih kepada kakakku. Padahal seharusnya hari ini aku yang menjadi pengantin wanitamu, tapi bisa-bisanya kau membatalkannya dengan mudah kemarin?" Dari sudut mata, Laura dapat melihat wajah kakaknya yang masih pura-pura tak bersalah. Bahkan, memasang wajah sedih untuk dikasihani. Cukup sudah. Laura tidak peduli lagi dengan nama keluarganya sekarang. Kebetulan di saat yang sama, salah satu pelayan lewat sembari membawa gelas-gelas berisi champagne. Sebuah ide pun muncul di kepala Laura. Byur! “Laura!” teriak Caroline seketika karena gaun putih miliknya basah dengan champagne. “Selamat menikah dan mengambil sampah bekas milikku, Kak,” ujar Laura sebelum melemparkan gelas kosong tadi ke atas lantai. “Kau—” Caroline menggantungkan ucapannya. Dia menatap Laura dengan marah. “Kau akan terima akibatnya nanti, Laura!” “Aku tunggu,” ucap Laura dengan senyum menantang. Perbuatan itu jelas membuat tamu terkesiap. Beberapa bahkan mulai memvideokan kejadian memalukan keluarga yang cukup ternama itu. Namun, Laura tetap santai dan langsung berbalik. Hanya saja, beberapa pengawal ayahnya ternyata berusaha mendekat. “Cepat tangkap anak sialan itu!” Deg! Mendengar teriakan ayahnya, Laura bergegas lari. Tak lupa disingsingkan gaunnya yang menjuntai dan melepas heels setinggi 10 cm yang dikenakan. Sungguh, dia tidak mau jika harus berakhir dikurung di dalam kamar sialan itu lagi! Untungnya, tubuh kecilnya membuat gerakan wanita itu semakin gesit. Matanya awas untuk memikirkan jalan yang harus dipilih. Sayangnya hingga di lobi hotel, para pengawal ayahnya masih terus mengejar. Padahal, wanita itu sudah mulai lelah, bahkan kesulitan bernapas. “Kumohon, kumohon. Sekali ini saja, kumohon,” ucap wanita itu dengan menutup mata, berdoa untuk keselamatan dirinya sendiri. Entah bagaimana saat dia membuka mata, tatapan Laura langsung mengarah pada punggung lebar milik seorang pria yang memakai kemeja putih. Mata wanita itu terbelalak senang melihat sosok yang familiar di depannya. Tanpa pikir panjang dia segera berlari mengejar. “Jackson!” teriak Laura begitu berhasil memegang kemeja pria itu, “tolong aku.” Hanya saja, mata biru Laura langsung melotot begitu melihat jika pria di depannya bukan temannya sejak kuliah! Ia begitu panik, terlebih kala seorang pengawal ternyata berhasil mencengkram tangan Laura. “Ayo, Nona. Dia bukan Tuan Jackson.” “Lepaskan!” Laura menggeleng kuat. Dicobanya mencari cara lain dan …. “Sayang,” panggilnya cepat, lalu memeluk lengan pria asing itu. “Tolong aku. Mereka ingin menculikku?” “Menculik?” Suara bariton itu membuat Laura sedikit terkejut, tetapi dia berhasil mengendalikan diri dan mengangguk cepat. Bahkan, Laura lansgung berbisik kepada pria asing itu. “Tuan, tolong aku sekali ini saja. Aku janji akan membayar hutang budiku dengan apa pun.” “Apa pun?” Melihat respons pria asing itu, Laura mengangguk cepat. Dia harus kabur dari sini segera. Tak peduli apapun yang harus dibayarnya di kemudian hari. Hanya saja, dia tak menyangka dengan apa yang pria itu lakukan ….Laura menatap kosong pada butiran salju yang jatuh, dan meleleh membasahi kakinya yang telanjang. Dia pergi dari rumah Keluarga Green seperti orang yang kehilangan akal, hingga lupa dengan kakinya yang tak memakai apa pun. Dia duduk di halte bus seperti orang yang kehilangan arah, bukan hanya pulang, tetapi juga arah hidup yang entah ke mana. Setelah ini ... harus ke mana lagi dia pulang? Masih adakah tempat yang bisa disebut sebagai rumah? Apa masih ada orang yang bisa dia percaya setelah semua pengkhianatan yang berkali-kali? Ponsel milik Laura bergetar, membuat wanita itu menoleh untuk melihatnya. Sebelumnya, nama Harry terus muncul di layar ponsel. Namun, Laura memilih untuk mengabaikannya begitu saja. Bukan karena tidak suka, dia hanya terlalu takut dengan semua pertanyaan yang mungkin akan pria itu tanyakan padanya. Laura butuh waktu. Butuh udara untuk bisa bernap
“Antonio!” panggil Tuan Green saat melihat putra sulungnya pergi hendak menyusul Laura. Antonio berhenti dan langsung berbalik—menatap Tuan dan Nyonya Green dengan perasaan benci. Ini semua karena keegoisan kedua orang tuanya, karena mereka juga sekarang Laura pergi entah ke mana. “Kalian belum puas menyakiti Laura?” teriak Antonio. Wajahnya memerah, menandakan jika dia begitu marah. Kali ini, semua orang yang ada di rumah tidak ada yang bisa dimaafkan, termasuk Caroline. Nyonya Green menatap putranya dengan bingung. “Apa maksudmu? Dia pergi dari rumah untuk kembali ke rumah suaminya. Lalu apa yang kami lakukan hingga harus menyakitinya?” “Kau mabuk, Antonio?” tanya Tuan Green yang masih duduk dengan tenang, bahkan setelah melihat Laura pergi dengan kondisi berantakan tadi. “Apa kalian tidak bisa meminta Caroline untuk menutup mulutnya?" Antonio menatap orang tuanya secara bergantian dengan
Harry merasa tidak tenang sejak kepergian Laura tadi, apalagi sampai saat ini wanita itu belum membalas pesannya sama sekali.“Mungkin urusannya belum selesai,” lirih Harry mencoba menenangkan diri sendiri.Namun, sepertinya semua itu tidak benar-benar bisa menenangkan dirinya. Sudah beberapa kali dia mencoba menghubungi Laura, tetapi wanita itu tidak juga menjawabanya.“Apa dia lupa caranya mengangkat telepon?” Harry begitu kesal, tetapi jauh di dalam hatinya dia merasa kalut.Entah mengapa pikirannya tidak tenang. Apalagi dia tahu Laura pergi menemui kakaknya untuk mencari tahu tentang masa lalunya.Apa wanita itu baik-baik saja?Menunggu, adalah kegiatan yang membosankan, tetapi Harry tak punya pilihan lain karena Laura yang memintanya untuk tidakmenghampirinya.Namun, ini sudah lebih dari lima jam. Matahari juga hampir condong di ufuk barat. Jadi, harus berapa lama lagi Harry menunggu?Laura tidak membalas pesannya, tidak juga menjawab teleponnya.“Aku harus mencarinya!” Harry se
“Kau pasti berbohong, kan, Carol?” tanya Laura dengan wajah tak percaya. Detik berikutnya, wanita itu tertawa keras.Dia memang tahu jika ayahnya sangat membencinya, tetapi Laura sama sekali tidak menyangka jika Caroline akan mengatakan hal seperti ini.“Memangnya wajahku terlihat seperti pembohong?”Laura menggeleng—dia masih tidak percaya. “Kau bicara omong kosong, Carol. Aku tidak mau mendengar kekonyolanmu lagi!”Akhirnya, Laura berdiri. Dia segera mengambil tas yang ada di atas meja untuk segera pergi meninggalkan Carol. Dia tidak mau mendengar apa pun yang kakaknya katakan lagi.“Kau mau ke mana, Laura?”“Aku akan pulang. Aku sudah membuang waktu hanya untuk omong kosongmu saja.”Laura melangkahkan kakinya, tetapi baru satu langkah Caroline kembali menghentikannya.“Kalau kau anggap aku pembohong, tanyakan saja pada Antonio.”Laura menoleh, dia menatap Caroline yang tampak sangat serius. Wanita it
Laura duduk dengan gelisah—menanti kedatangan Caroline yang sudah terlambat tiga puluh menit.Mereka berdua sudah sepakat untuk bertemu di salah satu kafe yang dekat dari kediaman Keluarga Green.Selain untuk menjaga rahasia ini, Laura juga belum ingin bertemu dengan ayah dan ibunya. Apalagi jika harus mendengar mereka memohon untuk membuat Harry membantunya.Lagi-lagi Laura melihat jam yang ada di ponselnya. Dia sudah menyiapkan ponsel di atas meja—membuat rekaman sebagai bukti, jaga-jaga jika suatu saat nanti Caroline menyangkal kembali ucapannya hari ini.Satu jam berlalu. Wanita bermata biru itu masih setia menunggu kedatangan kakaknya. Dia harus tahu semuanya hari ini juga.Dua jus jeruk sudah hampir kandas, Laura tampak begitu frustrasi. Menghubungi Caroline juga tidak ada jawaban atau balasan sama sekali.Sampai akhirnya, ketika Laura hendak berdiri—meninggalkan kafe barulah dia melihat sosok yang perutnya sudah sedikit me
Malam terakhir di Hawaii menyambut mereka dengan langit yang cerah. Bulan purnama tampak begitu jelas di lihat dari balkon kamar pasangan suami istri itu.Laura duduk di kursi rotan—di balkon kamar mereka dengan cardigan tipis, dan membiarkan rambutnya yang tergerai berterbangan karena angin laut.Kini hatinya mulai membaik, ketika dia mulai mencoba menerima kehadiran Harry. Bukan dalam kata biasa tentang kehadiran pria itu, tetapi hadirnya pria itu dalam hatinya.Harry muncul dengan membawa dua kaleng bir yang dingin.“Mau bir?” tawar Harry, sembari menyodorkan satu kaleng bir pada Laura.“Apa kita akan mabuk untuk merayakan malam terakhir di Hawaii?” tanya Laura dengan senyum tipis, yang langsung diangguki oleh Harry.“Hanya satu kaleng, tidak akan membuatmu mabuk.”Laura mengangguk. Dia segera membuka kaleng bir itu dan langsung meminumnya. Kini keduanya menatap laut yang sama.“Laura, apa kau tau? Sebelum da
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen