บททั้งหมดของ The Wedding Fuss: บทที่ 21 - บทที่ 30

Aku pengin banget teriak, tapi nggak mungkin kulakukan sekarang. Bunda pasti akan panik mendengar teriakanku. Tetangga-tetangga juga akan mengira kalau di rumah ini terjadi tragedi berdarah, semacam perampokan atau malah pembunuhan. Lalu, mereka akan berkerumun di sini dan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Bukannya lega, aku malah semakin pusing mendengar para tetangga terus berkomentar. Inilah risiko tinggal di daerah padat manusia.Aku memang sedang mengalami perampokan. Om Restu sudah merampok kebebasanku. Aku kehilangan hak untuk menikmati masa muda. Harusnya aku bisa merasakan kuliah yang menyenangkan, mengenal semakin banyak orang dan belajar berbagai hal baru di jenjang pendidikan yang banyak orang impikan. Jangankan menambah teman dan relasi, berkumpul dengan manusia normal saja aku nggak mendapat izin dari pacarku yang posesif.Sekarang Om Restu sudah menganggapku berkhianat. Ini tuduhan paling kejam. Om Restu sama sekali nggak memberiku kesempatan untuk menjelaskan ap

"Gia mau makan es krim sekarang juga!" Aku sengaja memberikan syarat spesial ini karena masih malas kencan dengan Om Restu.Ini masih pagi dan waktunya Om Restu bekerja. Nggak mungkin Om Restu mengorbankan pekerjaannya demi menuruti permintaan konyolku. Om Restu sudah cukup dewasa, kalau nggak mau disebut tua, untuk berpikir secara rasional. Aku ini baru pacarnya, yang kebetulan juga menjadi tetangganya. Om Restu nggak punya tanggung jawab untuk menuruti semua rengekanku.Walau tawaran makan es krim itu sangat menggoda iman dan ketakwaanku, aku nggak boleh luluh. Aku harus memegang pendirian dan menjaga harga diriku sendiri. Kalau bukan aku, siapa lagi yang akan menghargai diriku dengan harga yang paling mahal?"Ini hampir jam tujuh. Gia ada kelas pagi. Kalau Om Restu nggak jadi ngajak Gia makan es krim sekarang, Gia mau masuk kelas. Dosen di jam pertama ini galak. Nggak boleh ada mahasiswa yang terlambat datang selama pelajarannya. Walau cuma satu menit, keterlambatan dengan alasan a

"Apa yang terjadi dengan ayah kamu, Gi?" tanya Om Restu dalam perjalanan kami ke sekolah Gavin.Aku nggak kaget kalau Om Restu sampai bertanya tentang sikap Ayah. Setelah mengungkapkan harapannya bahwa aku nggak boleh menikah dalam waktu dekat kemarin, Ayah mendadak memusuhi Om Restu. Waktu Om Restu datang, Ayah terang-terangan memasang wajah garang. Nggak ada senyuman ramah atau basa-basi tentang kondisi perekonomian Indonesia lagi. Suasananya benar-benar kaku dan suram layaknya medan perang.Aku baru tahu kalau ternyata cowok bisa ngambek juga. Selama ini Ayah selalu bersikap keren. Aku nggak pernah mendengar keluhan apa pun, bahkan waktu Ayah sakit demam berdarah beberapa tahun lalu. Wajahnya sudah pucat dan tubuhnya lemas, tapi Ayah masih berusaha tersenyum kalau ada aku. Kenapa sekarang Ayah malah bersikap kayak anak kecil gini, sih?Aku melirik Gavin yang duduk sendiri di belakang. Dia memandang ke luar. Di sampingnya tergeletak ransel merah. Ransel bergambar ironman itu aku yang

Aku nggak tahu kalau Mak Lampir itu wujudnya nyata. Tadinya, aku kira Mak Lampir itu makhluk dalam dongeng, layaknya para peri dan alien. Tapi, ternyata semua perkiraanku keliru.Hari ini aku berhadapan langsung dengan Mak Lampir. Memang secara fisik Mak Lampir di hadapanku nggak menakutkan. Dia bukan nenek-nenek dengan rambut putih yang berantakan, berbibir hitam, dan memakai daster compang-camping sambil membawa tongkat. Mak Lampir yang kutemui memang rambutnya putih, tapi rapi dengan potongan pixie. Pakaiannya bukan daster mengenaskan. Pleated skirt putih, inner biru, dan lace outer bermotif batik membungkus tubuhnya yang masih tegap. Bibirnya cerah berpulas lipstik merah muda. Di usianya yang nggak muda lagi, Mak Lampir ini masih mampu berjalan menggunakan sandal berhak lima senti. Tangannya nggak menggenggam tongkat, tapi clutch hitam. Dia Mak Lampir yang paling fashionable.Aku menganggap dia sebagai Mak Lampir karena aura yang menguar darinya seseram neneknya Grandong. Setiap o

Aku harus membicarakan pernikahanku dengan Om Restu hari ini juga. Ini masalah serius. Aku nggak mau menunda lagi. Kekhawatiran Bunda sudah memengaruhiku dan membuatku ikut panik.Aku sering membaca curhatan di media sosial tentang cewek-cewek yang sudah hamil sebelum menikah. Sebagian besar di antara mereka harus mengalami sakitnya kenyataan kalau cowoknya menolak bertanggung jawab. Si cowok bahkan meminta untuk menggugurkan saja janin di perut. Cowok-cowok yang begini memang nggak layak hidup, sih. Bisa-bisanya mereka tega melenyapkan darah daging mereka sendiri.Memang semua nggak cuma salah cowoknya. Terjadinya kehamilan di sini karena ada dua orang yang suka dan memang mau. Ini bukan pemaksaan yang salah satunya merupakan korban dan jelas-jelas mengalami kekerasan. Mereka sadar dalam melakukannya dengan dalih saling menyanyangi.Aku nggak mau berada dalam kondisi tersebut. Bukan nggak mungkin aku yang khilaf dan menyerahkan diriku untuk Om Restu. Duh, nempel dalam pelukan Om Rest