Sang Pewaris Yang Terlupakan 의 모든 챕터: 챕터 11 - 챕터 20

Perjalanan pulang dari acara lelang diselimuti oleh keheningan yang seribu kali lebih berat daripada keheningan dalam perjalanan berangkat. Kemenangan yang baru beberapa menit lalu terasa manis, kini berubah menjadi racun yang dingin di dalam pembuluh darah Alina. Nama "Karta Adhitama" menggema di dalam mobil, sebuah nama yang memiliki kekuatan untuk membekukan udara dan mencuri semua oksigen.Alina menatap lurus ke depan, ke lampu-lampu kota yang berkelip seperti bintang-bintang jauh yang tak bisa dijangkau. Pikirannya berpacu lebih cepat dari laju mobil. Karta membeli lukisan itu. Ia tidak hanya mengawasinya; ia secara aktif telah masuk ke dalam permainannya, mengambil bidak yang paling personal, dan meletakkannya di papan caturnya sendiri. Pesan itu sangat jelas: Aku melihatmu. Aku tahu apa yang berharga bagimu. Dan aku bisa memilikinya kapan pun aku mau. Rasa takut yang ia rasakan sebelumnya kini bercampur dengan kemarahan yang membara. Ia merasa dilucuti, diekspos di baw

Dua hari setelah pelajaran intensif di ruang kerja Damian, malam pembukaan galeri seni milik Valerie pun tiba. Bagi Alina, persiapan kali ini terasa sangat berbeda dari acara lelang amal. Dulu, ia adalah seorang aktris yang baru pertama kali naik panggung. Kini, ia merasa seperti seorang agen yang telah mempelajari denah bangunan dan profil targetnya.Ia menghabiskan sore harinya bukan dengan penata gaya, melainkan dengan tablet di tangannya. Ia tidak hanya mempelajari daftar tamu, tetapi juga meneliti para seniman yang karyanya akan dipamerkan di galeri Valerie. Ia membaca ulasan-ulasan kritikus, memahami filosofi di balik aliran seni kontemporer yang diusung galeri itu. Ia tidak akan datang sebagai tamu kosong; ia akan datang dengan amunisi intelektual. Pengetahuan, seperti yang selalu ayahnya katakan, adalah baju zirah terbaik.Saat ia siap di lobi utama, mengenakan gaun cocktail berwarna perak yang elegan dan modern pilihan yang sengaja ia buat untuk menun

Pagi setelah pengakuan Damian yang rapuh, sebuah garis batas yang tak terlihat namun sangat terasa telah bergeser di antara mereka. Keheningan di meja makan tidak lagi canggung, tetapi juga tidak nyaman. Itu adalah keheningan yang berat, dipenuhi oleh hal-hal yang tidak terucapkan, sebuah pengakuan bersama bahwa mereka telah melintasi sebuah teritori emosional yang tidak seharusnya mereka masuki.Alina mendapati dirinya sulit untuk menatap Damian secara langsung. Setiap kali matanya bertemu dengan mata pria itu, ia teringat akan kesedihan di baliknya, kisah tentang seorang anak laki-laki yang kesepian. Gambaran itu berperang hebat dengan citra CEO dingin yang merupakan wajah dari kehancuran keluarganya. Damian pun tampak sama waspadanya. Ia lebih pendiam dari biasanya, seolah menyesali keterbukaannya semalam dan sedang sibuk membangun kembali dinding pertahanannya, bata demi bata.Setelah sarapan yang terasa seperti berlangsung selama satu dekade, Alina segera kembali

Pagi di Presidential Villa dimulai dengan keheningan yang canggung. Sinar matahari Bali yang keemasan menembus jendela kaca raksasa, menerangi ruangan yang luas di mana Alina dan Damian semalam berbagi ruang tidur untuk pertama kalinya. Meskipun mereka tidur di sisi yang berlawanan dari ranjang super king itu, dengan barikade bantal

Waktu seakan membeku di dek bawah kapal pesiar yang mewah itu. Suara debur ombak yang lembut dan deru mesin yang samar menjadi latar dari sebuah drama tiga babak yang mencapai klimaksnya dalam keheningan yang mematikan. Di satu sisi, Hermawan, hantu dari masa lalu, berdiri dengan wajah pias dan tangan yang menyodorkan sebuah kunci kebenaran. Di sisi lain, Damian, perwujudan dari masa kini yang rumit, berdiri menjulang dengan aura badai yang siap meledak. Dan di tengah-tengah, Alina merasa seperti pusat dari sebuah gempa bumi yang akan meruntuhkan segalanya.Damian tidak berteriak. Ia tidak membuat keributan. Ia melakukan sesuatu yang jauh lebih menakutkan. Dengan langkah yang tenang dan terkendali, ia berjalan mendekati mereka, matanya yang sedingin baja tidak pernah lepas dari Alina. Setiap langkahnya terasa seperti hitungan mundur menuju sebuah eksekusi.Ia berhenti di antara Alina dan Hermawan, secara efektif membelakangi pria tua itu seolah ia tidak ada. Matanya te