All Chapters of Kita yang Terluka: Chapter 81 - Chapter 90

“Sama-sama.” Indra mengulas senyum dan mulai menjalankan mobil, membelah kepadatan jalanan ibukota di jam padat pulang kerja. “Memberikan hadiah itu tidak harus di hari ulang tahun atau hari spesial lainnya. Asal ada kesempatan, tidak ada salahnya menyenangkan orang yang kita suka. Kita tidak pernah tahu ke depan akan bagaimana. Jadi, hargai setiap waktu yang kita miliki saat ini.”Zahra terpana mendengar ucapan Indra. Senyum tipis terbit di bibirnya. Pengalaman tidak bisa berbohong. Lelaki itu jelas banyak belajar dari masa lalunya dulu. Bersama Indra, dia merasa seperti bersama seorang Kakak yang sedang momong adiknya. Zahra merasa diayomi, dilindungi, juga dimanjakan dan dimengerti.“Apa ini?” Zahra bertanya setelah mereka terdiam cukup lama. Dia membuka kotak kado saat Indra mengedipkan mata, memberikan kode agar dia membukanya. “Wah!” Zahra terbelalak lebar saat melihat isinya, tas tangan warna burgundy yang bentuknya sangat lucu. Saat melihat merknya, Zahra menelan ludah. Dia je

“Siapa yang kamu telepon, Adelia?”Zahra membelalak lebar mendengar suara Ammar di seberang sana. Ponsel di tangannya terlepas dari genggaman seketika. Dia menutup mulutnya dengan kedua tangan. Tubuhnya gemetar hebat sambil menatap layar ponsel yang masih terhubung panggilan, tapi tidak terdengar percakapan apapun di seberang sana. Sekian detik berlalu, panggilan dimatikan entah oleh Adelia atau Ammar, tanpa ucapan apa-apa.Disini, Adelia menunduk saat melihat Ammar memegang ponselnya erat-erat. Dia tidak berani membalas tatapan suaminya. Wanita itu mengelus perutnya yang terasa nyeri. Sejak awal kehamilan, dia memang cukup sering mengalami kram-kram ringan. Pesan dokter, dia tidak boleh kecapekan atau terlalu banyak pikiran. Bagaimanalah tidak banyak pikiran? Lelaki yang tidur di sampingnya, seseorang yang baru saja menghabiskan malam dengannya justru menyebut nama wanita lain dalam tidurnya.“Dari mana kamu mendapatkan nomor ponsel Zahra?” Ammar bertanya dengan emosi yang ditahan. A

“Masya Allah.” Zahra menutup wajah dengan kedua tangan. Hatinya bergetar. Tubuhnya gemetar. Dia bisa merasakan ketulusan dalam setiap kata yang Indra ucapkan. Sungguh dalam makna kalimat itu hingga meresap ke relung jiwa, mengalir perlahan, menyentuh segumpal hati yang selama ini masih ragu untuk berlabuh yang kedua kalinya. Zahra menghela napas panjang saat gemuruh dalam dadanya mereda. Dia menoleh dan beradu pandang dengan Indra yang menatapnya dengan sorot mata teduh. Wanita itu mengalihkan pandang. Ada getar-getar tak biasa yang dia rasa saat mata mereka bertemu. Zahra menghela napas panjang sekali lagi. Sungguh random sekali hidupnya hari ini. Pagi tadi bertengkar dengan Alan, berlanjut saat makan siang, sekarang malah dilamar.“Indah sekali kalimatnya, Mas.” Zahra tersenyum setelah mengusap air mata dengan tisu. Dia menatap Indra yang mengetuk-ngetukkan telunjuk ke stir mobil. “Itu … sudah dipersiapkan dan berlatih cukup lama, atau … spontan saja? Soalnya, agak random sekali ki

“Sudah, sudah ….” Zaldy yang sejak tadi duduk di ruang tengah dan ikut mendengarkan percakapan akhirnya melerai. Lelaki itu meminta Zahra masuk. Dia menepuk bahu Ammar dan mengajaknya keluar. “Pulanglah, Nak Ammar, istrimu menunggu di rumah. Kalau sudah ada anak di antara kalian, tidak usah memikirkan kembali dengan Zahra lagi. Hampir dua tahun kalian bercerai, lebih baik jika semua tetap seperti ini.”Ammar menghela napas berat. Lelaki itu menatap ke dalam rumah, berharap menemukan sosok Zahra disana. Dia akhirnya mengangguk dan menyalami Zaldy sebelum akhirnya berjalan menuju ke arah mobil dengan langkah gontai. Ucapan Zahra tadi terngiang di kepala. Mantan istrinya itu sudah menegaskan kalau mereka tidak mungkin bisa kembali lagi. Ammar memukul kemudi sebelum akhirnya menyalakan mobil dan pergi.Jam delapan malam, Zahra keluar dari kamar Rika. Dia baru saja menemani anaknya mengerjakan PR dan membacakan buku cerita sebelum anaknya tidur. Saat duduk di ruang tengah, dia tersenyum me

“Kadang juga Mas Duda mengajak kami makan siang di luar kalau pas jemput Rika dan Riko pulang dari sekolah.”“Kenapa Mbak tidak bilang-bilang?”“Dilarang Mas Duda.”“Bagaimana kalau ternyata dia berniat jahat? Bisa-bisanya kamu percaya begitu saja sama orang asing.”“Lah? Mas Duda itu setiap mau mengajak pergi atau datang main ke rumah selalu video call dengan Pak Zaldy. Jadi ya saya percaya-percaya saja, Bu.”Zahra terdiam mendengar ucapan pengasuh anaknya. Ternyata, selama ini Indra sudah bergerak begitu jauh. Lelaki itu benar-benar serius. Indra bahkan terlihat sudah dekat sekali dengan anak-anak dan juga orang tuanya.“Selamat ulang tahun.” Indra tersenyum sambil meraih paper bag di bawah meja saat Rika dan Riko keluar, bermain di playground yang ada di resto itu ditemani pengasuhnya. Lelaki itu berdiri dan pindah duduk di kursi sebelah Zahra. Dia meletakkan paper bag di hadapan Zahra yang sejak tadi terlihat lebih pendiam dari biasanya.“Apa ini, Mas?”“Kado.”Zahra menghela napa