Lahat ng Kabanata ng Rahim untuk Putri Tuan Presdir: Kabanata 21 - Kabanata 30

Ayla bangun dengan kepala yang masih sedikit berat, mungkin efek dari prosedur sebelumnya atau sekadar kelelahan emosional setelah hari yang panjang. Matanya berkedip beberapa kali sebelum akhirnya menyesuaikan diri dengan cahaya lembut di ruang pemulihan.Ketika ia menoleh ke samping, seorang perawat tersenyum hangat. "Nona Ayla, bagaimana perasaan Anda sekarang?"Ayla menarik napas pelan. "Lebih baik... hanya sedikit pegal.""Itu wajar. Anda perlu istirahat cukup, ya?" Perawat itu memeriksa tekanan darahnya sebentar sebelum kembali berbicara. "Oh, dan Bu Maya sudah dipindahkan ke ruang rawat. Anda bisa menjenguknya sekarang jika merasa cukup kuat."Ayla langsung berusaha bangkit, meskipun tubuhnya masih terasa sedikit lemah. "Benarkah? Bagaimana kondisinya?""Operasinya berjalan lancar. Sekarang tinggal masa pemulihan."Rasa lega menyelimuti Ayla. Ia berterima kasih pada perawat itu sebelum pelan-pelan turun dari tempat tidur. Langkahnya masih sedikit goyah, tapi semangatnya untuk b

Ambulans melaju dengan kecepatan tinggi menuju rumah sakit. Di bagian belakang, Raka terus menggenggam tangan Ayla selagi staff ambulans melakukan pertolongan pertama. Kekhawatiran memenuhi hatinya."Kamu akan baik-baik aja, Ay. Bertahan, ya," gumamnya lirih. “Kumohon, kamu harus bertahan.”Begitu sampai di rumah sakit, para petugas dengan sigap mendorong brangkar, membawa Ayla menuju ruang gawat darurat. Seorang dokter wanita datang, menutup tirai dan mulai menangani kondisi Ayla. Sementara itu, Raka hanya bisa menahan napas, menunggu di ambang pintu.Raka berdiri di luar ruang perawatan, mengacak rambutnya dengan frustrasi. Keringat dingin membasahi tengkuknya. Pemuda itu berdoa berkali-kali, ‘Semoga Ayla baik-baik saja.’Saat itu, suara langkah cepat terdengar di koridor. Raka menoleh dan melihat Leonard berjalan cepat dengan wajah tegang.Begitu tiba di hadapannya, Leonard langsung mencengkeram kerah bajunya."Apa yang terjadi?!"Raka tidak gentar. Ia balas menatap mata tajam Leon

Cahaya matahari menyusup masuk dari sela-sela jendela, menyentuh wajah Ayla yang masih terlelap di sofa. Udara pagi terasa dingin, tapi entah kenapa dada Ayla terasa lebih hangat daripada biasanya. Perlahan, kelopak matanya terbuka. Pandangannya masih buram sesaat, sebelum akhirnya ia sadar berada di ruangan yang asing.Dia butuh beberapa detik untuk mengingat kembali kejadian semalam. Raka membawanya pergi. Mereka menghabiskan waktu berbicara, atau lebih tepatnya—Ayla yang berbicara, dan Raka yang mendengarkan. Setelah semua yang terjadi, akhirnya ia bisa menumpahkan segala beban yang selama ini ia pendam sendiri.Ayla mengangkat tubuhnya dari sofa. Rumah ini terasa kosong, dan memang seharusnya begitu. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Raka. Sebagai gantinya, di atas meja kecil di dekat sofa, ia menemukan sekotak nasi yang masih hangat, beberapa lembar uang kertas, dan sebuah ponsel sederhana yang sepertinya milik Raka.Ada secarik kertas di sampingnya. Tulisan tangan Raka tertulis r

Leonard mengangkat kepalanya, mata tajamnya kini menatap langsung ke dalam mata Ayla. “Kamu sudah bangun,” gumamnya pelan, tapi tetap dengan nada datarnya yang khas. “Kau menggeliat terus dalam tidur, aku pikir perutmu sakit sekali. Dokter bilang, dengan kondisimu, kemungkinan haidmu akan lebih parah daripada biasanya.”Ayla tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Ketika membuka selimut dan mengambil alih bantal kompres dari tangan Leonard ia menyadari dirinya sudah mengenakan piyama bersih. Baru saja ia hendak bertanya, tapi Leonard sudah membaca pikirannya.“Tadi kamu tidur masih mengenakan baju kemarin karena kita tidak jadi membeli baju baru di jalan. Makanya aku menyuruh seorang staff wanita mengganti bajumu dengan piyama, agar tidurmu lebih nyenyak. Jangan berpikir macam-macam,” katanya dengan nada malas. “Aku tidak bertindak aneh-aneh.”Ayla ingin membantah, tapi kepalanya terlalu berat untuk berdebat. Alih-alih berbicara, ia justru menutup matanya lagi. Nyeri di perutnya masih

Pagi itu, Ayla menatap bayangannya di cermin. Rambutnya ia ikat longgar, mengenakan kemeja putih dengan celana kain krem. Tidak ada yang berlebihan, tapi cukup nyaman untuk pergi ke taman dan melukis.Sejujurnya, ia tidak tahu kenapa ia setuju ikut. Mungkin karena ia memang butuh keluar dari rutinitas. Atau mungkin… karena ada bagian kecil dari dirinya yang ingin kembali menjadi Ayla yang dulu.Leonard—yang entah kenapa mulai tinggal di kamar lain apartemen Ayla—sudah berangkat ke kantor sebelum ia bangun, menyisakan pesan singkat di ponselnya.‘Jangan lupa sarapan.’Sesederhana itu. Tanpa tambahan kata-kata lain. Ayla menghela napas pendek. Pria itu memang selalu seperti itu—tidak pernah mengatakan lebih dari yang diperlukan.Namun, tetap saja… ada sesuatu dalam pesannya yang membuat Ayla merasa diperhatikan.Ia mengabaikan pikirannya sendiri dan meraih tasnya. Beberapa menit kemudian, ia sudah berada di dalam taksi menuju taman tempat Raka menunggunya.Begitu ia tiba, Raka sudah dud