All Chapters of Penderita Kanker Jadi Manusia Super: Chapter 11 - Chapter 20

Apakah pria ini serius? Tentu saja apa yang dia katakan itu mustahil, tetapi itu tidak berarti dia tidak mempercayainya. Dia tergoda untuk membuka akal sehatnya kepadanya, tetapi bahkan pikiran untuk melakukannya membuatnya gelisah di kursinya.Dia ingat laporan yang telah disusun oleh staf Signor Domenico tentang insiden mengerikan pria ini di MRI. Laporan itu tidak menyertakan catatan medisnya, tetapi Dominic telah meyakinkannya bahwa mereka akan segera memiliki salinannya juga, meskipun bagaimana mereka bisa mendapatkan informasi rahasia seperti itu di luar pemahamannya. Bagaimanapun, pria ini telah melalui pengalaman yang mengerikan, dan dia membutuhkan bantuan.Psikolog terlatih dalam dirinya mengambil alih. Dia ingin melihat ke mana ini akan mengarah."Maafkan aku, Khaled. Silakan lanjutkan."Tampaknya sudah tenang, Khaled tetap merendahkan suaranya. "Aku tidak bisa memprediksi akan ada gempa bumi atau apa yang akan terjadi di pasar saham. Tidak sep

Mengusap matanya yang kotor, Khaled memakai sandal jepit Reef-nya—yang memiliki pembuka botol tertanam di bagian bawah—dan berjalan dengan susah payah menuju dapur, menendang botol bir kosong dari jalannya. Dia mengenakan celana boxer bergambar emo tersenyum—hadiah ulang tahun dari putrinya dua tahun lalu—tetapi tidak ada yang lain. Angin laut yang sejuk berhembus melalui jendela rumah yang terbuka terasa nyaman di kulitnya yang telanjang.Tadi malam terasa kabur. Dia samar-samar ingat meninggalkan bar sekitar pukul dua pagi. Sendirian. Dia berjalan pulang di sepanjang Strand dan membuka sekaleng Fat Tire begitu dia masuk ke pintu.Berdasarkan lima atau enam kaleng yang tewas berserakan di ruang depan, dia jelas tidak berhenti di satu.Ada beberapa lusin buku yang ditumpuk di sofa dan meja kopi—semuanya ada di perpustakaan rumahnya. Kebanyakan dari buku-buku itu tentang terbang. Namun, ada juga buku Joy of Cooking

Venesia, Italia Gondola milik pak tua itu sudah berusia lima puluh tahun, tetapi masih kokoh, seperti dirinya. Dekorasinya yang rumit dan permukaannya yang halus bagaikan kaca tidak ada duanya di kanal-kanal kota yang padat yang telah menjadi rumah keluarganya selama sepuluh generasi. Leonardo Biachi berumur empat belas tahun ketika, dengan jabat tangan, papanya memesan perahu itu untuk dibuat oleh “Tramontin” Alberto Vitucci Nedis, squerarioli terakhir, seorang ahli pembuat gondola yang telah menelusuri metode mereka kembali ke abad kesembilan belas. Perahu itu kokoh, dibuat dengan teknik pengrajin ahli tradisional, tanpa lem atau dempul. Leonardo selalu percaya bahwa dia akan bertahan hidup lebih lama dari perahunya yang berharga. Sekarang, dia menduga bahwa itu tidak akan terjadi.Dia mendorong dayung panjang itu maju mundur melalui kanal yang tenang. Gondolanya meluncur tanpa sua

Anggukan kepala Leonardo menyegel perjanjian hitam itu. Dia menggeser tangannya yang gemetar melintasi meja yang licin dan menarik amplop itu ke arahnya, bersumpah dalam hati untuk menghabiskan setiap euro terakhirnya serta sisa tabungannya yang sedikit, untuk mengalahkan iblis yang menyeruput anggur ulang tahunnya di depannya.Sambil bangkit dari meja, Dominic berkata, “Ada satu hal lagi, Leonardo—pelajaran penting kalau-kalau kau meragukan ketulusanku.” Ia memberi isyarat kepada dua penjaga di belakang Leonardo.Sambil berlari maju, salah satu dari mereka mencekik leher Leonardo dengan lengan bawahnya yang tebal. Yang lainnya dengan cepat mengamankan lengan, dada, dan kaki Leonardo ke kursi dengan lakban. Potongan terakhir menutupi mulut Leonardo.Battista mencondongkan tubuhnya ke seberang meja dan menatap mata Leonardo yang panik dengan matanya sendiri.“Pengekangan ini untuk keselamatanmu sendiri. Aku tidak ingin kau melukai dirimu sendiri dalam beberapa saat ke depan. Aku ingin

Di mata Khaled, penjahat itu bergerak dalam gerakan sangat lambat. Khaled menepis tangan kiri pria itu dengan kait pergelangan tangan kirinya sendiri dan melangkah maju, mengerahkan berat tubuhnya untuk melancarkan pukulan kanan yang meratakan hidung pria besar itu dengan bunyi berderak seperti batang seledri yang patah. Darah mengalir dari lubang hidung pria itu yang lebar. Mata si Muka Kodok terbelalak karena terkejut, tetapi selain itu dia tampak tidak terpengaruh. Dia menyeringai pada Khaled dengan gigi kuning dan mulai menjilati darah yang mengalir dari bibir atasnya seperti es krim yang lezat.Tidak bagus.Khaled tahu dia kalah. Dia berputar ke arah pintu untuk keluar dengan tergesa-gesa, tetapi kakinya tidak mau mengikutinya. Lengannya tiba-tiba kehilangan semua kekuatannya. Satu per satu, taangannya terjatuh ke samping. Kakinya menyusul, dan lantai tiba-tiba terangkat untuk menyambutnya. Pria besar itu menerjang ke depan dan mencengkeramnya di bawah ke