Semua Bab Terjebak Hasrat Bos Mafia: Bab 161 - Bab 170

“Malam Avril, saya mau barang seperti yang di display,” ujar Teofilano.“Silahkan, Tuan. Ada di sebelah sini.”“Pak, pliss, nggak usah,” Viana tidak mau menghambur-hamburkan uang Teofilano.“Pliss, aku mau nyenengin kamu.” Teofilano mengajak Viana mengikuti SPG itu.“Ini koleksi terbaik kami tahun ini, Tuan." Avril sengaja menatap Teofilano sebab pria itu yang mau. "Untuk model kalungnya designer kami sengaja memilih solitaire pendant karena kalung dengan 1 berlian ini cocok dipakai diberbagai kesempatan. Meskipun sederhana namun menyimpan keistimewaan langka yaitu berlian ini memiliki carat 2 ct. Dan entah kenapa saya merasa kalung berlian ini seperti kekasih anda, sederhana namun Istimewa,” Avril tersenyum menatap Viana yang tersipu malu.Begitu pula Teofilano, dia menatap Viana dengan bangga. Perempuan berpenampilan sederhana disampingnya ini memang istimewa baginya. Cantik, muda, kaya, dan baik.“Ok, saya mau satu untuk Istri saya tercinta.” Teofilano menyerahkan black cardnya.“Ba

Viana sedih mendengar ucapan Teofilano. Itu artinya, bayangannya untuk segera makan normal dan tidur nyenyak di kasur kandas.Teofilano mencium jari Viana. “Jangan kuatir, aku akan melakukan yang terbaik untukmu.”“Pak Teo ….” Mata Viana nanar. Sekesal-kesalnya ke Teofilano, dia tak bisa mengabaikan fakta bahwa pria itu pasti akan selalu melakukan yang terbaik untuknya. Meski dia tidak tahu bagaimana cara Teofilano memberinya makan, sejujurnya dalam hati dia tidak meragukan pria itu dalam menghidupinya. Akhirnya kesal Viana reda.“Kenapa menangis?” tanya Teofilano.“Aku minta maaf, dari tadi marah-marah terus.” Viana membungkukkan badan, memeluk kepala pria itu sembari mencium keningnya. “Aku sayang Pak Teo.”Viana mengeluarkan batu-batu seukuran dari sungai sebanyak mungkin. Sementara Teofilano pergi mencari makan.Viana menyusun batu-batu seukuran itu berbentuk kotak dengan tinggi, lebar, dan panjang sama, yaitu 50 cm. Lalu mengumpulkan patahan-patahan ranting dan daun kering.Viana

Teofilano menatap Viana yang sudah tidur setelah melayaninya. Sementara dia duduk di luar tenda untuk merokok. Meskipun terlihat diam, sebenarnya setiap hari dia memikirkan cara bagaimana kembali ke Triodes. Hanya saja, belum ada yang dia pikirkan secara matang.Teofilano menyesap rokoknya, bingung apa yang akan dia lakukan untuk melindungi Viana dan anaknya. Karena kalau salah perhitungan, dia dan Viana malah bisa tertangkap Tiger.Teofilano mematikan rokoknya dan masuk ke dalam tenda karena hari sudah larut. Memeluk Viana dari belakang sembari mencium pucuk kepala istrinya itu sebelum tidur.Seperti biasa, Viana bangun pagi. Bukan karena rajin, tapi karena kedinginan. Viana menumpuk ranting kayu kering dan daun-daun kering, meletakkan panci berisi air sungai di atas tungku lalu menyalakan api untuk menghangatkan tubuhnya sekaligus memasak air untuk diminum.Usai membuat teh alang-alang untuk Teofilano, Viana mencuci baju suaminya itu di sungai yang jernih itu. Namun, saat Viana akan

Teofilano masuk ke sebuah minimarket. Dia menaruh barang belanjaannya di atas meja kasir. Dan seorang kasir perempuan yang terpesona dengan ketampanan Teofilano itu segera menghitungnya.“Starbucks double shot espresso kemasan 220 ml 1, air mineral kemasan 600 ml 1, roti kismis 2, sosis siap makan 2. Ada tambahan lagi, Kak?” kasir itu memasukkan semua belanjaan Teofilano ke kantong plastik sembari melempar senyum semanis mungkin.“Black devil, satu,” sahut Teofilano, baru ingat rokoknya tinggal sedikit.“Apa, Kak?” kasir itu kurang jelas.“Rokok black devil, satu,” ulang Teofilano.“Oo black devil ya.” Dia mengambil rokok mahal itu dan memasukkan ke dalam plastik. “Ada lagi?”“Itu saja.” Teofilano menarik dompet saku celananya dan mengambil salah satu kartu debitnya. Lalu mengulurkan ke kasir itu.‘Oh namanya Teofilano Kwan. Cakep seperti orangnya.’ Batin kasir itu sembari menancapkan kartu debit milik Teofilano ke mesin EDC.“Pinnya, Kak.”Teofilano mengetik tahun kelahiran ayahnya, i

Viana membatu melihat perkelahian pecah diantara Teofilano dan pemuda-pemuda itu. Dia segera melompat tembok pagar minimarket untuk menyelamatkan diri.Dorr!“Ah!”Kaki Viana tertembak. Viana menoleh ke belakang, dia tetap mencoba lari sebisa mungkin karena ada yang mengejarnya. Sembari menyeret kaki kanannya yang tertembak, Viana searching kantor polisi.“Cepat, cepat.” Viana tidak sabar menunggu loading yang lama disaat genting seperti ini. Viana mencoba mencari sinyal karena di desa agak susah.“Apa yang kamu lakukan, heh? Mencari bantuan?” pemuda itu merebut ponsel Viana.“Berikan padaku!” Viana menyemprotkan cairan lada dan cabe ke mata pria itu.“Kurang ajar! berani sekali kamu melawanku! Hah … pedas … mataku pedas ….” Pria itu membanting ponsel Viana ke aspal dan menginjaknya sampai remuk. “Aku tidak akan memaafkanmu!”Viana gemetar takut melihat badan besar pria itu. Dia kembali lari selagi pria itu masih mengucek matanya.“Tolong saya,” kata Viana ke warga yang sedang menonto