Semua Bab Kembalinya Sang Pewaris Berdarah Dingin: Bab 11 - Bab 20

Lampu kota Arsana berpendar redup di kejauhan, bayangannya terpantul di kaca tinggi yang membingkai ruang tengah penthouse Seraphine Tower, tepat di unit pribadi Ghazam.Usai mengurus keperluan di Galenka Corp hingga sore tadi, Ghazam memang langsung kembali ke Ibukota Arsana. Ia tidak ingin tinggal terlalu lama di Kota Ranjana.Ruang itu sunyi. Hanya detak jam dan denting es dalam gelas kristal yang terdengar. Ghazam duduk di sofa abu-abu, jas terlepas dan dasi tergantung sembarangan. Tatapannya kosong. Inilah yang tak pernah ia sukai dari hidup mewah, terlalu hening, terlalu hampa.Ia menyesap scotch perlahan. Hingga—Ding.Lift pribadi terbuka, menampilkan sosok ramping dalam setelan hitam pas badan. Rambutnya dikuncir rapi, dan tablet kerja masih di tangannya.Kiera Han.Tangan kanan Ghazam, direktur strategi JX Global, wanita muda yang naik karena kecerdasan dan ketegasannya. Tak banyak bicara, tapi setiap kali ia masuk ruangan, semua orang tahu batas.Kiera memiliki postur nyari

Keira menahan napas sejenak, mencoba bersikap seolah tak melihat apa pun. Namun, matanya sempat bertemu dengan tatapan Serina yang penuh kemarahan dan rasa malu bercampur jadi satu.“Ada dokumen dari SA Luxe yang harus ditandatangani hari ini, Tuan,” ujar Keira akhirnya, suaranya tenang namun dingin. “Mereka sudah menunggu balasan Anda sejak tadi pagi.”Ghazam mengangguk. “Letakkan di mejaku. Aku akan lihat nanti.”Keira melangkah masuk dan meletakkan map berwarna hitam elegan di atas meja, lalu berbalik tanpa sepatah kata pada Serina.Serina sendiri masih berdiri kaku, tubuhnya tegang dan wajahnya pucat. Ia tahu Keira melihat semuanya. Dan lebih dari itu, ia tahu Keira tidak akan melupakannya.“Kalau tidak ada hal lain, kau boleh pergi, Serina,” ucap Ghazam datar, tanpa menoleh.Serina mengepalkan tangannya, tetapi tetap melangkah keluar ruangan tanpa berkata-kata. Kepalanya tertunduk rendah, langkahnya cepat. Ia tak sanggup bertahan sedetik lebih lama di sana.Begitu pintu tertutup,

Ruang tengah penthouse masih menyisakan suasana tegang dari percakapan sebelumnya. Ghazam duduk menyandar di sofa, sementara Althar berdiri di dekat jendela besar, memandang gelapnya langit sore yang mulai berubah menjadi malam.“Kalau semua yang Alin ceritakan benar, orang di penampungan itu sudah melanggar banyak hukum,” ucap Althar pelan, nadanya sarat emosi tertahan.“Aku akan pastikan mereka tidak akan pernah menyentuh anak-anak itu lagi,” jawab Ghazam tegas. “Tapi untuk malam ini, biarkan Alin merasa aman dulu.”Althar menoleh ke arah putranya, mengamati raut wajah yang sama sekali tidak menunjukkan keraguan. “Kau memang seperti ibumu… selalu cepat mengambil anak-anak yang tersesat, bahkan ketika itu bisa membawa masalah besar.”Ghazam tersenyum tipis, namun matanya tak mengendur. “Kalau itu masalah, aku siap menanggungnya.”Obrolan mereka terputus ketika Bibi Ami kembali dengan Alin yang sudah bersih dan berganti pakaian. Rambutnya tergerai rapi, wajahnya bersih, dan senyumnya

Tak lama setelah Keira mengatakan itu, Janu masuk dengan sebuah map hitam di tangannya. Wajahnya tampak sedikit panik.“Tuan, pergerakan Jonathan dan anak buahnya,” kata Janu sambil menyerahkan map yang telah terbuka, memperlihatkan beberapa foto yang membuat Ghazam langsung mengernyitkan dahinya.Ghazam langsung memutuskan panggilan telepon dari Keira, dan meraih map dari tangah Janu. Jelas foto-foto itu memperlihatkan sosok Jonathan dengan beberapa petinggi di kejaksaan. Namun, ada satu yang membuat Ghazam justru tersenyum tipis.“Biarkan saja, ini bisa jadi bukti untuk kita,” ujar Ghazam tenang.“Tapi, Tuan … itu,” kata Juna ragu sambil menunjuk salah satu foto yang tadi membuat Ghazam tersenyum tipis.Ghazam menggelengkan kepalanya dan tersenyum singkat. “Biarkan saja.”Janu tampak sedikit ragu, tetapi melihat ketenangan di wajah Ghazam, seketika rasa ragu itu menghilang. Janu tahu persis bagaimana sosok Ghazam. Jika pria itu tenang, maka jelas tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Freya sempat tertegun mendengar ucapan spontan itu, lalu tak kuasa menahan tawa kecilnya. Pipi tipisnya merona samar, sesuatu yang jarang sekali terlihat dari seorang dokter yang biasanya begitu tegas.Ghazam, di sisi lain, hanya bisa menghela napas pendek sambil menatap Alin dengan tatapan setengah heran. “Alin…” suaranya berat, bernada seperti hendak menegur, tapi sulit menyembunyikan senyum tipis yang muncul di sudut bibirnya.“Apa? Kan bener,” jawab Alin polos, matanya berbinar. “Kalau Kakak Azam sama Ibu Dokter kerja sama nolongin anak-anak, pasti tambah banyak yang bahagia.”Freya melirik sekilas pada Ghazam, lalu tersenyum lembut pada Alin. “Terima kasih, Alin. Kamu pintar sekali melihat hal yang baik.”Alin mengangguk puas, merasa kata-katanya tidak ditolak. Ia pun akhirnya benar-benar berjalan ke sisi ranjang Nina.Setelah gadis kecil itu menjauh, suasana antara Ghazam dan Freya sempat hening beberapa detik. Keduanya saling menatap singkat, lalu buru-buru memalingkan wajah. A