Malam itu, Alya tidak bisa tidur. Kata-kata Reyhan terus terngiang di kepalanya. "Aku melihatmu. Aku hanya memilih untuk tidak peduli." Dingin. Pedih. Ia menatap punggung Reyhan yang membelakanginya. Jarak di antara mereka terasa lebih luas dari lautan yang memisahkan dua benua. Pernikahan ini bukan hanya tanpa cinta—tapi juga tanpa harapan. Alya menutup matanya, mencoba meyakinkan dirinya bahwa ini hanya fase. Tapi entah mengapa, ia mulai meragukan itu. Keesokan paginya, Alya bangun lebih awal dari biasanya. Ia tidak ingin sarapan bersama Reyhan, tidak ingin merasakan tatapan kosongnya lagi. Saat turun ke ruang makan, meja sudah dipenuhi dengan hidangan hangat. Tapi hanya ada satu kursi yang terisi. "Pak Reyhan sudah berangkat, Nyonya," kata Bi Inah, pelayan rumah. Alya tersenyum kecil, meski hatinya semakin teriris. Bahkan pagi ini pun Reyhan memilih menghindarinya. "Baik, aku sarapan di kamar saja," katanya, mengambil secangkir kopi sebelum berbalik. Namun, sebelum ia se
Terakhir Diperbarui : 2025-03-25 Baca selengkapnya