บททั้งหมดของ Empat Tunanganku: บทที่ 31 - บทที่ 40

Aroma dupa menyebar pelan di ruangan, foto Owen yang tersenyum dalam balutan seragam pilot terbingkai rapi. Lengkungan di bibir itu kini jadi kenangan, perasaan duka menyelimuti kediaman keluarga Davies. Isakan terdengar dari bibir Emily, Michael menghela napas panjang. Ia berdiri di hadapan foto Owen, mata tajamnya memandang kosong dengan tubuh tegak. "Kamu memang pulang, tapi kenapa dalam keadaan gak bernyawa," gumamnya dengan nada pelan. Di sisi lelaki itu, Ethan ikut memandang foto sang adik. Tangannya dimasukkann saku dengan tatapan kadang-kadang beralih menatap lantai untuk mengendalikan perasaan. "Kenapa kamu harus pergi! Kamu belum jadi chef, walaupun makananmu selalu enak," ujarnya lemah, tangan mengepal dalam saku. Daniel segera menggenggam jemari sang Ibu dan Emily, berusaha menguatkan kedua wanita itu. Pikiran lelaki itu terasa kosong, tetapi ia berusaha kuat demi kesayangan. "Pam

Di rumah sakit Daniel terus memperhatikan Emily, tatapan lelaki itu tertuju pada sang tunangan. Senyuman terukir kala mendapati perempuaan pujaan telah pulih sedia kala. Dia masih ingat ketika Emily tak mau berbicara, hanya menangis dalam diam. Tapi kini, ia melihat gadis itu kembali seperti sedia kala. Begitu tenang, ramah, meski masih ada luka di hati. Merasa diawasi perempuan itu menoleh ke arah Daniel dan tatapan mereka beradu. "Kenapa kamu terus memperhatikanku, dokter Daniel. Ada yang salah denganku? Atau rambutku berantakan," celoteh gadis itu menggoda. Pria tersebut menggerakkan kepala menggeleng pelan, senyuman lebar terukir di wajahnya. "Nggak ada yang salah. Justru semuanya udah kembali seperti yang kuharap. Kamu ... kamu udah jadi Anne-ku yang dulu lagi." Senyuman Emily terukir mendengar nada syukur dari mulut tunangannya, ia tidak sadar sudah membuat khawatir tiga lelaki panik dengan dia.

Tidak terasa waktu begitu cepat, mereka sudah terbiasa tanpa kehadiran Owen. Tetapi hati semua masih menyayangi lelaki itu, walau kini berbeda alam. "Ethan ... apa yang kamu lakukan!" teriak Daniel pada pagi hari. Emily yang turun dari tangga terkejut dengan pekikan sang tunangan. Matanya menatap arah suara, Daniel tengah berkacak pinggang di hadapan Ethan yang belepotan dengan adonan di dapur. "Aku cuma pengen membantu, Niel. Apa salahku coba," balas Ethan dengan wajah tanpa dosa. Daniel yang mendengar perkataan sang kakak, mengacak rambut dan mengembuskan napas kasar. "Nasib-nasib punya kakak menyebalkan ini," keluh Daniel. Tunangan mereka segera mendekat menghampiri keduanya, alis terangkat memandangi dapur yang begitu kacau. Tepung terigu berserakan bahkan kulit telur jatuh mendarat ke lantai membuat Emily menggelengkan kepala. "Astaga, Paman Han ... kamu mau buat apa? S

Keheningan menghampiri ruangan ini, semua terdiam dalam pikiran masing-masing. Sedangkan Logan memeluk Emily merasakan kehangatan di sana, bahkan pria kecil ini terlihat mengantuk dan perlahan terlelap. "Kalau itu yang terbaik, gak apa-apa Paman Han. Tenang aja, aku bakal bantu menjaga Logan," balas wanita itu lembut. Tatapannya yang tadi menatap Logan, saat berbicara segera mengalihkan pada Ethan yang menunduk kepala terlihat kebingungan melanda. "Kami juga setuju, kami akan membantu kamu. Dan kalau keputusanmu begini, kami akan mendukung," lontar Jhon. "Ya, lagian kamu memang ...," ucapan Jasper terhenti saat sang istri menyenggol lengannya. "Diamlah! Mulutmu itu jelek banget," omel Olivia dengan nada rendah. Ethan hanya tersenyum kecil melihat hal ini, tatapannya melirik Emily dan kini beralih pada putra yang baru ditemukan dan diketahui. "Aku memang gak pantas, tapi setida

Dua orang tua keluarga mereka segera pamit dari kediaman, kini kediaman ini dihuni lima manusia kembali. Tetapi suasana terdengar ramai karena kehadiran Logan, lelaki kecil tersebut menambahkan kecerian di dalam sini. "Logan ... kenapa kamu malah main air!" pekik Ethan. Lelaki itu menatap kesal sang putra, dia berkacak pinggang memandangi Logan yang menundukkan kepala. "Kamu tau gak! Papa mau membawamu pergi ke lokasi syuting," omel lelaki tersebut. "Lihat! Arghhh ... gimana ini, Papa udah rapi lho, sebentar lagi juga kita harus berangkat." Mendapatkan amarah yang menggelegar dari pria yang ia panggil Papa itu menunduk, tubuh lelaki kecil ini bergetar. Matanya berkaca-kaca dan jari saling bertautan berusaha menahan diri agar tidak menjerit. . "Maaf, Papa ...." Hanya kata itu yang keluar dari bibir pria kecil tersebut. Ethan melihat a