Setelah kepergian Lidya, adrenalin yang tadi memompaku surut, meninggalkan kelelahan yang luar biasa. Aku menjatuhkan diri di sofa, sementara Dian membuatkan kami teh hangat."Dia tidak akan berhenti sampai di situ," kata Dian, meletakkan cangkir di hadapanku. "Dia akan menggunakan cara lain. Kemungkinan besar, pion berikutnya adalah Bram.""Aku tahu," desahku, memegang cangkir teh yang hangat dengan kedua tangan. "Bram akan datang dengan cerita sedihnya, memohon dan berjanji akan berubah. Aku sudah hafal naskahnya.""Dan kamu?" tanya Dian, menatapku lekat. "Apa kamu siap menghadapinya?"Aku terdiam sejenak. Menghadapi Lidya, dengan kebenciannya yang murni, terasa lebih mudah. Menghadapi Bram, dengan sisa-sisa kenangan dan cinta yang pernah ada, adalah pertarungan yang jauh lebih berat. Tapi aku harus melakukannya.Benar saja, sore harinya, interkom berbunyi lagi. Kali ini, resepsionis mengumumkan kedatangan Bramantyo Haryadi."Jangan biarkan dia naik," kata Dian cepat."Tidak apa-apa
Last Updated : 2025-10-13 Read more