Lahat ng Kabanata ng Madu Pemberian Ipar : Kabanata 111 - Kabanata 120

Yanto melajukan motornya dengan perlahan. Di sepanjang jalan, pikirannya terus dihantui dengan masalah pemecatannya.Dia bingung bagaimana cara menyampaikan berita ini kepada Viana dan untuk selanjutnya dimana dia akan mencari pekerjaan. Semuanya ini terjadi begitu mendadak sehingga dia tidak punya persiapan sama sekali.Karena terlalu sibuk memikirkan itu semua, menyebabkan Yanto tidak fokus dalam mengendarai motornya. Di persimpangan jalan, lampu lalu lintas sudah menunjukkan warna merah, tetapi Yanto seolah tidak menyadarinya.Dia terus melajukan motornya menerobos lampu merah dan dari arah berlawanan, melaju kencang sebuah motor menuju ke arahnya. Pada detik-detik terakhir Yanto baru menyadari situasi. Dengan cepat, dia berusaha menghindari pemotor yang tengah melaju kencang tersebut. Namun, semuanya sudah terlambat dan tabrakan pun tidak dapat dielakkan lagi.Yanto terjatuh ke jalanan beraspal dengan bagian kakinya tertimpa badan sepeda motor, sedang

"Bukan, Dok. Saya tetangganya. Ini istrinya," tukas Mika cepat seraya menunjuk ke arah Viana yang berdiri di sampingnya."Oh, maaf Bu. Saya salah orang rupanya," ujar Dokter Arif setengah bercanda."Jadi gimana keadaan suami saya sekarang, Dok?" tanya Viana dengan perasaan cemas."Kondisi pasien cukup stabil. Memang ada beberapa luka lecet pada tangan, tapi itu tidak masalah. Hanya saja pada bagian kakinya terdapat luka robek yang cukup dalam sehingga perlu dijahit. Namun, sejauh ini, keadaan pasien bisa dikatakan baik-baik saja," jelas Dokter Arif."Syukurlah. Oya, Dok. Tadi kata teman saya ini, saat dia melihat suami saya di lokasi kejadian, suami saya sudah dalam keadaan pingsan. Itu kenapa bisa begitu, Dok?""Pasien pingsan mungkin dikarenakan perasaan syok yang berlebihan saat itu. Tapi sekarang pasien sudah sadar dan sudah stabil kondisinya.""Apa boleh saya menemuinya sekarang, Dok?""Tentu saja boleh. Namun, saat ini pasien se

Serentak ketiganya menoleh ke arah pintu masuk dan di sana terlihatlah dua orang wanita berjalan dengan gaya anggun ke arah ranjang Yanto. Salah seorang wanita tampak membawa sebuah paper bag di tangannya."Runi, Feyla," gumam Viana saat tatapannya melekat pada sosok dua orang wanita tersebut."Hallo, Mas Yanto. Gimana keadaannya sekarang? Apakah sudah baikan?"Dengan penuh percaya diri, Feyla langsung menyapa Yanto tanpa memedulikan keberadaan Viana di sana."Mmm...ba-baik, Mbak. Sudah agak mendingan," jawab Yanto canggung sambil melirik ke arah Viana yang tengah memandang Feyla dengan raut wajah masam."Syukurlah kalau begitu. Eh, Mas tau nggak, tadi saya cemas lho waktu Runi cerita kalau Mas kecelakaan. Ngomong-ngomong kok bisa kecelakaan gitu sih, Mas? Apa orang yang nabrak Mas itu ngebut bawa motornya atau lagi mabuk dia?" cerocos Feyla.Runi menatap heran ke arah Feyla. Setahunya selama ini Feyla adalah orang yang irit dalam berbicara.

"Lho, Kak Feyla. Ini kan bukan jalan menuju ke sekolahnya Randy?" tanya Runi sambil memandang dengan cermat jalanan yang dilalui oleh mobil yang dikemudikan Feyla."Memang bukan," jawab Feyla singkat."Tapi bukankah tadi Kakak bilang kita akan menjemput Randy?" tanya Runi kembali dengan heran."Itu hanya alasan supaya aku bisa pergi dari sana tanpa malu-maluin," tukas Feyla."Maksudnya? Aku gak ngerti lho," ucap Runi lagi.Feyla menghembuskan napas sebelum menjawab pertanyaan Runi."Apa tadi kamu tidak lihat sikap kakak ipar mu itu? Dia begitu jutek dan sinis sama aku. Mana sanggup aku berlama-lama di sana melihat tingkahnya itu. Lagian kelihatannya dia tidak suka kalau aku berbicara sama abangmu. Makanya aku putuskan untuk segera pergi dari sana dengan alasan yang masuk akal dan kedengaran wajar. Gak banget kan kalau kita bilang kita mau pergi dari sana karena dicuekin. Mau ditaruh dimana muka ku ini," jelas Feyla sambil tetap fokus mengemu

"Iya," jawab Yanto sembari menganggukkan kepalanya.Runi terdiam beberapa saat, matanya tajam menatap Yanto, mencoba mencari celah kebohongan di sana karena sesungguhnya dia sama sekali tidak percaya akan perkataan Yanto barusan.Namun, setelah beberapa detik menatap, dia dapat melihat kesungguhan terpancar dari mata Yanto sehingga Runi pun tampak mulai meragu pada keyakinannya sendiri."Beneran nih, Abang dipecat?" ulangnya lagi."Iya, beneran. Untuk apa Abang bohong. Kalau tidak percaya, kamu bisa tanya sama mbakmu," kata Yanto seraya menunjuk Viana yang sedang membereskan meja makan dengan dagunya.Runi mencebik, mana mau dia buka mulut terlebih dulu untuk bertanya pada iparnya itu."Tapi...kenapa Abang dipecat?""Kata bos abang, untuk efisiensi perusahaan. Entahlah, abang pun sebenarnya merasa ada yang janggal dengan hal ini. Tapi mau gimana lagi, kalau yang punya perusahaan tidak mau lagi mempekerjakan abang di tempatnya, abang b