Harusnya, impianku menikah dengan pria yang mapan dan tampan. Nyatanya, aku malah menikah sama duda beranak satu. Iya, sih, suamiku mapan dan tampan. Tapi, mendiang istrinya nggak harus nempel terus di hidup kami dong! Emang aku lebih buruk dari mendiang istri suamiku, ya? Apa iya aku nggak pantes gantiin posisi perempuan yang udah meninggal itu? Ah, ternyata, menikah dengan duda tampan dan mapan itu ribet!
Lihat lebih banyakKalian punya pacar posesif? Kasihan!
Aku berani menjamin hidup kalian nggak akan tenang lagi. Aturan ketat yang dia buat hanya akan menjadi penghambat semua impian kalian. Pepatah yang mengatakan 'dunia seperti milik berdua, sedangkan yang lain ngontrak' nggak lagi terasa romantis, tapi justru miris. Kecemasan yang dia rasakan jelas memberikan siksaan untuk kalian. Memang orang yang posesif itu konyol. Mereka yang takut berlebihan, tapi orang lain yang harus merasakan penderitaan. Nggak enak, kok, ngajak-ngajak. Apa mereka nggak bisa menikmati kecemasan dan ketakutannya dalam diam gitu? Kalau senang-senang, bolehlah dia mengajak banyak orang untuk ikut merasakan. Ada yang lebih konyol dari orang posesif: orang yang masih bertahan dalam sebuah hubungan bersama pasangannya yang posesif. Sudah tahu hubungan ini cuma membuat kesal, tapi masih saja nggak mau melepas. Ini lelucon paling nggak lucu sepanjang abad. Ah, Firaun saja sampai bengong mendengar kisah ini. Kalau kalian merasakan itu, kita sama. Iya, benar. Aku punya pacar posesif dan layak dikasihani. Apakah kita perlu membuat sekte rahasia, di mana anggotanya merupakan orang-orang menyedihkan yang punya pasangan posesif? Mungkin kita bisa melakukan pertemuan secara tertutup di tempat khusus untuk saling mendengarkan curhatan dan memberikan dukungan satu sama lain. Mungkin juga kita bisa mengumpulkan kekuatan agar mampu melawan penjajahan ini. Mungkin nanti, nggak tahu kapan karena aku sendiri nggak yakin untuk berpisah dari pacarku. Alasannya memang klise, aku masih sayang banget sama dia. Nggak peduli dia sudah mengekangku dalam banyak hal, aku tetap sayang dia. Konyol banget, kan? Aku membuang napas panjang melalui mulut. Kepalaku menengadah, memandang gumpalan awan kelabu di langit. Berbeda dengan pakaianku yang ceria, pagi ini mendung dan terasa suram. Ah, mungkin nggak terlalu suram juga. Bisa saja karena aku memikirkan banyak hal beberapa hari terakhir ini makanya suasana yang kurasakan menjadi nggak menyenangkan. "Apakah kamu sudah siap, Gi?" Pertanyaan ini mampu mengalihkan pandanganku dari langit yang nggak cantik hari ini. Senyuman hangat menyambutku. Untungnya, pemandangan di hadapanku sekarang menawan. Om Restu yang memakai setelan ala eksekutif muda memang nggak pernah salah. Harusnya aku yang posesif, bukan dia. Harusnya aku yang selalu takut ada cewek ganjen yang mencoba merampas pacarku. Nyatanya, justru Om Restu yang takut kehilangan cewek biasa saja kayak aku ini. Di belakang Om Restu, berdiri anak semata wayangnya. "Pagi, Kak Gia," sapanya datar. Berbeda dengan papanya yang ramah, Gavin itu dingin banget. Dia pelit banget pamer senyum. Biasanya, dia hanya mau tersenyum untuk orang yang akrab dengannya saja. Itu juga nggak jelas kapan dia pamerkan. Kalau ikut kumpul keluarga, Gavin bisa betah nggak mengucapkan satu kata pun dan memilih bersembunyi di sudut ruangan. Aku butuh waktu yang cukup lama untuk meruntuhkan gunung es kecil ini. Gavin juga menjadi salah satu alasan aku mau menerima lamaran Om Restu enam bulan lalu. Aku nggak tega melihatnya muram. Harusnya, dia menikmati hidup tanpa memikirkan beban berat. Di usia yang sama, dulu masalah paling berat yang kupikirkan hanya baju mana yang layak aku pakai setelah mandi. Aku bahkan masih ingat banget sering keluyuran nggak pakai sandal. Tapi, saat pulang, aku membawa sepatu baru milik tetangga. Ini bukan masalah kriminalitas atau nakal. Lebih baik kita fokus saja ke bagaimana cara bocah kecil menikmati hidupnya. Aku melambaikan tangan ke Gavin sambil tersenyum lebar. Walaupun pagi ini mendung, aku nggak boleh murung. "Pagi, Ganteng," balasku. "Apakah kita bisa berangkat sekarang?" tanya Om Restu. Aku mengangguk. "Let's go, Om!" seruku, lalu mendekap lengannya. "Tunggu!" Om Restu menahan langkahku. Kaki kananku melayang, nggak jadi menjejak bumi kembali. Senyumku juga lenyap dalam sekejap. Kenapa lagi om-om satu ini? "Saya dan Gavin harus pamit ke Ayah dan Bunda terlebih dulu." Inilah ritual yang nggak boleh dilewatkan bagi Om Restu. Dia selalu meminta izin ke Ayah dan Bunda sebelum menculikku. Mungkin ini efek orang tuanya memberi nama Restu. Semua yang dia lakukan harus mendapatkan restu dari orang lain lebih dulu. Om Restu mengajak Gavin masuk rumah. Aku memilih menunggu di teras. Aku nggak perlu pamit yang kedua kalinya hanya untuk pergi ke kampus, kan? Nggak lama Om Restu dan Gavin keluar. Di belakangnya, Bunda dan Ayah mengantar. "Hati-hati, ya," kata Bunda, basa-basi yang busuk banget karena kami sudah melakukannya jutaan kali hampir setahun ini. Ayah nggak banyak mengatakan apa-apa, hanya tangannya terus melambai sampai kami masuk ke mobil Om Restu. Semenjak aku menerima lamaran Om Restu, Ayah memang terlihat lebih tenang (kalau nggak mau disebut murung). Sudah berkali-kali aku mencoba mengorek isi hatinya, tapi Ayah lebih memilih bungkam. Seperti ikut menutupi keresahan suaminya, Bunda juga nggak mau memberitahu alasan perubahan sikap Ayah. "PR udah dikerjain semua, Gav?" tanyaku setelah mobil mulai keluar kompleks perumahan kami. Aku melihat Gavin mengangguk dari spion tengah. "Sudah. Papa yang ngajarin tadi malam." Aku berpaling ke Om Restu. Saat dia melirikku, kuacungkan dua jempol untuknya. "Cakep!" pujiku. Dia tersenyum malu. Rahang tegasnya sedikit bergetar. Aku yakin dia sebenarnya pengin berteriak, tapi nggak mau melampiaskan. Nggak mungkin dia bersikap norak di depan anaknya. Perjalanan menuju sekolah Gavin nggak butuh waktu lama. Hanya dalam waktu kurang dari sepuluh menit saja, kami sudah bisa melihat gerombolan orang tua yang mengantar anaknya di depan gerbang. Gavin langsung berlari masuk kelas begitu dia turun dari mobil. Pagi ini dia terlihat bersemangat sekali. Tentunya keceriaannya membuatku ikut senang. Om Restu segera menjalankan mobil lagi. Dia harus mengejar waktu untuk mengantarku lebih dulu ke kampus, sebelum pergi ke kantor. Rutinitas ini sudah kami lakukan selama lebih dari enam bulan belakangan. Setelah aku menerima lamarannya, Om Restu nggak mengizinkanku pergi sendiri ke kampus atau ke mana pun. "Saya yang akan mengantar kamu ke mana pun. Kamu tidak perlu repot membawa mobil lagi, Gi. Ada saya yang bersedia mendampingi." Itu yang menjadi alasan Om Restu untuk menutupi fakta bahwa sebenarnya dia takut aku bertemu cowok lain di tengah jalan, lalu jatuh cinta lagi. Mungkin sebenarnya dia khawatir aku bisa berkenalan dengan Kapten Amerika, yang sedang membantu pengamen cilik mencari uang di perempatan. Setelah perkenalan singkat itu, aku dan Kapten Amerika terlibat cinta terlarang. Iya, memang nggak mungkin Kapten Amerika ikut mengamen di sini. Sama nggak mungkinnya dengan aku jatuh cinta ke cowok yang baru kulihat di jalanan. Pemikiran Om Restu memang seaneh itu. Aku duduk menyamping, memandang Om Restu yang sedang serius mengemudikan mobil. "Om ...." Aku ragu melanjutkan. Om Restu melirikku. "Kenapa? Apakah ada yang bisa saya bantu?" Aku benar-benar pengin memperbaiki susunan kata yang dia lontarkan. Daripada terdengar sedang mengobrol dengan pacar, aku lebih seperti sedang disambut customer servis penyalur tenaga kerja ke luar negeri. "Hari ini Gia ada kerja kelompok. Ada tugas yang harus selesai hari ini juga. Tugasnya besok dikumpulin gitu." Aku sudah menahan diri nggak mengatakan ini sejak seminggu lalu. Tapi, aku sudah kehabisan waktu. Aku nggak bisa berdiam diri lagi. Om Restu menepikan mobilnya. Dia melepas sabuk pengaman agar bisa bergerak lebih bebas. Sekarang, tubuhnya sepenuhnya menghadap ke arahku. Badan tegapnya mengintimidasiku. Wajah tegangnya membuat suasana semakin nggak nyaman. "Tugas apa yang harus kamu selesaikan? Siapa saja teman satu kelompok kamu? Apakah ada pria di dalam kelompok kamu? Kalau kamu bisa memilih sesama rekan wanita, kenapa harus ada pria dalam kelompok kamu, Gi?" Kalau sedang cemburu, Om Restu bisa lebih berisik dari suara kereta api yang sedang melaju kencang. Aku mengempaskan tubuh ke jok sampai bisa bersandar. Selalu begini akhirnya. "Ada tiga cowok dan dua cewek," jawabku lirih, seolah kehabisan tenaga. Nggak mungkin aku sudah nggak mampu bergerak begini. Ini masih jam 06.32, terlalu pagi untuk lemas. Aku juga tadi menghabiskan nasi goreng dalam porsi besar untuk sarapan. Harusnya, aku masih punya cukup tenaga sampai siang nanti. "Tiga berbanding dua. Ini bukan jumlah ideal. Bagaimana mungkin ada tiga pria asing bersama kamu?" keluh Om Restu semakin frustasi. "Ya, mana Gia tahu. Yang milih anggota kelompok dosennya Gia. Kalau Gia milih sendiri, enakan nggak usah ada tugas sekalian, Om." Suaraku meninggi. Aku sudah nggak tahan lagi dengan sikap menyebalkan om-om tua ini. "Lagian mereka bukan pria asing. Gia ini udah belajar bareng mereka hampir satu tahun, Om." "Apakah saya harus bertemu dosen kamu untuk membubarkan kelompok ini?" Pertanyaan konyol Om Restu sukses menyuntikkan semangatku lagi. Aku duduk tegap. Kugenggam pergelangan tangan Om Restu erat. Mataku sengaja kubuat sendu. Nggak ada senyuman di bibirku. "Nggak usah, Om. Please!" pintaku dengan suara rendah. Ini cara terakhir untuk menyelamatkan hidupku. Harusnya Om Restu paham kapasitas otakku yang minimalis ini. Aku butuh bantuan teman untuk menyelesaikan tugas yang sulit kupahami. Kalau terus-terusan dilarang bergaul, jelas aku nggak akan punya teman. Ini juga akan menghambatku untuk lulus ujian semesteran. Aku nggak akan punya kesempatan menyontek kalau bingung dengan soal ujian yang harus kuselesaikan. Gimana mau menyontek kalau aku sama sekali nggak kenal teman satu angkatanku? "Gia lupa sudah berapa kali ngomong ini ke Om. Gia sayang sama Om Restu. Kali ini, tolong percaya sama Gia." Aku mengatakannya dengan suara rendah dan mata sendu. Bahu Om Restu nggak lagi tegang. "Baiklah," katanya pasrah. Akhirnya, aku bisa bernapas lega. Aku berhasil menghancurkan dinding tebal bernama posesif hari ini. Kekuatan cintaku memang nggak ada lawan. Om Restu memakai sabuk pengamannya lagi. Mobil mulai kembali berjalan. Ada waktu yang harus dikejar. "Kamu boleh mengerjakan tugas bersama mereka, asal di tempat terbuka agar banyak orang yang melihat. Kalian tidak boleh terlalu lama untuk menyelesaikan tugas itu. Kamu jangan pernah duduk berdekatan dengan satu pria pun di kelompok kamu atau cowok mana pun selain saya, Ayah, dan Gavin." Om Restu tiba-tiba memberikan syarat konyol yang nggak mungkin aku bantah. Nggak tahu kenapa, otak dan hatiku selalu bermasalah kalau berhubungan dengan pria tua menyebalkan ini. Jauh di dalam hati aku pengin melakukan pemberontakan. Tapi, otakku yang selalu berkuasa memerintahkan untuk tunduk dan mematuhi Om Restu. Aku yakin Om Restu berhasil menemukan dukun pelet yang hebat sampai aku nggak berkutik di hadapannya. "Demi membuat kamu tenang, saya akan menemani kamu menyelesaikan tugas. Jam berapa kamu akan mengerjakan tugas kelompok itu, Gi?" Kalau kalian tahu cara menjebol dinding posesif ini, tolong kasih tahu aku. Aku butuh banget!Apa itu menikah? Menikah itu nggak terlalu penting, deh. Aku mendadak lupa arti dari menikah. Kayaknya ini efek aku mabuk milk tea, deh. Pergi ke mall ternyata memang bukan hal buruk. Selain kenyang, aku juga mendapatkan pelajaran baru dari orang asing. Alin dan orang tuanya memberikan pandangan baru tentang pernikahan dan keluarga. "Yang paling rumit dari pernikahan bukan cuma masalah antar pasangan, tapi urusan anak. Kalau kamu memang pengin menikah muda, bicarakan lagi kapan kamu siap memiliki anak. Anak memang lucu dan menggemaskan, tapi mereka bisa berubah menjadi monster mengerikan dalam sekejap," kata mamanya Alin sebelum pergi. Suaminya sudah memanggil dan mereka harus segera pulang. Ternyata enak juga berbincang dengan orang yang sama sekali nggak aku kenal. Untungnya, aku bertemu dengan orang yang nggak usil mengusik kehidupan pribadiku. Tapi, bisa jadi mamanya Alin yang muak karena aku banyak bertanya tentang keluarga kecilnya. Sekarang aku merasa sedikit ringan. Ini buk
Lagi-lagi pernyataan Om Restu tentang menikah denganku menjadi sumber masalah baru. Ayah yang nggak mau kehilangan anak perawan satu-satunya ini menentang keras."Kamu nggak perlu menjanjikan hal yang nggak bisa kamu wujudkan, Restu!" bentak Ayah. "Pernikahan ini bukan main-main. Kamu mengambil anak saya dan menggantikan peran saya untuk membahagiakan Gia. Kamu kira gampang?""Bukan mau menganggap ini mudah, tapi sudah menjadi kewajiban saya, sebagai suami Gia, untuk membahagiakannya," sahut Om Restu."Kamu bukan suami Gia dan nggak akan pernah jadi suami Gia!" Ayah semakin gerah. Wajahnya sudah merah dan hidungnya kembang-kempis. Dari kepalanya mulai keluar asap. Mungkin kutu dan bakteri yang tinggal di kepala Ayah sedang mengadakan pesta api unggun.Ini Om Restu juga kenapa cari perkara sama orang tua terus, sih? Sudah tahu Ayah menentang pernikahan kami. Eh, Om Restu malah ngaku sebagai suamiku. Kayaknya Om Restu merasa punya nyawa seribu, deh.“Yah, tenang dulu!" pinta Bunda sambil
Malam yang keterlaluan panjangnya. Aku sudah lelah banget, tapi masih harus melewati kekacauan ini.Pernyataan Om Restu yang akan segera menikahiku cukup membuatku syok. Aku nggak bisa menerima sikap sok pahlawan Om Restu ini. Bukannya menyelesaikan masalah, ini cuma menceburkanku dalam penderitaan yang baru.Dari dulu, banyak yang menganggap menikah sebagai jalan keluar segala masalah. Demi menutupi aib karena terlanjur hamil duluan, pasangan yang belum cukup umur harus menikah. Jangankan siap menjalani ribetnya pernikahan, KTP saja mereka belum punya.Korban rudapaksa pun banyak yang harus menikah dengan pelaku yang membuatnya trauma seumur hidup. Ini belum kasus lain dengan alasan beraneka ragam; memperbaiki keturunan, menyelamatkan perekonomian keluarga, termasuk alasan politik. Sekarang, aku harus menyelesaikan fitnah ini dengan cara segera menikah juga.Yang gila saja!Aku yang mendapatkan fitnah. Tapi, aku juga yang harus sengsara. Aku yang menjadi korban. Tapi, aku juga yang ha
"YA, ALLAH. NGAPAIN KALIAN MESUM DI SINI?" Bu Budi berdiri di depan rumahku. Tanpa berteriak pun suara Bu Budi bisa mengalahkan deru mesin motor dua tak yang menggunakan knalpon racing, apalagi sekarang.Lihat saja efeknya!Tetanggaku satu per satu mulai bermunculan. Mereka nyaris sama, panik dan penasaran. Mungkin dari dalam rumah, teriakan Bu Budi terdengar seperti orang ketakutan karena melihat setan atau malah Gozila yang menghancurkan apa pun. Mereka khawatir dan berusaha menyelamatkan diri. Buktinya, Bu Ajeng keluar rumah memakai piyama tipis dan menggendong anak balitanya yang masih tidur. Mata merah Bu Ajeng nggak bisa menutupi kepanikan yang ada dalam pikirannya.Nggak cuma para tetangga yang keluar. Ayah dan Bunda juga ikut keluar. "Ada apa, Bu?" tanya Ayah berusaha tenang. Matanya melotot padaku.Menyadari sinyal bahaya yang Ayah berikan, aku buru-buru melepaskan pelukan pada Om Restu. Perasaanku semakin nggak enak karena Bu Budi menunjukku."Lihat! Itu Gia ngapain? Dia mau
Suasananya mendukung. Malamnya cerah. Jarang banget aku bisa melihat sedikit bintang di malam hari. Polusi cahaya di kota besar membuat langit kehilangan pesona. Seringnya langit hanya hamparan hitam tanpa hiasan, nggak menarik sama sekali. Untungnya, malam ini aku bisa melihat satu-dua bintang.Cuaca malam ini juga tenang. Nggak ada angin ribut atau hujan badai. Masih ada embusan angin yang melenyapkan gerah, tapi nggak membuat menggigil.Abang tukang bakso yang berkeliling mencari mangsa memukul kentongan sambil mendorong gerobak. Suaranya beradu dengan gemericik air di kolam dan gonggongan anjing di gang belakang.Sebenarnya, ini nggak romantis sama sekali. Om Restu mengajakku duduk di lantai, bukan di kursi. Kaki panjangnya menjulur dan kedua tangannya menopang di belakang tubuh. Mungkin tubuhnya sudah terlalu lelah. Sejak subuh Om Restu harus bersiap dan hampir tengah malam baru sampai rumah. Pasti Om Restu kehabisan tenaga sekarang.Aku sudah mengambilkan air minum. Om Restu cum
Aku harus membicarakan pernikahanku dengan Om Restu hari ini juga. Ini masalah serius. Aku nggak mau menunda lagi. Kekhawatiran Bunda sudah memengaruhiku dan membuatku ikut panik.Aku sering membaca curhatan di media sosial tentang cewek-cewek yang sudah hamil sebelum menikah. Sebagian besar di antara mereka harus mengalami sakitnya kenyataan kalau cowoknya menolak bertanggung jawab. Si cowok bahkan meminta untuk menggugurkan saja janin di perut. Cowok-cowok yang begini memang nggak layak hidup, sih. Bisa-bisanya mereka tega melenyapkan darah daging mereka sendiri.Memang semua nggak cuma salah cowoknya. Terjadinya kehamilan di sini karena ada dua orang yang suka dan memang mau. Ini bukan pemaksaan yang salah satunya merupakan korban dan jelas-jelas mengalami kekerasan. Mereka sadar dalam melakukannya dengan dalih saling menyanyangi.Aku nggak mau berada dalam kondisi tersebut. Bukan nggak mungkin aku yang khilaf dan menyerahkan diriku untuk Om Restu. Duh, nempel dalam pelukan Om Rest
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen