Lahat ng Kabanata ng Sebatas Teman Ranjang: Kabanata 31 - Kabanata 40

“Kalina?” Mirza ingin memastikan wanita yang membukakan pintu memang Kalina. “Siapa lo?” Wanita itu, Kalina, mengerutkan dahi di ambang pintu. “Saya mau cari Gaby,” ungkap Mirza langsung ke inti. “Maksudnya Fazia,” koreksinya. “Ada perlu apa?” Kalina menelisik penampilan pria di hadapannya dengan saksama. “Saya calon suaminya,” jawab Mirza dengan percaya diri. “Oh, jadi lo yang udah hamilin dia?” Kalina menyunggingkan senyumnya yang tak enak dipandang. “Di mana Fazia? Saya mau jemput dia.” Mirza tak mau menunggu. “Gak ada! Pergi lo!” usir Kalina tanpa pikir panjang. “Anda sudah tahu dia lagi hamil, artinya dia di sini, kan?” Mirza menahan pintu yang hendak Kalina tutup.“Dia gak mau ketemu siapa-siapa, apalagi ketemu cowok modelan lo!” Kalina menunjuk wajah Mirza dengan tidak sopannya. “Saya perlu bicara sama dia, please.” Mirza tak malu memohon. “Bentar aja.” Untuk yang pertama kalinya bertemu Mirza, Kalina melihat kesungguhan dan ketulusan yang tak pernah dia lihat dari pr

“Ma, akad nikahnya di sini aja, ya? Gak usah di Jakarta,” kata Mirza di tengah perjalanan. “Ngaco kamu.” Tari langsung menatapnya tajam. “Maksudnya keluarga yang lain gak usah tau kamu nikah?” “Keluarga inti aja. Kan gak langsung resepsi.” Mirza hanya beralasan. “Nikahnya tetep harus di Jakarta.” Tari tak ingin adanya masalah yang tercipta. “Lagian nikahnya belum tentu besok atau lusa, kita perlu ngobrol dulu sama Ravin.” “Ck! Itu masalahnya. Kalo bisa, keluarga Rajasa gak usah tau.” Mirza sudah malas duluan. “Makin ngaco kamu, Za.” Tari menggeleng tak habis pikir. “Gak perlu ke apartemen kamu, kita langsung ke Jakarta aja sekarang,” titahnya.Tanpa bantahan, Mirza segera mengubah jalur menuju Jakarta. Tari tak mungkin menuruti permintaan Mirza untuk menikah tanpa sepengetahuan keluarga Rajasa, baik maupun buruknya perlakuan mereka terhadap Fazia nanti sudah menjadi konsekuensi yang harus diterimanya, bukan? Sesampainya di kediaman Rajasa, Mirza bergegas pergi lagi untuk menemui

Mirza, Ravindra, dan Tari, masih berbincang di ruang keluarga. Sampai tiba-tiba, ucapan Tari terpaksa terputus dan pandangan mereka bertiga teralih secara bersamaan pada dua gadis yang sedang berjalan ke arah mereka. Biasa melihat Fazia memakai pakaian kebesaran, kini perut gadis itu cukup terlihat dengan pakaian super ketat milik Citra. “Aku mau jalan-jalan sama Zia,” kata Citra pamit pergi. “Jalan-jalan ke mana?” Tari tampak ragu memberi izin. “Nyari jajanan, Ma.” Citra mencari kegiatan dengan merapikan rambutnya.“Delivery aja. Gak usah keluar.” Tari melarang tegas.“Nah, justru itu. Aku mau ngajak jalan Zia biar dia sehat, fresh, gak mikirin masalahnya.” Citra langsung membual sesukanya. “Masuk ke kamar.” Mirza menatap tajam adiknya. “Apaan, sih.” Citra memutar bola matanya tak sopan. “Lihat, deh. Mukanya aja pucet gitu, matanya juga sayu. Zia butuh banyak istirahat, bukannya angin-anginan.” Tari memperhatikan wajah Fazia yang terlihat seperti orang sakit meski sedikit tersa

Sebagian keluarga Tari maupun keluarga Rajasa sudah berdatangan ketika Fazia dan Mirza kembali ke Jakarta. Beruntung tidak ada satu pun keluarga Rajasa yang bersikap kurang menyenangkan, mungkin Ravindra sudah membungkam mereka agar tidak mengeluarkan kalimat menyakitkan.Namun, Mirza tetap tidak bisa merasa lega sepenuhnya. Bukan tidak mungkin ada celaan dari keluarga Rajasa di kemudian hari jika dia tidak segera membawa Fazia pergi, sedangkan keluarga dari pihak Tari memang memberi reaksi positif meskipun pernikahan terjadi atas hal yang sangat memalukan. Tepat keesokan harinya, akad nikah yang diadakan secara sederhana dilangsungkan di hadapan semua keluarga besar tanpa satu pun keluarga Fazia yang hadir. Berbeda dari wajah Fazia yang terlihat tegang, Mirza malah berseri-seri hingga tak sadar bahwa banyak pasang mata yang memperhatikannya.Jujur saja Mirza tidak pernah membayangkan Fazia akan menjadi istrinya, tapi sekarang wanita itu sudah resmi menjadi bagian dari hidupnya. Cant

“Ada dua kamar. Kamu pilih aja mau nempatin yang mana.” Mirza mempersilakan istrinya untuk memilih sendiri.Fazia melihat-lihat isi kedua kamar itu dari luar. “Aku mau kamar yang ini,” tunjuknya pada kamar utama. “Besok aku nyuruh orang buat pindahin pakaian aku ke kamar yang satunya.” Mirza tidak keberatan. “Oke.” Fazia mengangguk puas. “Istirahat, gih. Udah malem,” titah Mirza lemah lembut. “Kakak tidur di kamar itu?” Fazia menunjuk kamar yang berada tepat di samping kamar utama. “Di mana aja, asal gak sekamar sama kamu,” tandas Mirza, berjalan melewati Fazia untuk ke kamar mandi. Fazia mematung di tempat, memandangi tubuh kekar suaminya yang menghilang di balik pintu. Nada bicara Mirza memang terdengar santai, tapi kalimatnya berhasil membuat Fazia tersinggung perihal kamar. Biarlah, dia tak ingin pusing, segera merapikan pakaian yang dibawa dari kosan. Namun, ucapan Mirza terus terngiang-ngiang hingga Fazia tidak dapat tertidur. Entah mengapa dia merasa tidak berhak tidur d