Ketika Ayla mulai putus asa mencari uang untuk pengobatan ibunya, Leonard Statham, presiden direktur Altara Holdings, datang membawa kesepakatan yang aneh dan tak masuk akal. Ia akan memberi perawatan terbaik untuk ibu Ayla. Sebagai gantinya, ia ingin Ayla melahirkan seorang putri untuknya. Dibawah kontrak yang sah, akankah rencana mereka berjalan seperti yang diinginkan?
view more"Saya ingin kamu melahirkan seorang putri untuk saya."
Ayla secara refleks menampar pria asing yang memperkenalkan diri sebagai Leonard itu, lalu mundur beberapa langkah. Sulit dipercaya seseorang dengan tampilan begitu elegan, berwibawa, serta dibalut pakaian mahal seperti Leonard bisa begitu rendahan. Ia menyesal tidak menolak saat pria itu bilang ingin membicarakan hal penting dengannya.
Ia memasang ancang-ancang untuk membela diri, bersiap andai kata Leonard menyerangnya.
"Sebaiknya Anda tidak macam-macam. Sekali aku berteriak, orang-orang dari rumah sakit pasti akan langsung mengepungmu," ancam Ayla sambil menunjuk gerbang rumah sakit tidak jauh di belakang Leonard.
"Saya tidak bermaksud buruk." Leonard mengusap rahangnya yang agak memerah bekas tamparan. Ia kemudian menyerahkan selembar kertas kecil pada Ayla, sebuah kartu nama.
"Presiden direktur Altara Holdings?" Ayla tersenyum miring membacanya. "Apa Anda pikir saya orang bodoh? Kertas seperti itu saja, saya juga bisa mencetaknya sendiri. Dengan begitu saya bisa jadi presiden Amerika Serikat dalam semalam."
Leonard tidak tampak tersinggung oleh cemoohan tersebut. Altara Holdings adalah perusahaan multikonglomerasi terbesar di negara Solverra. Posisi presiden direktur bukanlah posisi sembarangan. Bagi orang biasa seperti Ayla, bertemu dengannya pasti butuh keberuntungan besar.
"Ini kartu nama asli. Kamu bisa me-scan nya di situs web asli perusahaan Altara Holdings," ucap Leonard. "Seharusnya foto saya juga akan muncul nanti. Coba saja kalau tidak percaya."
"Bahkan jika benar, itu tidak mengubah fakta bahwa Anda orang mesum," ketus Ayla. Ia tidak ingin percaya, tapi ucapan Leonard tampak meyakinkan hingga dia menurunkan kewaspadaannya tanpa sadar.
Ayla diam-diam membuka situs web resmi Altara Holdings untuk memeriksa apakah benar pria di hadapannya adalah seorang presiden direktur.
"Saya tidak suka basa-basi, karena itu saya mengatakan tujuan saya secara langsung. Saya ingin kamu melahirkan seorang putri untuk saya, bukan berarti saya akan membiarkan kamu terlantar setelahnya. Saya bisa bertanggung jawab, dan memenuhi semua kebutuhan kamu. Apakah itu disebut mesum?"
"Sebentar. Apa maksudnya Anda sedang melamar saya?" Ayla menahan napas saat membaca hasil pencarian web benar-benar menunjukkan bahwa Leonard adalah seorang presiden direktur.
"Saya akan jujur, saya tidak tertarik pada pernikahan, tapi jika itu adalah syaratnya, saya bisa langsung menikahimu," ujar Leonard dengan wajah serius. "Saya tidak bisa janji itu akan menjadi pernikahan impian semua orang. Hanya saja, saya pastikan tidak akan ada wanita lain."
"Kamu melamar seorang wanita dengan cara seperti itu?" Kepercayadirian Leonard justru membuat Ayla berpikir bahwa dia adalah orang yang angkuh. Agak menjengkelkan.
"Saya akan menyuruh orang membawakan cincin."
"Tidak perlu," tolak Ayla. "Bahkan jika anda melamar saya dengan cara yang benar, saya tetap akan menolaknya. Pernikahan itu bukan sesuatu yang boleh dipermainkan. Saya hanya akan menikah sekali seumur hidup, dengan pria yang saya cintai."
"Tidak menikah juga tak masalah." Leonard menahan lengan Ayla yang hendak meninggalkannya. Ia terbatuk pelan melihat perubahan ekspresi gadis itu. "Maksud saya, kita bisa pikirkan metode lain, yang penting saya ingin kamu melahirkan seorang penerus untuk saya."
"Apa saya terlihat seperti wanita murahan bagi Anda?"
"Bagaimana dengan bayi tabung? Itu tidak akan membuat kamu merasa direndahkan, bukan?"
Sebelum Ayla bereaksi, Leonard segera melanjutkan penawarannya. "Kalau kamu menerima tawaran saya, saya akan membayar lunas semua tagihan rumah sakit ibumu, dan memindahkannya ke ruang VIP. Dengan koneksi yang saya punya, kita bahkan bisa menjadikan ibumu sebagai pasien prioritas penerima donor hati. Kamu pasti sadar, itu adalah jalan satu-satunya bagi beliau untuk bertahan hidup lebih lama."
"Bagaimana... Anda bisa tahu?" Ayla bergerak gelisah. Dari cara bicaranya, Leonard pasti tahu betul betapa buruk kondisi kesehatan ibu Ayla, dan betapa lemah keuangan mereka. "Pasti enak jadi orang kaya, bisa mengetahui kehidupan pribadi seseorang tanpa menggerakkan satu jari pun."
"Anggap saja saya menyewa rahimmu. Saya akan memberikan uang tunai sebanyak yang kamu mau sebagai balasannya," bujuk Leonard lagi. "Jangan jawab sekarang, pikirkanlah matang-matang. Jika setuju, kesehatan ibumu akan lebih terjamin, dan kamu akan memiliki uang untuk memulai hidup baru."
Tubuh Ayla melemas. Ia sudah hampir putus asa mencari uang untuk biaya rumah sakit ibunya. Berbagai pekerjaan paruh waktu yang dia lakukan tetap tak cukup untuk biaya pengobatan paling standar bagi ibunya. Jika pria di hadapannya ini berkata jujur, ibunya pasti bisa diobati sampai sembuh kembali.
"Omong kosong." Ayla menggeleng pelan, menyadarkan diri sendiri. "Kenapa pula Anda mau mengeluarkan banyak uang menyewa rahim wanita asing? Dan... kenapa saya?"
"Beberapa hari lalu, saya tidak sengaja mendengar percakapanmu dan ibumu. Saya mengamati. Kata-katamu... ketulusanmu... itu membuat saya tertarik. Ketika bawahan saya menyelidiki latar belakangmu, saya semakin kagum padamu. Dan detik itu, saya jadi membayangkan betapa bagusnya jika saya memiliki anak dengan sifat sepertimu."
Ayla terdiam, mencoba mencerna ucapan Leonard. Sebagian dirinya merasa marah karena privasinya dilanggar, tetapi bagian lain merasa tersentuh oleh ketulusan pria ini.
Leonard melarang Ayla menjawab tawaran itu. Ia memaksa sang gadis untuk menghubunginya lagi setelah memikirkan beberapa waktu.
Malam itu, Ayla duduk di sudut kontrakannya yang sempit. Matanya menatap kartu nama Leonard. Ia berulang kali me-scan kartu nama itu di website Altara Holdings seperti instruksi Leonard sebelumnya, dan hasilnya tetap sama—kartu nama itu asli. Bahkan wajah Leonard terpampang jelas di website perusahaan multi-konglomerasi tersebut.
Bagaimana mungkin orang penting seperti dia tiba-tiba meminta Ayla melahirkan seorang anak? Seharusnya mudah sekali baginya mendapatkan wanita mana pun dengan wajah tampan dan kekayaan yang ia kumpulkan. Kenapa harus Ayla? Bukankah itu terlalu mencurigakan? Penjelasan yang dia berikan... terdengar mengada-ada.
Kata-kata Leonard terus terngiang di telinga Ayla. 'Pikirkanlah, ini bukan hanya untukmu, tapi juga ibumu.'
"Kalau dia berkata jujur, dia bisa menjadi penyelamat Ibu. Haruskah aku memintanya membuktikan ucapannya dulu? Asalkan Ibu bisa bertahan, aku rasa aku sanggup menahan konsekuensi apa pun."
Ayla beringsut mengambil kartu nama Leonard. Ia telah putus asa mengenai ibunya. Selama dua tahun ia cuti kuliah untuk mengumpulkan uang demi pengobatan sang ibu. Namun, kondisinya tidak kunjung membaik, justru semakin parah dan harus rawat intensif selama dua bulan terakhir. Satu-satunya yang bisa membantu adalah donor hati.
"Tapi, bagaimana kalau ini adalah penipuan? Tanpa aku, ibu akan kesulitan bertahan."
Ayla memejamkan mata, membiarkan air mata yang ia tahan sejak tadi akhirnya jatuh. Ia tidak tahu harus bagaimana. Pilihan yang dihadapinya terasa seperti jebakan, dan ia tidak yakin bisa keluar dari situ tanpa terluka. Hanya saja, kesempatan sebagus ini tidak akan datang dua kali.
Malam itu Ayla menangis hingga tertidur. Tidak hanya mengkhawatirkan keputusan yang hendak ia buat, tapi juga tentang ibunya. Semua rasa lelah yang ia tahan selama ini pun bergejolak seakan sudah lama menantikan kesempatan ini.
~•~Ayla menatap rak kecil di sudut ruangan dengan alis berkerut. Beberapa kotak berjejer rapi, masih tersegel dengan pita emas kecil. Seseorang mengantarnya beberapa saat yang lalu atas perintah Leonard.Gadis itu menarik salah satu kotak, membaca tulisan yang tercetak di permukaannya.Set cat air merk Schmincke Horadam.Ia melirik kotak lainnya. Satu set cat minyak Rembrandt. Di sebelahnya, kuas dengan gagang kayu yang halus, palet kayu mahoni, hingga kanvas beragam ukuran yang masih terbungkus plastik bening.Jari-jarinya dengan ragu membuka satu kotak, memperhatikan warna-warna cerah di dalamnya. Produk-produk ini bukan hanya mahal—ini adalah perlengkapan profesional yang bahkan seniman berpengalaman pun mendambakannya.Ayla mengembuskan napas. Ia tak mengerti pria itu. Belum lama mereka bertengkar. Ia tak mengira Leonard akan langsung mengirimkan sesuatu seperti ini. Apa maksudnya?Apa ini bentuk permintaan maaf? Atau hanya cara lain untuk mengontrol hidupnya?Ia menutup kotak perlah
Pagi itu, Ayla menatap bayangannya di cermin. Rambutnya ia ikat longgar, mengenakan kemeja putih dengan celana kain krem. Tidak ada yang berlebihan, tapi cukup nyaman untuk pergi ke taman dan melukis.Sejujurnya, ia tidak tahu kenapa ia setuju ikut. Mungkin karena ia memang butuh keluar dari rutinitas. Atau mungkin… karena ada bagian kecil dari dirinya yang ingin kembali menjadi Ayla yang dulu.Leonard—yang entah kenapa mulai tinggal di kamar lain apartemen Ayla—sudah berangkat ke kantor sebelum ia bangun, menyisakan pesan singkat di ponselnya.‘Jangan lupa sarapan.’Sesederhana itu. Tanpa tambahan kata-kata lain. Ayla menghela napas pendek. Pria itu memang selalu seperti itu—tidak pernah mengatakan lebih dari yang diperlukan.Namun, tetap saja… ada sesuatu dalam pesannya yang membuat Ayla merasa diperhatikan.Ia mengabaikan pikirannya sendiri dan meraih tasnya. Beberapa menit kemudian, ia sudah berada di dalam taksi menuju taman tempat Raka menunggunya.Begitu ia tiba, Raka sudah dud
Ayla duduk diam di sofa ruang tamu setelah Leonard pergi kembali ke kantornya. Apartemen itu kembali sepi, hanya menyisakan suara denting kecil dari sendok yang ia putar di dalam cangkir tehnya.Tatapannya jatuh ke meja, ke bungkusan permen jahe dan kompres panas sekali pakai yang dibawa Leonard. Seharusnya ia tidak terlalu memikirkan semua ini. Seharusnya, itu hanya bentuk tanggung jawab seperti yang Leonard katakan.Tapi… kenapa rasanya tidak seperti itu?‘Jangan berpikir macam-macam, Ayla.’Ia menggelengkan kepala, mencoba mengabaikan perasaan aneh yang mengganggunya sejak tadi pagi. Tapi semakin ia menepis, semakin kuat perasaan itu menghantamnya.Ketika Leonard mengatakan, "Kita bisa menikah," ia bisa merasakan bagaimana hatinya seakan mencelos ke dasar jurang. Bukan karena kalimat itu terdengar seperti harapan, tetapi justru karena tidak ada sedikit pun perasaan di dalamnya.Leonard ingin anak, bukan istri.Leonard ingin keturunan, bukan keluarga.Dan Ayla hanya bagian dari renc
Leonard mengangkat kepalanya, mata tajamnya kini menatap langsung ke dalam mata Ayla. “Kamu sudah bangun,” gumamnya pelan, tapi tetap dengan nada datarnya yang khas. “Kau menggeliat terus dalam tidur, aku pikir perutmu sakit sekali. Dokter bilang, dengan kondisimu, kemungkinan haidmu akan lebih parah daripada biasanya.”Ayla tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Ketika membuka selimut dan mengambil alih bantal kompres dari tangan Leonard ia menyadari dirinya sudah mengenakan piyama bersih. Baru saja ia hendak bertanya, tapi Leonard sudah membaca pikirannya.“Tadi kamu tidur masih mengenakan baju kemarin karena kita tidak jadi membeli baju baru di jalan. Makanya aku menyuruh seorang staff wanita mengganti bajumu dengan piyama, agar tidurmu lebih nyenyak. Jangan berpikir macam-macam,” katanya dengan nada malas. “Aku tidak bertindak aneh-aneh.”Ayla ingin membantah, tapi kepalanya terlalu berat untuk berdebat. Alih-alih berbicara, ia justru menutup matanya lagi. Nyeri di perutnya masih
Ayla duduk diam di dalam mobil, membiarkan pemandangan di luar jendela berlalu tanpa benar-benar memerhatikannya. Hening menyelimuti mereka, dan hanya suara mesin mobil yang terdengar di antara mereka.Leonard di kursi pengemudi tampak fokus, tapi pikirannya tidak sepenuhnya pada jalan di depannya. Sesekali, tatapannya melirik ke arah Ayla yang duduk dengan kepala sedikit tertunduk.“Kamu ingin makan sesuatu?” tanya Leonard akhirnya, memecah keheningan yang terasa menyesakkan.Ayla menggeleng pelan tanpa menoleh. "Tidak, terima kasih."“Kamu harus makan, kamu belum makan apa pun sejak semalam," tekan Leonard, nada suaranya sedikit menurun, namun tetap tegas. "Tubuhmu butuh nutrisi setelah apa yang terjadi."Ayla tidak menjawab. Ia tahu Leonard benar, tapi perutnya terasa berat. Semua emosi yang ia tekan sejak kejadian di apartemen terasa menyesakkan di dada.Melihat Ayla yang diam saja membuat Leonard semakin gusar. Pria itu bukan seseorang yang biasa berhadapan dengan kebisuan yang p
Cahaya matahari menyusup masuk dari sela-sela jendela, menyentuh wajah Ayla yang masih terlelap di sofa. Udara pagi terasa dingin, tapi entah kenapa dada Ayla terasa lebih hangat daripada biasanya. Perlahan, kelopak matanya terbuka. Pandangannya masih buram sesaat, sebelum akhirnya ia sadar berada di ruangan yang asing.Dia butuh beberapa detik untuk mengingat kembali kejadian semalam. Raka membawanya pergi. Mereka menghabiskan waktu berbicara, atau lebih tepatnya—Ayla yang berbicara, dan Raka yang mendengarkan. Setelah semua yang terjadi, akhirnya ia bisa menumpahkan segala beban yang selama ini ia pendam sendiri.Ayla mengangkat tubuhnya dari sofa. Rumah ini terasa kosong, dan memang seharusnya begitu. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Raka. Sebagai gantinya, di atas meja kecil di dekat sofa, ia menemukan sekotak nasi yang masih hangat, beberapa lembar uang kertas, dan sebuah ponsel sederhana yang sepertinya milik Raka.Ada secarik kertas di sampingnya. Tulisan tangan Raka tertulis r
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments