Grand Ballroom Hotel Mulia berkilauan di bawah cahaya ribuan kristal chandelier. Ini adalah panggung yang dirancang Lidya Haryadi dengan sempurna: karpet merah tebal, rangkaian bunga lili putih yang megah, dan barisan kursi yang diduduki oleh para pemegang saham, direksi, keluarga Sastranegara, serta puluhan awak media.Di podium, Lidya berdiri tegak dalam balutan gaun sutra emas, tampak seperti ratu yang tak tersentuh. Di sampingnya, Bramantyo duduk dengan senyum kaku, sementara Renata duduk di barisan depan, tersenyum bangga sebagai calon nyonya besar.Dari balik pintu ganda di belakang ballroom, aku mengamati mereka melalui celah kecil. Jantungku berdetak tenang, setenang detak jam yang menghitung mundur kehancuran mereka."Siap?" tanya Dian di sampingku. Di belakang kami berdiri Pak Herman yang merapikan jas barunya dengan gugup, dan Pak Handoko—pria paruh baya dengan rahang tegas yang mirip sekali dengan almarhum ayah mertuaku."Ayo kita akhiri ini," jawabku.Di dalam, suara Lidy
Terakhir Diperbarui : 2025-12-01 Baca selengkapnya